Segalanya yang ada dunia ini pasti berakhir. Tidak terkecuali.
Begitulah yang diajarkan guru agamaku sewaktu kecil dulu. Pak Basroh namanya. Katanya, hidup di dunia ini hanya ujian—atau pelatihan—sebelum menghadapi kehidupan yang sesungguhnya setelah kematian. Entahlah, aku tidak begitu peduli. Tapi anehnya kata-kata itu melekat di dalam kepalaku.
Ya, segalanya pasti berakhir. Tidak terkecuali. Tidak terkecuali hubungan persahabatanku dengan Adya.
Sore itu, senja masih menggantung di langit. Membias cahaya jingga menawan. Setelah seharian menjajal setiap wahana menantang di taman hiburan, kami memutuskan untuk memberi makan cacing-cacing di perut sebelum pulang.
Adya lagi-lagi memilih sebuah rumah makan sederhana yang menyediakan menu makanan nusantara. Tempat makan favoritnya. Ya, setidaknya dia mengatakan hal tersebut 9 dari 10 kesempatan. Simpan fantasimu tentang restoran super mewah dengan nuansa romantis luar biasa. Lupakan. Tidak pernah ada hal-hal seperti itu dalam hubungan kami. Hal yang membuatku bertahan cukup lama sampai saat ini.
Malam itu, dunia masih terlihat sama. Seharian dengan Adya yang sama pula. Tapi aku tahu, perubahan akan tiba tanpa aba-aba, cepat atau lambat. Yang tidak pernah kutahu adalah, seberapa siap aku menerima perubahan yang akan terjadi?
Kedua mata itu berbinar menatap mangkuk soto yang beberapa menit lalu disajikan. Tak sabar menunggunya sedikit mendingin. Tanpa menatapku, Adya berkata, "ini tempat makan favorit gue."
"Gue tau."
Dia tampak terkejut, bola matanya nyaris menggelinding keluar. "O, ya? Dari mana?"
"Lo pernah bilang, Ad."
"Masa? Kapan?"
Aku mendengus, "hampir tiap kali kita dateng dan makan soto di sini."
Sempat terlintas ada yang salah dari ucapanku saat Adya terlihat menahan senyum geli di wajahnya. Tapi aku yakin tidak ada kata-kata yang menurutku keliru kuucapkan.
"Ada yang lucu?"
"Enggak. Gak ada, cuma... yaa, setahu gue lo gak pernah inget hal-hal kecil kek gitu."
"Oh," kebingungan sedikit menghambat kerja otakku, beruntung tak berlangsung lama. "Ya, that's right! Mungkin ini pengecualian karena lo ngulang kata-kata yang sama tiap kita ke sini."
"Dan gue bisa terus ngulang semuanya, Ya, tanpa bosan, jenuh, atau apa pun yang punya makna serupa. Asal sama lo."
Oh terdengar manis.
Lebih dari itu, tidak terdengar seperti Adya biasanya.
Suasana tiba-tiba berubah. Adya tidak lagi menatap mangkuk soto kesukaannya, matanya menatap lurus mataku. "Lo pasti tahu kan, gue sayang sama lo. Enggak. lebih dari itu, Ya, i have loved you. I did it! Gue tahu, lo... ya, gue gak akan maksa. Gue tahu jelas reputasi lo sejak SMA. But, i couldn't refrain continuous."
Bukan hal sulit untuk memahami arah pembicaraan ini. Aku tidak sebodoh itu, meski nilai-nilai akademisku tidak begitu baik. ini bukan topik pembicaraan favoritku. sebaliknya, ini adalah topik yang paling aku hindari.
Entah kemana perginya cacing-cacing lapar yang sejak tadi meraung-raung di dalam perutku. Rasa lapar itu hilang seiring suasana yang berangsur tak nyaman. Aku harap Adya akan mengubah ekspresi frustrasi di wajahnya dengan cengiran bodoh atau kerlingan di mata nakalnya. Namun alih-alih melakukan hal yang kuharapkan, dia memperburuk suasana dengan menghindari tatapan mataku terang-terangan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Titik Lebur
Teen FictionLeya tidak suka sendirian. Sejak berada dalam kandungan Mami, Leya tidak pernah sendirian. Ada Tala, saudara kembarnya. Mereka selalu bersama dalam keadaan apa pun. Leya tidak peduli dengan lingkungan keluarganya, selama masih ada Tala di sampingnya...