Dua Puluh Sembilan

208 20 22
                                    

"Seharian ini aku tak bisa menghubungimu. Temui aku besok di restoran tempat terakhir kita bertemu. Kabari secepatnya, kapan kau ada waktu!"

Isi pesan itu terus berputar dalam pikiranku. Mungkinkah Sophie memiliki kekasih lain? Aku melirik ke arah Sophie yang terlelap di sebelahku. Perlahan tanganku meraih gawainya, berusaha agar dia tidak terbangun.

Kucari nama Beni di antara log panggilan atau pesannya. Tak ada satu pun. Rupanya pesan tadi sudah dihapusnya. Perasaanku semakin tak karuan. Kalau tak ada apa-apa antara Sophie dengan Beni, kenapa pula pesan itu dihapusnya?

Gawai itu kembali kusimpan di tempat semula. Mataku nyalang menatap langit-langit kamar. Sikap dan perlakuan Sophie semakin manis sejak aku masuk rumah sakit. Rasanya tak percaya bila benar Sophie mengkhianatiku.

*
Aku berangkat ke kantor seperti biasa. Tapi dalam perjalanan, mampir ke tempat penyewaan mobil, kupilih sebuah MPV warna perak dengan kaca fim two way yang tak dapat terlihat dari luar. Sedangkan mobilku kutitipkan di garasi penyewaan.

Dengan mobil sewaan, aku kembali ke arah rumah. Mobil kuparkir di dekat rumah. Bak detektif di film-film, aku menunggu Sophie. Hari ini, aku akan mengikuti ke mana pun dia pergi.

Hanya sekitar satu jam yang menggelisahkan, aku menunggunya. Mobil Sophie ke luar dari garasi. Buru-buru kuhidupkan mesin mobilku, lalu perlahan mulai mengikutinya.

Sophie berbelok memasuki parkir sebuah hotel berbintang. Setelah memastikan dia parkir dan masuk ke dalam hotel, aku pun mengikuti dan memarkirkan mobil tak jauh dari mobilnya.

Buru-buru aku memasuki hotel. AC yang dingin menyambutku. Aku yakin interior hotel ini indah, tapi saat ini aku tak peduli. Pandanganku hanya tertuju ke arah Sophie yang berjalan dengan tenang menuju meja yang sudah ditempati seorang pria.

Badannya besar, rambutnya botak, perutnya agak buncit, memiliki bekas luka di dekat alisnya, ada tato berbentuk naga di lengannya. Tato itu terlihat, karena dia mengenakan kaus tangan pendek warna merah tua dan celana jeans. Jaket kulit tersampir di kursi yang didudukinya. Secangkir kopi mengepul di mejanya.

Aku mengeraskan rahang penuh emosi, saat melihat pemandangan pria itu berdiri dari kursinya, lalu menyambut kedatangan istriku dalam pelukan dan mencium pipi kanan-kirinya. Walau Sophie tampak tegak bagai papan --tak membalas perlakuan serupa, dia juga tak menolaknya. Hatiku mendidih, tapi aku harus tahu ada hubungan apa antara mereka berdua.

Entah kekuatan apa yang membuatku sanggup menahan amarah, dan tidak langsung menerjang serta meninju pria itu hingga babak belur. Aku malah menyambar koran hotel lalu duduk menghadap mereka, sambil pura-pura membaca. Bersiap memasang telinga atas pembicaraan mereka.

"Ayolah, Soph. Kita sudah lama sekali tidak bersama-sama. Untuk apa lagi kita bertemu di sini hari ini?" Tangan pria itu meraih jemari Sophie. Namun, Sophie buru-buru menurunkan tangannya.

"Aku ingin kebenaran, Ben. Itulah sebabnya, aku bersedia bertemu hari ini. Di mana kau sembunyikan anak itu?"

Beni terkekeh. "Ah, selalu to the point. Khas dirimu sekali. Aku kira suamimu bisa mengubahmu jadi lebih manis, setelah kalian menikah. Ternyata salah. Padahal kalian tampak lebih mesra dan bahagia akhir-akhir ini," katanya.

"Kau memata-matai kami?" tanya Sophie. Bahunya begitu tegang. Aku dapat membayangkan bagaimana raut wajahnya.

"Tidak, tapi kebetulan saja aku melihatmu bersama suami dan anakmu di hotel tadi malam. Dia anak yang ganteng, ya? Mirip ayahnya."

Ketika Sakura Mekar (Versi Lama)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang