Chapter 4

806 124 1
                                    

Tapak demi tapak sepasang sepatu berwarna dark blue itu membelah sekumpulan rumput liar, berpijak kanan dan kiri bergantian dengan langkah tangkasnya. Dalam hati si empu merasa bersalah karena sekumpulan rumput liar itu menjadi korban emosinya yang sempat memuncak.

Langit sore masih begitu biru cerah dan awan-awan tipis berarak begitu lambatnya. Proses lambat namun bergerak pasti. Seperti meredanya emosi yang lambat berkurang hingga perlahan sirna.

Pemuda itu berbaring di atas rumput-rumput tipis dengan beberapa kulit tergores. Nampaknya tadi tak sengaja  melewati tumbuhan berduri saat melangkah cepat-cepat.

Angin sore sudah berhembus menerbangkan helaian-helaian cosmos ke udara, namun lelaki muda enggan sekedar membuka mata untuk sekedar melihat cosmos itu sebelum gravitasi menariknya.

Sejak kecil tak pernah sekalipun dirinya melawan sang ayah, hanya selalu menjadi anak penurut dan berbakti. Bersyukur.. karena sang ayah membesarkannya dengan penuh kasih sayang, kedisplinan dan juga penuh perjuangan. Hidup ini sungguh keras untuk orang tidak berpunya seperti dirinya, ia sungguh menyadari betapa besar perjuangan sang ayah untuk mencukupi kebutuhannya dan juga mengabulkan keinginannya.

Sikapnya beberapa saat yang lalu adalah dosa pada sang ayah. Dari ujung mata yang masih terpejam itu turun beberapa titik air, bibirnya masih bungkam namun nafasnya naik turun dengan cepat.

Kerinduan pada sang ibu sudah memuncak demikian besarnya, seolah menyiksa batin terdalam seorang anak.

Salah bila dirinya menyalahkan keadaan, karena sampai kapanpun keadaan takkan pernah bertanggungjawab atas dirinya.

Keadaan takkan mungkin berubah kecuali ia merubahnya sendiri, sama halnya ketika dirinya peringkat 30 di awal semester satu lalu menanjak ke ranking 4 di semester dua. Keadaan akan berubah melalui usaha bukan menyalahkan keadaan seperti yang tengah ia lakukan.

Baiklah, pertama aku harus minta maaf pada ayah, gumamnya.

Dan juga aku harus menemui ibu suatu hari nanti, pungkasnya.

Petang sudah menunjukkan ronanya saat Jaemin sudah tiba di desa, sepatunya sangat kotor terkena debu dan lumpur namun hatinya sudah lebih tenang dibanding dengan beberapa jam yang lalu

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Petang sudah menunjukkan ronanya saat Jaemin sudah tiba di desa, sepatunya sangat kotor terkena debu dan lumpur namun hatinya sudah lebih tenang dibanding dengan beberapa jam yang lalu.

Rumah sederhana tempat sang ayah dan dirinya bernaung bertahun-tahun sudah tampak dari kejauhan, sesekali Jaemin tersenyum pada warga desa yang menyapanya.

"Na Jaemin"

"Ten hyung,  apa yang kau lakukan di sini ?"

Ten melangkah menggunakan kruknya dan dengan kekuatan jari-jari dirinya mulai melancarkan gelitikan pada Jaemin.

"Ampun hyung, tolongg hentikan ahaaha"

Ten memperhatikan Jaemin intens membuat yang di tatap merasa heran, dengan gerakan gugup Jaemin menggaruk belakang tengkuknya yang tak gatal.

"Maaf tadi meninggalkan hyung, aku terlalu kalutㅡpeace hyung."Jaemin membuat gestur dengan dua jari tengah dan telunjuk serta menyunggingkan senyum paling lebarnya. Berharap dengan itu Ten luluh dan tidak jadi memarahinya.

Ten mengangguk,"jika kau merasa bersalah, aku akan memberimu waktu untuk menyesali perbuatanmu dengan beres-beres barang yang akan kau bawa."

Jaemin mengangguk sebentar sebelum menyadari ada sesuatu yang janggal dari ucapan Ten.
"Beres-beres untuk apa hyung ?"

Ten menguarkan flying kissnya yabg entah apa maksudnya,"kita akan pergi ke kota Jaem"

"Ooohh... tungguㅡKITA ?".

"Iya kita, kau dan aku~"

Jaemin menggeleng,"aku tidak bisa meninggalkan ayahku sendirian di sini hyung."

"Tapi kau harus pergi Najaem"suara berat itu sontak membuat Jaemin menoleh ke sumbernya, sang ayah berjalan perlahan menuruni tangga dan lurus berjalan ke arahnya.

Genggaman tangan yang telapaknya jauh dari kata halus itu kini berada di atas bahu Jaemin,"NaJaem, kau boleh pergi ke kota menemui ibumu."

Pandangan Jaemin memburam karena air yang mendesaknya, seumur hidup Jaemin tak pernah meninggalkan desa kelahirannya, meninggalkan sang ayah. Jaemin menggeleng ragu tatkala wajah sang ibu menyeruak dalam celah pikirannya.

"Jaemin-ah,  rindu tak selamanya harus di pendam. Sama seperti cinta yang harus di ungkapkan, rindu pun harus tersalurkan. "

Jaemin memeluk erat sang ayah, ia sudah tak peduli ketika isakan tiba-tiba terdengar dari bibirnya sendiri.
"Terimakasih ayah, maafkan aku, aku sangat menyayangimu"

"Ne, ayah menyayangimu juga dan ngomong-ngomong  Sangeil Chukae NaJaem~"

<To be Continued>

The EndTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang