Kerinduanmu terobati sudah. Hujan pertama musim ini telah jatuh. Cukup untuk membasahi aspal–aspal, cukup menyapu debu–debu jalanan. Bau yang khas, aku selalu menyukainya. Hujan pertama jatuh dikota ini. Hujan pertama jatuh tepat selesai iqomah–iqomah sholat maghrib berkumandang dari menara–menara masjid sekitar rumahku. Hujan pertama jatuh tepat aku melanjutkan bacaan quran ku di surah Ibrahim ayat ke 7. Entahlah aku merasa semua begitu nikmat. Semua telah terencana sempurna oleh Tuhan. Hujan pertama jatuh setelah percakapan terakhir kita lewat pesan bbm, bahwa kau sangat merindui tetesan hujan. Sekali lagi, kerinduanmu terobati sudah. Hujan pertama musim ini telah jatuh.
Hujan pertama telah jatuh berasa obat mujarab Tuhan ditengah hiruk pikuknya bencana asap, kebakaran hutan, kebakaran gunung–gunung, kebakaran lahan–lahan gambut lainnya. Hujan ini sungguh nikmat.
Bau debu-debu beterbangan yang khas diterpa air hujan, aku selalu menyukainya. Persis, kenangan–kenangan kita tentang hujan kembali lahir, momen–momen kita bersama hujan kembali hadir. Banyak yang terjadi ditengah–tengah hujan. Banyak cerita rahasia antara kau, aku dan hujan.
Sayang sekali, hujan pertama kali ini (untuk kesekian kalinya) aku tak melewatkannya denganmu. Aku ingin segera mengabarkan padamu. Semoga hujan ini mampu memudarkan hal buruk dihari mu, seperti ia memudarkan kepulan asap kebakaran dilangit–langit. Semoga hujan ini mampu menghapus jejak–jejak mengerikan diharimu, seperti ia menghapuskan jejak pengendara jalanan. Semoga hujan ini dapat mewakili kerinduanku padamu yang belum sempat aku sampaikan.
Aku selalu suka hujan. Seperti aku selalu menyukai senyummu.
Aku selalu suka hujan. Seperti aku menyukai mu.
Atas hujan yang Kau turunkan dan atas cerita dibalik hujan bersamanya, terimakasih Tuhan..
"Dan ingatlah ketika Tuhanmu memaklumkan 'sesungguhnya jika kamu bersyukur, niscaya Aku akan menambah (nikmat) kepadamu, tetapi jika kamu mengingkari (nikmat –Ku) maka pasti azab –Ku sangat berat'" (Ibrahim : 7)
.............................................................................................................................................................
"Dor.!! Hayoo lagi ngelamunin apa?" Jejen mengagetkanku.
"Haishh.. Siapa yang ngalamun coba?" aku ngeles.
"Halah, nggak usah ngeles Na. Abis ini mau kemana? Bosen nih dirumah. Angga lagi prakerin (baca : praktek kerja industri, tugas kuliah mahasiswa akhir sebelum skripsi) diluar kota sebulan" dengan wajah mengeluh bosan dan sebal karena ditinggal pacarnya.
"Pas banget. Ke toko buku yuk? Gue utang buku nih, mau?" ajakku
"Utang? Lo beli buku ke toko buku ngutang?" Jejen seketika mengernyitkan dahi
"Nggak. Maksud gue, gue pernah punya buku, belum rampung gue baca eh bukunya ilang, padahal baru baca setengahnya, kan sayang. Yah gue anggep gue utang baca tuh buku" aku menjelaskan, agar Jejen nggak nanya–nanya panjang lagi.
Lamat–lamat terdengar titik–titik gerimis, lama–lama menjadi hujan deras. Orang lalu lalang berlarian mencari tempat berteduh, beberapa orang masuk toko buku, beberapa lagi masuk mini market dan sebagian berlari ke arah halte bus. Musim hujan telah tiba namun sejak dua hari lalu tak ada tanda–tanda akan hujan,makanya aku tak bawa payung, kini pada saat turun hujan bau debu berterbangan dimana–mana. Tiba –tiba Susana toko buku yang tadi tenang, nyaman, kini sesak, bahkan aku yang sejak tadi merasakan semilir AC kini mesin canggih pengubah suhu itu seolah-olah tak berfungsi. Pengap.
Aku masih ditempat yang sama, masih mengobrak–abrik rak buku genre novel. Mataku masih berusaha menemukan novel lawas punya Windry Ramadhina dengan judul Orange, aku masih berhutang menyelesaikan baca, belum sempat rampung buku itu hilang, entah tertinggal dimana. Aku masih berhutang membacanya. Mataku juga menyapu rak novel terbitan baru, ada bukunya Bernard Batubara dengan judul Jika Aku Milikmu. Sepertinya kali ini harus menunda membeli novel ini, mengingat uang sakuku tak mensuport dan aku masih hutang si-Orange. Dalam hati bertekad dua minggu lagi kembali ke toko buku untuk menjemput si-Jika Aku Milikmu ini.
Hujan masih deras diluar sana. Aku dan Jejen tak bisa kemana–mana, aku tak membawa payung atau jas hujan begitu pula Jejen. Sebenarnya aku paling suka hujan–hujanan, tapi mengingat isi tas ku tak bisa kompromi dengan air hujan aku mengurungkan niat untuk berkuyup ria dengan air hujan. Setelah menemukan dan membayar si- Orange dengan susah payah karena sudah tidak terbit lagi dan buku yang aku beli adalah stok terakhir, aku mengajak Jejen ke coffeshop yang bersebelahan dengan toko buku, sambil menunggu hujan reda kami berdua ngopi bareng dan ngobrol. Aku mengelurkan buku baruku, Jejen pun mengeluarkan buku yang baru dibelinya.
Cappuccino panas dengan busa melimpah punyaku dan green latte yang juga masih mengepul punya Jejen udah dateng mendarat dimeja. Sejurus kemudian fantasi tak lagi dimeja cofeeshop, fantasiku berkelana, mataku disibukkan oleh barisan kata–kata, terlena oleh alur cerita milik Windry Ramadhina. Entah Jejen sudah sampai mana pengembaraannya, sesekali aku melihat mimik muka Jejen yang serius dengan buku yang sedang dipegangnya, sesekali tersenyum dengan masih menghadap buku barunya.
Cappuccino milikku aku sruput pelan–pelan, terasa nikmat. Sepertinya Jejen sedang menghangatkan ujung–ujung jarinya dengan menelungkupkan tangan digelas green latte miliknya. Dua sahabat yang duduk dalam satu meja mengembara dengan fantasinya diantara keromantisan titik–titik hujan. Dan apa yang lebih mendesir dari melihat seseorang yang sedang duduk membaca buku disudut jendela suatu kedai kopi saat hujan turun?