Macchiato - Nothing

306 5 0
                                    

Tak pernah ada satu hal pun yang berhasil mengalihkan pandanganku dari sosok Rose, tidak pekerjaan, tidak rekan bisnis, tidak juga hal lainnya kecuali keluargaku. Bahkan keluargaku sudah sangat mengerti akan hal ini dan sebisa mungkin untuk tidak mengalihkan diriku dari sosok Rose. Satu-satunya gadis yang menguasai pikiran dan hatiku, selain Grandma, Mama dan Letty—adikku.

Seperti biasanya, ketika jam kerja Rose selesai aku sudah berada di lobby kantornya 15 menit lebih awal. Menunggu untuk membawanya menuju coffee shop kesukaannya tepat berada di seberang kantornya. Treasure merupakan tempat istimewa, karena disanalah tempat pilihanku membawa hubunganku dan Rose lebih dari sekedar sahabat. Aku mengalihkan pandanganku menuju ke arah elevator yang baru saja berdenting. Pintu besi itu terbuka dan dari sana melangkah sosok gadisku, Rose.

"Sudah lama menunggu?" tanya Rose ketika dia kini berdiri di hadapanku. Aku lekas berdiri dan menggeleng.

"Aku baru saja tiba. Ayo ke Treasure," ajakku menggenggam erat tangannya sembari kami melangkah bersisian.

"Kemarin siang Bima ngirim foto latte art matcha cantik banget, nanti aku mau pesan yang seperti itu." ujar Rose antusias. Kecintaannya pada perpaduan latte dan matcha seakan tidak ada habisnya.

"Aku tidak mau mendengar kalimat I can't drink this is so beautiful, how can I drink such a beautiful art like this, or something like that." ujarku dengan nada menggoda. Seketika sikunya yang runcing berhasil mendarat di pinggangku.

"Nggak usah ngelunjak deh, kamu emang nggak bisa ya kalau aku kalem walau sebentar." balasnya, mempererat genggaman tangan kami. Satu hal dari sekian banyak yang kusukai dari Rose, dia tidak pernah sungkan melakukan apapun yang dia inginkan, menanyakan apapun yang membuatnya penasaran, bahkan menyuarakan pikirannya.

Setibanya di Treasure, Bima selaku barista sekaligus owner langsung menghampiri kami. Aku dan Rose memilih duduk di kursi yang terletak tepat di tengah-tengah ruang coffee shop tersebut. Rose sangat senang dengan tempat duduk ini karena posisinya yang berada tidak jauh dari tempat barista meracik minuman. Sedangkan aku dengan senang hati duduk disampingnya, memandangnya dan memonopolinya ketika kurasakan beberapa pasang mata kaum adam yang menoleh dua kali ketika mendapati sosok Rose yang sangat mengagumkan di pusat coffee shop tersebut.

"Bim, aku mau matcha latte dengan latte art seperti yang di foto yang kamu kirim kemarin siang."

"Pihak dapur hari ini hadir dengan menu spesial kesukaanmu, waffle matcha. Berminat untuk mencobanya Livy?" tanya Bima. Selain diriku yang memanggilnya 'Rose', orang lain dan keluarganya memanggilnya Livy, atau Livia.

"Tentu saja, sepupu. Untuk apa lagi bertanya!" sahut Rose dengan antusiasme yang semakin meningkat.

"Caffè latte dan almond shortcake," pesanku pada Bima yang disahut dengan anggukan. Kemudian Bima pun berlalu.

Suasana Treasure di jam segini merupakan jam favorite-ku karena suasana coffee shop ini tidak terlalu ramai seperti setiap hari di waktu brunch dan waktu malam di hari sabtu. Sejenak kusapu pandanganku mengitari isi coffee shop ini untuk melihat berapa banyak pengunjung laki-laki yang harus kuurus sore ini. Terdapat sekelompok laki-laki yang tampak seperti segerombol mahasiswa tepat di seberang kanan meja kami. Dua pasangan kekasih di sisi kiri Rose dan di seberang kanan meja kami, sementara di depan meja kami tampak sosok perempuan yang sedang membaca majalah dengan segelas latte macchiato di hadapannya. Fokusku kembali pada Rose yang sejak tadi tidak bersuara sepeninggalan Bima. Kuperhatikan matanya yang menatap lurus ke depan. Gurat kegelisahan terlihat di kedua matanya. Aku selalu mengetahuinya, tanpa perlu bertanya. Aku tahu. Karena selama 24 tahun hidupku kuhabiskan dengan memandang dirinya. Hingga tanpa dia berbicara, aku tahu apa yang dirasakannya, apa yang diinginkannya.

Bahkan setelah 30 menit berlalu sejak Bima menghidangkan pesanan kami, tak sekalipun Rose mengalihkan perhatiannya dari sosok gadis yang duduk di depan meja kami.

"... to the earth. Olivia Rosella Jensen back to the earth!" seruku, tanganku tak berhenti bergerak kiri dan kanan tepat di hadapannya.

"Kenapa?" tanyanya, mengalihkan pandangan sepenuhnya dari sosok gadis itu.

"Aku berbicara panjang-lebar dan kamu tidak mendengarkanku, Rose? For god sake!" gerutuku dengan nada yang sengaja kubuat terdengar seperti rajukan.

"Tom, kamu tinggal mengulang kembali apa yang kamu ucapkan tadi dan semuanya akan beres." balasnya santai.

Aku memelototinya setelah mendengar tanggapan entengnya.

"Kiss me!" tukasku, alih-alih mengulang ucapanku.

Sebelah alisnya terangkat, memandangku dengan tatapan 'kamu-sudah-tidak waras?'

"Tidak akan ada yang protes pada laki-laki yang meminta ciuman dari kekasihnya." ujarku santai kala dirinya tak kunjung melakukan apa yang kuinginkan.

Dengan satu ciuman singkat, para bocah tanggung itu akan berhenti memperhatikanmu, sekaligus menegaskan kepada para lelaki yang sejak tadi mencuri pandang ke arahmu ketika kekasih mereka ada di tempat yang sama. batinku sembari menunggu respon darinya.

"Aku melakukan apa yang ingin kulakukan, bukan apa yang kau inginkan, Thomas." ujarnya dengan tatapan tidak ingin dibantah. Sudut matanya kembali bergerak menangkap sosok gadis tadi yang masih berpura-pura fokus pada majalah yang dipegangnya sementara matanya tak henti mengintip ke meja kami dari balik majalah tersebut.

Rose baru saja meletakkan kembali cangkir matcha latte-nya ketika aku mendekati wajahnya dan dengan gerakan cepat bibirku menghisap bagian atas bibirnya yang langsung saja dibalas dengan jitakannya di kepalaku. Aku hanya menyeringai puas setelah mencuri ciuman dengan bantuan jejak foam matcha latte di bibirnya. Terdengar suara ribut di depan sana. Namun pandanganku tetap fokus pada Rose sambil sebelah tanganku masih saja mengusap kepala yang terkena jitakannya sambil sesekali bersungut memprotesnya. Ku selesaikan tegukan caffè latte-ku dan mendapati mata Rose masih fokus pada meja di depan kami yang telah kosong entah sejak kapan.

"Rose sayang, kamu memperhatikan apa hingga mengabaikanku untuk yang kedua kalinya." ujarku, kali ini meraih pipinya dengan kedua tanganku sehingga dia kembali bertatapan denganku.

"Tom, aku ingin kamu menjawab pertanyaanku. Jika ada seorang gadis yang terluka sama seperti diriku dulu dan sangat butuh disembuhkan. Apakah kamu akan merengkuh dan menyembuhkannya seperti yang kau lakukan padaku?" tanyanya, ada nada gelisah yang terselip di sana.

Aku menghentikan gerakan jemariku yang sedari tadi mengelus pipinya, kemudian menatap lekat tepat di kedua matanya.

"I'm not a super hero who help and keep safe everybody, I'm not even a perfect man. I'm just a selfish man who want to be everything you need, a best friend, a brother, and a lover. I'm saving you for saving myself, when you're hurt so I am. Don't ever think about anyone else but me, because they all are nothing. I'm your everything, and you're my everything Rose."

Bibirku memagut bibirnya perlahan, berusaha mengenyahkan segala keraguan dan kegelisahannya. Aku tak pernah peduli pada gadis lain selain dirinya, bahkan pada gadis yang diperhatikan Rose dan aku tahu gadis itu mencuri pandang ke meja kami untuk melihatku. Aku mengabaikannya dan tidak mempedulikannya. Karena gadis selain keluargaku dan Olivia Rosella Jensen, they're all nothing.

"I love you, Thomas." bisik mawarku, gadisku, dan pemilik hatiku.

"I love you, My Rose."

-Ferdinand Thomas Zachary point of view end-

Latte Macchiato (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang