2

3 0 0
                                    

Selasa pagi jam 08.30 aku sudah selesai dengan persiapan, sudah mandi, sarapan dan minta uang jajan. Sambil memanaskan motor kesayangan, aku memakai sepatu dan mengecek tas memastikan tidak ada yang tertinggal, dompet, handphone, cas sekaligus power bank. Tepat selesai mengikat tali sepatu dan berpamitan sambil memegang helm dan kunci motor, Satrio udah dihalaman rumah dengan wajah datar. "untung nggak telat. Ayok bareng" Sambil menelungkupkan kedua tangan. Kemudian tersenyum. Aku mengernyitkan dahi. Bingung. "kita kan janjian disana? Kenapa nyampe sini?" aku masih terheran. Satrio tidak menjawab pertanyaanku. Ibu ku keluar dari balik pintu. Satrio turun dari motor dan mencium tangan Ibu ku, berpamitan meminta izin untuk pergi. Ibu ku hanya tersenyum dan berpesan untuk hati–hati. Aku mematikan mesin motorku. Aku yang dibonceng Satrio masih bingung. Masih heran. Bagaimana jika tadi aku udah berangkat duluan.

Motor tiger merah melaju, ikut memadati jalanan kota. Dijalanan Satrio baru bicara. "Na, maaf ya nggak ngasih tau duluan. Langsung dateng kerumah. Nggak papa kan?" Lampu merah menyala. Lamunanku berhenti sejurus dengan berhentinya motor.

"Eh, iya nggak papa. Besok–besok kalo mau kerumah bilang dulu. Gimana coba kalo tadi aku udah berangkat. Kalo aku nggak dirumah". Jawabanku datar. Satrio menoleh kebelakang dengan membuka kaca helm dan tersenyum tipis.

Sampai diparkiran galeri, belum ada tanda-tanda kedatangan Andi, Egi juga Jejen. Halaman galeri cukup ramai dipenuhi orang–orang yang akan masuk. Sejenak terdiam, aku bingung mau membuka obrolan. Aku sengaja sibuk menelpon Andi, Egi, juga Jejen. Semenit, dua menit belum ada yang memberi kabar. Akhirnya Satrio angkat bicara. "mau nunggu disini? Atau langsung masuk nunggu didalem, Na?".

"Ehh, iya. Nunggu situ aja yuk? Sambil duduk biar nggak panas, masuknya rame–rame. Nggak papa kan?" tawarku sambil menunjuk kursi dibawah pohon dekat parkiran. Satrio hanya mengangguk dan berkedip lalu meletakkan helm yang dari tadi dipegangnya. Kemudian berjalan dibalakangku mengikutiku duduk dikursi. 5 menit berlalu, akhirnya yang ditunggu dateng juga. Ternyata Andi dengan Egi berboncengan dan Jejen mengajak pacarnya ikut serta.

"sudah kumpul semua kan? Ayok masuk udah telat nih". Aku langsung berdiri dari kursi dan berjalan menuju pintu masuk. Jalanku dibarengi Jejen.

"Maaf Na, jalan macet". Wajah Jejen merasa bersalah. Egi Cuma nyengir entah cowok–cowok dibelakang ngomongin apaan. Aku cuma berdehem. "eh, lo dateng sama Satrio Na? lo sejak kapan deket sama Satrio? Ada apa lo sama Satrio? Kok nggak bilang–bilang si?" Jejen memberondong pertanyaan dengan wajah penasaran.

"Iya. Kebetulan. Nggak ada apa–apa kok. Ya tar gue jelasin, kenapa bisa barengan, tapi tar, oke. Sekarang kita nikmati aja lukisan–lukisan siapa tau lo tertarik". Jawabku mencoba menahan rasa penasaran Jejen. Gelari lukisan milik om Herman sedang berlangsung pembukaan, kami berenam ikut nimbrung. Ternyata nggak cuma kolektor–kolektor saja yang datang, ada juga wajah–wajah muda, dan pengunjung lainnya aku tak kenal. Selesai pembukaan aku menemui om Herman memberikan ucapan selamat dan menyampaikan salam dari papa, papa nggak bisa hadir karena ada rapat mendadak pagi–pagi padahal ini hari libur. Om Herman tertawa dan dan mengucapkan terimakasih kemudian menanyakan kabar papa dan mama. Setelah itu aku kembali menemani teman–teman untuk muter–muter galeri ini. Beberapa kali bertemu dengan teman–teman papa yang pernah ke rumah. Aku hanya menyapa sekedarnya saja. Kemudian melanjutkan melihat–lihat lukisan. Sesaat kemudian aku nggak tau dimana teman–temanku. Kami berpencar. Aku masih saja menikmati keindahan goresan tinta–tinda warna diatas kanvas.

"Suka juga sama lukisan, Na?" Satrio mengagetkanku. Membuyarkan fantasiku yang sedang mencoba menelusur arti dari lukisan didepanku.

"Eh Yo. Nggak juga si. Cuma suka liat–liat aja. Sepertinya banyak hal yang tersembunyi dari balik goresan kuas. Setiap goresan mewakili satu rasa yang akan disampaikan. Keren banget". Satrio hanya tersenyum tipis dan mengangguk. Senyum yang menurutku sangat langka. "Eh yang lain mana nih? Cari mereka yuk?".

"Eh bentar Na, coba liat lukisan satu ini. Gue pingen denger pendapat lo". Belum sempat aku menjawab, tanganku ditariknya berjalan menyusuri ruangan yang berbeda, menuntunku kepada satu lukisan dengan coretan kuas tak beraturan dan seorang wanita dengan wajah masam, jauh dari senyum namun didadanya seperti mengelurkan bunga–bunga. Seorang wanita sekitar umur dua puluh lima tahunan mengenakan pakaian panjang long dress dengan lengan tangan hanya sepanjang siku. Tidak nampak kaki, lukisan itu hanya sampai dengan lutut, kemudian background putih kecoklatan. Aku terdiam, mencoba memahami apa maknanya.

Aku menggelengkan kepala dengan mata yang masih tertuju pada lukisan. "Gue nggak ngerti apa artinya. Apa yang ingin disampein si pelukis. Gue nggak bisa nebak, nggak punya gambaran sama sekali. Emang menurut lo apaan Yo?" Justeru aku yang bertanya.

Masih dalam wajah kebingungan dan tak memahami apa arti lukisam yang ditunjukkan Satrio. "Kalo kata orang yang baru saja aku temui tadi, lukisan ini menggambarkan bahwa aku telah memberikan seluruh hati beserta keindahannya, hingga tak tersisa, tapi sejauh itu, sejauh hatiku habis dan kering, aku tak kunjung merasakan kebahagiaan yang ku inginkan. Bahkan hingga habis seluruh hatiku, kebahagiaan itu semacam harapan yang tak kunjung terjadi, cinta tak terbalas, rasa kecewa, sakit dan kepedihan".Satrio terdiam menghela napas. "Oh ya?" tanya ku. Satrio mengangguk. Sebegitu hebatnya rasa sayang kah? Sehingga mampu merubah seseorang. Sehingga manusia mampu bertahan dalam sebuah penantian yang entah kapan akan kembali, tiada yang bisa menjelaskan.

"Eh nyari yang lainnya yuk? Udah mulai demo nih perut, minta makan hehehe" aku nyengir. Sekali lagi Satrio mengangguk. Beberapa langkah meninggalkan lukisan yang aku anggap masih misteri maknanya itu kita berpapasan dengan yang lainnya yang juga sedang mencari kita.

"Makan yuk? Laper nih" Egi dengan muka kelaparan hebat. Dibarengi dengan anggukan Andi.

"Eh bentar, Jejen mana nih? Ilang tar malah" mataku menyapu ruangan belum menemukan batang hidung seorang Jejen.

"Nah itu dia". Menunjuk arah kedatangan Jejen.

"Udah kumpul semua kan?" aku memastikan. Semua orang mengangguk. "Kelur dari sini belok kanan 20 meteran kiri jalan ada tempat makan cukup enak kok, kita makan situ aja gimna? Atau ada yang punya usul lain?" Aku menunggu jawaban. Tidak ada jawaban,artinya semua setuju memenuhi kebutuhan perut yang sedari tadi keroncongan minta diisi. Suasana meja makan riuh oleh suara tawa dan cerita masing–masing yang barusan dilihat didalam galeri. Menghabiskan seluruh makanan hanya sekitar dua puluh sampai tiga puluh menit, yang bikin lama itu nongkrongnya, cerita–ceritanya, candaannya, ketawaannya. Entahlah waktu terasa begitu cepat kalo lagi ngumpul sama mereka, hingga nggak sadar kalo udah jam satu lewat sepuluh. Belum sholat dzuhur.

*** Bersambung.... 

belum nemu judulWhere stories live. Discover now