1

16 1 0
                                    

awan hitam mulai menutupi sinar matahari seiring dengan berhembusnya angin kencang yang sedari tadi menerpa wajah pucat namira dan membuat rambut panjang bergelombang menjadi tidak karuan. 

Namira menatap dengan tatapan kosong ke arah halaman sekolah yang kini mulai dibasahi tetesan hujan.

Aroma pertichor yang alami tercium saat hujan turun membasahi tanah yang kering, sejenak pandangannya tertuju pada tetesan air yang satu demi satu mulai membasahi bumi, tangan kanannya terjulur untuk menampung tetesan air  sembari memaikan, tak jarang tetesan air yang ia tampung memercik mengenai wajah pucatnya, seketika namira tersadar maghrib sudah hampir tiba, rasa bosan pun mulai memenuhi pikiran bagaimana tidak sudah dua jam ia menunggu disini menunggu seseorang yang ia sendiri pun tidak tahu akan datang atau tidak.


Akhirnya ia beranikan untuk mencoba menelpon sekali lagi, namira menggigit ujung kuku berharap wara akan menjawab teleponya kali ini.

Hening...


namira memajukan bibirnya beberapa senti, kesal? Tentu.
sudah tiga jam ia menunggu wara  di sekolah setelah terakhir wara berpesan akan menjemput namira seusai sekolah.


Benteng kesabarannya pun hancur,kini ia memutuskan untuk pulang dan pergi dari sana,dalam hati terus merutuki kebodohannya menunggu seseorang yang belum pasti akan menemui nya.


“Fel yuk pulangg..” namira menghampiri sahabatanya felicia yang sedari tadi setia menemani namira ,selaku sahabat ia tak tega meniggalkan sahabatnya sendiri disekolah sesore ini jadi ia memutuskan untuk menemani namira meski ia tahu akhirnya akan seperti ini,  mengecewakan.


lo nggak apa apakan ra?” suara felicia memecah keheningan dimobil, sedari tadi namira tidak berbicara sedikitpun mukanya terlihat lebih pucat dari siang tadi.


Namira menggelengkan kepalanya pelan, ia masih menatap kosong kearah jalanan yang sedang diguyur hujan. Felicia mengerti ,sekarang keadaan hatinya sedang tidak bagus lebih baik ia diam dan fokus menyetir mobil karena diluar sekarang sedang turun hujan yang lumayan deras.

mereka berhenti dirumah namira rumah dengan gaya minimalis dua lantai itu sudah akrab dengan keberadaan felicia sejak ia masih TK. Diluar telah menuggu pembantu namira dengan payung ditanganya .

“ra gue tanya sekali lagi lo nggak apa-apakan?” namira masih membisu, ia berniat mendiamkan felicia dan memilih untuk keluar dari mobil sahabatnya ini tanpa satu kata pun,namun kata kata felicia berikutnya mampu membuatnya membatu .


lo ngga harus diem kayak gini, gue tau lo orangnya gimana jadi lo nggak harus nutupin apa-apa dari gue,ra jangan egois sama perasaan lo sendiri ra,cepat lupain dia sebelum lo terlanjur kecewa.”

KalapunaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang