Yuto's POV (END)

103 20 15
                                    

    Aku merenggangkan tubuh yang terasa pegal efek terus-terusan berbaring selama dua hari. Karena hujan hari itu, flu dan demamku semakin parah dan aku harus istirahat total. Bersyukur hari ini sudah lebih baik. Hanya masih sedikit pusing.

    Setelah mandi dan merasa lebih segar, aku bermaksud akan mengunjungi Keith. Sejak hari itu, tak ada kabar darinya. Mungkin dia marah. Ya, mungkin mendatanginya lalu minta maaf lebih baik.

    Aku mengetuk pintu berulang kali, tapi tidak ada jawaban. Akhirnya aku putuskan untuk menelepon. Tidak diangkat. Aku mengetuk sekali lagi, berharap kali ini Keith keluar. Bersyukur, ada sahutan dari dalam. Tapi itu bukan suara Keith.

    Tak lama pintu pun terbuka. Tampak seorang pria yang begitu mirip dengan Keith. Aku mengenalinya sebagai Paman Kenichi, ayah Keith.

    "Maaf, Paman," ucapku seraya membungkuk sementara Paman Kenichi hanya tersenyum. "Keith ada?" tanyaku ragu.

    "Kau terlambat,Yuto. Keith baru saja berangkat ke Amerika. Paman baru saja pulang dari mengantar ke bandara," ujar Paman Kenichi seraya menepuk bahuku pelan. Sedang aku ternganga tak percaya.

    "A-Amerika?" tanyaku terbata-bata.

    "Iya." Paman Kenichi mengangguk, lalu melangkah ke salah satu kursi. "Duduk dulu, Yuto." Paman Kenichi mempersilakanku untuk duduk.

    "Terima kasih, Paman," ucapku, kemudian ikut duduk di sebelahnya.

    "Keith akan melanjutkan sekolah ke Amerika. Ia memang cuma liburan di sini. Ia ingin menghabiskan waktu di sini sebelum menetap di sana." Paman Kenichi  memulai penjelasannya.

    Aku hanya menggeleng pelan, tak percaya. Keith tak pernah mengatakan ini sebelumnya. Hancur sudah harapanku.

    "Kapan dia akan kembali?" Kuberanikan diri untuk bertanya. Tak peduli kalau Paman Kenichi akan marah.

    "Setiap liburan dia pasti pulang. Tapi kalau kembali tinggal di sini, kau harus menunggu sekitar dua tahun," jawab Paman Kenichi.

    "Dua tahun!?" Jawaban Paman Kenichi  benar-benar mengejutkanku. Dua tahun bukanlah waktu yang singkat.

    "Dua tahun itu tidak lama. Bersabarlah," ujar Paman Kenichi seraya mengusap pelan punggungku. Sesaat aku bagai mendapat kekuatan untuk menghadapi kenyataan ini.

    "Iya, Paman," sahutku pelan. Selanjutnya aku sudah hanyut dalam lamunan dan pikiran tentang Keith.

    "Oh, iya, Yuto, ada titipan dari Keith untukmu," ujar Paman Kenichi memecah lamunanku.

    "Titipan?"

    Paman kenichi mengangguk. "Tunggu sebentar," ujarnya lalu masuk ke dalam rumah.

    Aku menunggu Paman Kenichi dengan perasaan campur aduk. Sedih, kecewa, marah, semua berbaur menjadi satu. Membuat otakku terasa lumpuh. Tak tahu harus berbuat apa.

    "Ini!" Paman Kenichi menyerahkan sebuah gitar padaku. Gitar Keith. Dengan ragu aku menerimanya. "Keith meminta agar kau menjaganya," lanjut Paman Kenichi.

    "Tapi ...." Aku tak tahu harus bicara apa lagi.

    "Penerbangannya ditunda, pesawatnya akan berangkat 30 menit lagi. Masih ada cukup waktu kalau kau ingin menemuinya." Paman Kenichi menepuk kuat pundakku.

    Kepalaku terangkat. Seperti baru saja ada yang menamparku. Menyadarkanku dari rasa yang menyiksa ini. Kutatap paman Kenichi, seolah meminta pendapat apa yang harus kulakukan. Paman Kenichi mengangguk mantap. Ya, aku harus menemui Keith, untuk terakhir kalinya.

Waiting For The Rain ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang