Satu

4.8K 106 1
                                    

Gunung tampak berjejeran di hadapanku, pepohonannya berlomba-lomba tinggi-tinggian, suara mesin pembajak sawah terdengar sudah satu jam yang lalu, sawah-sawah yang gundul. Ah ini hari yang menyenangkan. Weekend memang menyenangkan, apalagi ketika tidak ada orang tua di rumah. Bersantai ria, tidur seharian tanpa gangguan rasanya berada di surga dunia.

Di hadapanku kini adalah sawah yang membentang luas, pinggir kanan-kiri banyak pepohonan yang membatasi luas sawah, kamarku di lantai dua, jendelanya tepat menghadap ke arah sawah. Ya, sekarang aku berada di lantai dua dan sedang menyesap kopi susu kesukaanku, Good Day coffe caramel. Aku sangat suka caramel.

Di bawah, ada beberapa orang——lima ibu-ibu yang sudah paruh baya tengah menancapkan padi kecil itu ke sawah yang sudah dibajak, di sebelah selatannya lagi, ada tukang bajak sawah——orang itu yang membangunkanku, seharusnya aku masih terlelap di atas ranjang empuk kesayanganku tetapi karena suara mesin bajak sawah itu terdengar mengganggu, aku memutuskan untuk bangun. Yah, tidak ada salahnya menyegarkan mata. Setiap hari aku berkutat dengan laptop dan ponselku, bukan aku seorang mahasiswa, juga bukan seorang siswa, aku adalah gadis yang sering dipanggil pemalas oleh ibuku.

Aku sudah pernah kuliah selama satu tahun dan itu membuatku kapok, belajar di sebuah kampus religi membuatku tak mengerti apapun yang dibahas. Dan ini aslinya adalah tahun keduaku berada di kampus, tapi aku memutuskan untuk berhenti kuliah daripada otakku harus menampung pelajaran aneh dan kurang kumengerti.

Ku ambil ponselku, di layar sudah tertera jam 07.36, aku tersenyum tipis. "Ternyata cukup lama ya aku mandi."

Tadi saat aku bangun, jam di layar ponselnya masih bertuliskan 06.22 dan sekitar 15 menit yang lalu aku berganti pakaian kemudian menyeduh kopi favorit ku. Itu artinya aku menghabiskan hampir satu jam di kamar mandi. Yah, kamar mandi memang tempat favorit ku setelah tempat tidur, karena aku bisa merendam tubuhku sesuka yang aku mau.

"Neng! Bagi atuh kopinya!." teriakan tukang bajak sawah itu menghentikan aktifitas ku bermain ponsel. Aku tersenyum, "Sini kang! Ayu buatkan spesial kopi pahit buang kang Ardi!." teriakku.

Namaku adalah Ayu Khanza Salsabila. Anak kedua sekaligus anak terakhir dari Bagus Dermawan dan Ilmiyana Syafabila. Aku mempunyai kakak bernama Haris Al Fatih, kakakku termasuk most wanted di desa ini.

Yang menyapaku barusan adalah kang Ardi. Kang Ardi usianya tak terlalu terpaut jauh dari usiaku, aku masih berusia 19 tahun dan kang Ardi sekarang berusia 22 tahun. Kami dulu sering bermain bersama, juga dengan teman-teman lainnya, tetapi karena kami sudah beranjak dewasa , kami jarang berinteraksi, jangankan bermain dan berkumpul bersama, ketemu saja jarang. Kang Ardi mewarisi sawah dari abah nya, Pak Arto, orang yang sudah ku anggap seperti ayahku juga. Beliau sangat menyayangi aku, melebihi mang Ardi, karena mang Ardi memang jahil dulunya.

"Aih, kamu sama akang kok gitu neng. Masa akang dikasih kopi pahit" ucapan kang Ardi membuatku tergelak. "Aneh-aneh aja ih. Itu kan udah ada kopi di deket pondoknya kang Ardi."

Kang Ardi tak menimpali, ia melanjutkan aktifitasnya. Kuamati dia, lumayan juga, dengan postur tubuh berisi dan kekar, dulu kulitnya putih tapi sekarang lumayan menghitam karena sering mengurusi sawahnya, wajahnya tampan, banyak perempuan disini yang kagum sama kang Ardi. Kang Ardi sudah menuntaskan kuliah S1 nya di Malang, mengambil jurusan Agribisnis, cocoklah dengan kesukaannya. Dia sangat suka menanam, makanya ia lebih banyak menghabiskan waktu di sawah dan kebun.

"Kang, di panasan terus gak takut item apa kang?." tanyaku sedikit berteriak, karena mesin bajak sawah itu terdengar semakin meninggi.

"hahaha, udah resiko atuh neng. Neng Ayu ayo kesini, main ke sawah seru, seger pisan." jawab kang Ardi.

Jatuh dan Bangun Cinta Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang