Mataku tak bisa berhenti melihat ke arah laki-laki yang beberapa bulan ini berhasil menyita seluruh fokus dan konsentrasiku. Untuk pertama kalinya dalam hidupku, aku jatuh hati pada laki-laki itu. Namanya Ferdinand Zachary, seorang CEO muda dari usaha perhotelan Zachary Group. Pertama kali ku melihat sosoknya di coffee shop ini dan aku langsung jatuh hati padanya, mengabaikan segala yang dia miliki, termasuk kehadiran gadis yang sering kali duduk di sampingnya. Awalnya kukira mereka adalah sepasang kekasih, karena sering kali kulihat Ferdinand yang tak henti bersikap manja kepada perempuan itu. Namun perempuan itu hanya menanggapi biasa saja, sehingga kusimpulkan bahwa mereka mungkin hanya berteman, bersahabat.
Sore ini, seperti biasa. Aku sudah duduk di kursi yang terletak persis di depan meja yang sering mereka tempati selama ini. Hal itu kupelajari setiap kali mereka tiba di coffee shop ini pada pukul 5.15 pm. Kemudian duduk dan sang barista yang kuketahui bernama Bima selalu menjadi orang yang mengambil pesanan mereka. Ferdinand sore ini tampak menawan dengan kaos navy rajutan turtle neck dan celana hitam panjang yang membungkus kakinya. Dia mengalihkan pandangannya mengitari para pengunjung coffee shop dan ketika mata kami saling bertatapan sepersekian detik, debaran jantungku mulai meningkat tidak karuan. Kemudian pandangan Ferdinand kembali fokus pada gadis yang datang bersamanya. Gadis itu sangat cantik, meski hanya dengan dandanan simpel. Sementara aku, berdandan dengan kesan elegan guna untuk menarik perhatian Ferdinand. Namun, hingga saat ini tak kunjung membuahkan hasil.
Kulihat sosok Ferdinand yang saat ini sedang berusaha menarik perhatian si gadis yang sejak tadi tampak melamun. Berkali-kali dia menggerakkan tangannya ke kiri dan kanan tepat di hadapan gadis itu. Mereka tampak sedang berdebat mengenai sesuatu, aku menangkap dari apa yang kudengar bahwa Ferdinand kesal karena si gadis tidak menyimak apa yang diucapkannya. Dua kata yang dilontarkan oleh Ferdinand selanjutnya berhasil membuatku terdiam, kaku.
"Kiss me!" begitu katanya.
Si gadis tampak memandang ke arah Ferdinand seolah mengatainya tidak waras. Aku menghela nafas lega ketika si gadis menolak permintaan Ferdinand. Laki-laki itu benar-benar, meskipun mereka terlihat seperti bukan penduduk lokal pada umumnya, tidak seharusnya Ferdinand memaksa sahabatnya untuk menciumnya. Mana ada sahabat yang melakukan interaksi yang terbilang intim seperti itu. Namun, seolah bertekad mematahkan semua dugaanku. Ferdinand tiba-tiba bergerak mencium gadis itu dengan cepat dan langsung mendapat jitakan di kepalanya. Aku yang shock bertindak refleks menjatuhkan majalah yang menjadi tamengku mencuri pandang ke arah mereka, majalah tersebut jatuh dan mengenai gelas latte macchiato-ku dan alhasil tumpah di atas rokku. Aku terpekik tertahan, merasa kaget dengan semua ini.
Sosok Bima datang dan menanyakan keadaanku.
"Laras, apakah ada yang terluka?" tanya Bima.
"A-aku, aku baik-baik saja." balasku tergagap.
"Ayo ikut saya ke belakang." ajak Bima dan tanpa menunggu persetujuanku, ia membawaku berjalan memasuki pintu khusus wilayah pekerja Treasure.
Dia membawaku ke lantai dua dimana terdapat 2 buah ruangan di sana dan ia membawaku ke salah satu ruangan. Ranjang dan beberapa perabotan minimalis.
"Duduk di sini dulu Laras," ujar Bima sembari mendudukkanku di sisi kiri ranjang. Sementara dia kembali sibuk berkutat di lemari dan kembali dengan membawa kotak P3K dan sepasang sweater dan celana pendek.
"Kamu ganti baju dulu, sekalian dicek apa kulitmu baik-baik saja. Di sana kamar mandinya," ujar Bima sembari menunjuk ke arah pintu yang terletak di sebelah lemari pakaiannya.
"Saya baik-baik saja, Bima. Sebaiknya saya pulang saja." balasku.
"Ganti dulu pakaiannya Ras, pasti tidak nyaman dan lengket. Saya tunggu." ujar Bima akhirnya dan aku lebih memilih menurut saja karena malas untuk berdebat.
Setelah membilas bagian pahaku yang terkena siraman tadi, aku kembali setelah memakai sweater dan celana pendek pemberian Bima, celana itu menutupi sampai di bawah lututku dan sweaternya yang panjang itu kugulung lengannya hingga ke siku.
"Terima kasih, Bima." ucapku padanya.
Iya membalasnya dengan senyuman dan anggukan kecil, kemudian memberi isyarat agar aku duduk di sampingnya. Aku menurut.
Tindakan Bima selanjutnya membuatku terkejut, karena dia menarik celana pendek yang kugunakan hingga memperlihatkan paha kiriku."Kamu sedang apa hah?!" bentakku.
"Tenang aja, Ras. Saya nggak ngapa-ngapain kok. Ini cuma mau ngolesin salep," ujarnya.
Aku tersipu, malu dengan sikapku yang berlebihan ketika Bima hanya berniat membantuku.
"Oke, beres." gumam Bima lebih pada dirinya sendiri. Kemudian dia menurunkan kembali celana yang kukenakan.
"Sekali lagi terima kasih, Bima. Maaf sudah merepotkan," ujarku.
"Tidak repot kok," balas Bima dan dia meletakkan kembali kotak P3K ke tempat semula dia mengambilnya, "kamu tunggu di sini saja Ras. Saya mau balik ke bawah sebentar," ujarnya.
"Eh? Saya pulang saja, Bima." balasku cepat.
"Iya, saya antar kamu pulang. Setelah Livy dan Ferdinand pulang." tukas Bima dan meninggalkanku dalam keheningan.
Astaga! Jadi dia tahu kalau aku diam-diam sering memperhatikan Ferdinand? Oh astaga! Bagaimana ini?! Sungguh memalukan. batinku histeris.
Sekitar 15 menit kemudian Bima kembali dengan handbag milikku dan menyerahkannya padaku.
"Ayo, saya antar kamu pulang. Mereka sudah pulang." ujar Bima.
"Tidak usah Bima, saya bisa pulang pakai taksi saja." tolakku cepat.
"Tidak apa-apa, saya antar. Ayo." ujarnya kemudian melangkah lebih dulu sementara aku hanya pasrah mengikuti dibelakangnya.
Mobil Bima kini bergabung dengan kemacetan ibu kota di sore hari. Sejak tadi kami hanya saling diam tanpa satupun yang berniat memecah keheningan ini.
"Livy itu sepupu saya," ujar Bima. Berhasil mendapatkan perhatianku sepenuhnya, "sedangkan Ferdinand itu sahabatnya, kekasihnya sekarang. Seperti cerita klise lainnya sahabat jadi cinta. Sudah sejak lama Ferdinand itu suka pada Livy namun 4 tahun yang lalu mereka baru berhasil meningkatkan status sahabat menjadi pacar." jelas Bima.
Aku tertohok dengan kenyataan ini, merasa bodoh karena menyukai laki-laki yang sudah memiliki kekasih dan aku telah seenaknya berasumsi untuk membenarkan tindakanku.
"Saya tahu kalau kamu sering ke Treasure hanya untuk melihat sosok Ferdinand diam-diam." ujar Bima yang berhasil membuatku mati kutu dan tak tahu harus bereaksi seperti apa.
"Livy bilang, sosok kamu yang memperhatikannya mengingatkan dirinya pada dirinya di masa lalu. Cara kamu diam-diam melihat Ferdinand dan bagaimana mata kamu begitu bersinar hanya sekedar bertatapan sejenak dengan Ferdinand,
"Livy berpesan pada saya, kamu bisa mendapatkan lelaki yang lebih baik dari Ferdinand. Laki-laki yang hanya mencurahkan seluruh perhatiannya padamu seorang. Jadi, jangan sia-siakan waktumu hanya untuk laki-laki yang bahkan tidak melihatmu karena itu sangat menyakitkan. Begitu katanya." ujar Bima menyelesaikan kalimat panjangnya.
Aku tertegun, sungguh gadis yang sangat baik. Bukannya marah atau bahkan mengamuk padaku, dia malah menasehatiku untuk kebaikanku. Sungguh aku merasa malu sekali, aku yang selalu diam-diam melihat Ferdinand ternyata Livy memperhatikan semuanya tanpa menghakimiku. Walau tak mudah, aku bertekad untuk melepaskan cinta sepihakku karena aku tidak ingin menyakiti pihak lain dengan keegoisanku. Ya, akan ada lelaki untukku seperti yang Livy katakan.
-Laras Sukma Rahardi point of view end-
Selesai.
Notes:
Selanjutnya adalah kisah dari Ferdinand Thomas Zachary, di seri ke-2 latte series "Caffè Latte" Soon.
KAMU SEDANG MEMBACA
Latte Macchiato (END)
Historia CortaTegukan pada secangkir latte machiatto kesukaannya terhenti, sosokmu yang memandangku dengan penuh perhatian. Aku yang memperhatikannya dengan jelas, bagaimana sosoknya yang melihat ke arahmu dengan padangan serupa kala dirimu memandangku.