Kupandangi wajah Tyo yang sedang asyik menyantap semangkuk bakso itu dalam diam. Aku sedang mencari jawaban, kenapa selalu merindukan sahabatku itu.
"Kamu nggak lapar? Kok males-malesan gitu makannya?" Tyo bertanya sambil terus meneruskan makanannya. Wajahnya sudah menyerupai kepiting rebus, menahan rasa pedas.
Aku terdiam, tak menjawab karena masih asyik memperhatikannya. Bulir-bulir keringat di keningnya, kenapa membuatnya makin terlihat ganteng? Pipinya juga sudah nggak setembem seperti saat masih di sekolah dasar dulu. Rahangnya kini terlihat lebih kokoh, membentuk garis wajah yang mulai mendewasa. Tentu saja dia bukan lagi Prasetyo, sahabat kecilku. Sekarang dia menjelma menjadi cowok yang digemari banyak cewek di sekolah. Siapa sih yang nggak jatuh cinta pada orang yang jago basket, ketua OSIS pula? Dan bagiku, itu sangat menjengkelkan!
"Aku nggak bisa lama dan nganterin kamu pulang. Nggak apa-apa kan, kamu pulang sendiri? Aku ada janji sama Inez." Suara Tyo membuyarkan lamunanku.Matanya mengerling. "Kami mau nonton," lanjutnya kemudian.
Kupaksakan bibir untuk tersenyum. Nonton sama Inez? Anak PADUS yang super keren itu? Ah, tiba-tiba saja dadaku terasa nyeri. Sebenarnya hatiku ingin menangis. Namun, aku mencoba untuk menahan agar airmata ini tidak keluar. Hanya saja, semakin kutahan, jiwaku terasa semakin sesak. Seperti di koyak-koyak melihat sahabat baikku di masa kecil akan pergi menonton bersama Inez, gadis yang juga populer di sekolah.
"Ya Tuhan, apa yang sebenarnya terjadi dengan perasaanku?" tanyaku. Bersabarlah Inka. Kau tidak boleh terbawa emosi. Aku mencoba menenangkan diri. Namun, pada akhirnya aku merasa kesal juga.
Sesampainya di rumah aku langsung masuk ke kamar. Aku sampai tak menghiraukan panggilan Ibu. "Inka ayo makan dulu, Nak! Kalau nggak makan siang nanti kamu bisa sakit. Ini, Ibu sudah siapkan makanannya. Ada apa denganmu? Kenapa kau pulang sekolah tiba-tiba terlihat murung begitu?" tanya Ibu.
"Inka tidak apa-apa, Bu . Inka belum lapar aja, kok. Ibu nggak usah khawatir," elakku sembari melangkah ke kamar. Segera kulemparkan badan ke tempat tidur. Dada ini masih terasa sesak mengingat kejadian tadi. Air mataku tumpah tanpa bisa kucegah lagi.
"Ya Tuhan, apakah ini yang dinamakan perasaan cinta? Tapi, sejak kapan aku mulai mencintai Tyo yang notabene adalah sahabatku sejak kecil?" Hatiku bertanya-tanya.Cinta memang penuh misteri, tidak tahu kapan datang dan pergi seperti halnya angin.
Malam harinya aku memutuskan untuk mengikuti Tyo dan Inez pergi menonton secara diam-diam. Siapa sangka ternyata mereka berdua mengetahui keberadaanku. Saat aku sedang mengendap-endap di belakang mereka, tiba-tiba suara Tyo membuyarkan langkahku.
"Eh, Inka, ternyata kamu ada disini juga, ya?"
Aku menjadi gelagapan. "Emm, eh anu, aku lagi bosen aja di rumah, makanya ke sini," jawabku sekenanya. Ampun deh!
"Oh gitu ya. Eh, kenalin, ini Inez. Nez, kenalin, ini Inka, sahabat terbaikku." kata Tyo. Rupanya Tyo tak menangkap kegugupanku. Syukurlah.
"Oh.Hai, aku Inka." Gadis itu mengulurkan tangan.
Aku terdiam saat Inez memperhatikanku dari ujung rambut sampai ujung kaki. Memangnya, penampilanku kenapa, sampai dia tak berkedip seperti itu?Kupaksakan untuk tersenyum.
"Hai juga, Inez. Semoga kita bisa jadi teman baik," kataku sambil tesenyum getir menutupi rasa sakit hatiku.
"Oh, ya Inka, kamu kesini sama siapa?" tanya Tyo.
Aku bingung mau menjawab apa, tidak mungkin kan, jika bilang aku kesini karena ingin mengikuti mereka?
"Aku kesini sendirian aja," jawabku.
"Ya udah.Kamu gabung sama kita aja, Inka. Boleh kan, Nez?" tanya Tyo pada Inez.
"Em iya, boleh kok," jawab Inez tampak terpaksa sekali.
Entah aku harus senang atau sebaliknya. Aku merasa terjebak, tak bisa menolak tawaran Tyo.Kami pun berjalan bersama. Setiap saat, kuperhatikan mereka bercanda. Aku hanya mampu menanggapinya dengan senyum tipis. Hatiku rasanya mau remuk. Duh!Saat aku sedang berusaha menahan air mata yang hendak jatuh, tiba-tiba Tyo meraih tanganku.
"Inka, ayo ikut aku!" bisiknya. Detak jantungku tak karuan rasanya. "Sebentar ya,Nez.Aku mau bicara sama Inka," ucap Tyo kepada Inez. Gadis itu hanya mengangguk sambil tetap fokus pada gawainya.
Tyo mengajakku berjalan menjauhi Inez.
"Ada apa Tyo?" tanyaku.
"Inka, bantuin aku! Jadi gini ... rencananya, hari ini aku mau nembak Inez disini.Kamu mau bantu, kan?" tanya Tyo sambil tetap menggenggam tanganku.
"HAH!" jeritku refleks.
"Iya. Kamu sahabatku. Tolong bantuin aku mendapatkan hati Inez."
Kutatap mata bening itu. Ya Tuhan, mampukah aku membuatnya kecewa? Akhirnya, aku pun mengangguk tanpa suara dan tersenyum kepada Tyo, meski hati dan kelopak mataku membendung air mata.
"Tyo, asal kau tahu, aku sangat mencintaimu. Tapi, aku tak bisa memaksamu mencintaiku. Aku akan membantumu meraih bahagia, meski itu artinya hatiku harus patah," batinku nelangsa.
Nama Penulis :
(Kelompok Kelelawar)
1. Apri Kuncoro, kelahiran Kebumen 20 April 1999. Hobi menulis sejak SMA.
2. Anggita Dita Sari, kelahiran Karanganyar 19 Agustus 2001. Senang menulis sejak SMP.
3. Alin Tersiana, perempuan biasa yang sedang belajar menulis. Berdomisili di Surabaya.
4.Andes Indriani, seorang gadis pecinta sastra.
Juara 2 dalam Event Challenge bersama Komunitas Sastra Indonesia

YOU ARE READING
Segitiga Cinta di SMA
Fiksi UmumKisah cinta segitiga di SMA, di mana cinta itu bertepuk sebelah tangan. Namun, kekuatan sebuah persahabatan mengajarkan untuk menerima dengan lapang dada. "Aku tak bisa memaksamu mencintaiku. Aku akan membantumu meraih bahagia, meski itu artinya hat...