Jari tanganku mengetuk-ngetuk meja dengan tidak sabar. Beberapa pasang mata menatapku cemas. Terutama seorang gadis muda di hadapanku yang kemudian menghentikan bicaranya. Dia terlihat gugup, bulir peluh berjatuhan di pelipisnya, padahal cuaca akhir Februari sedang dingin.Ah, apa aku membuatnya takut?
"Min Hyorin-ssi, bisakah aku mendengar lanjutan presentasimu besok pagi? Aku kuatir konsentrasiku terpecah, lebih baik kita lanjutkan rapatnya besok saja. Aku harus segera pergi," pamitku segera beranjak menuju pintu.
Lima pasang mata seketika menatapku terkejut, beberapa bahkan tidak sadar bahwa mulutnya ikut menganga. Kenapa mereka semua begitu takut padaku? Aku tidak sedang marah, hanya tidak sabar karena saat ini ada seseorang yang sedang menunggu kedatanganku. Menunggu janjiku.
Tanpa memperdulikan reaksi mereka, aku berjalan cepat menuju ruang kerjaku. Di belakangku seorang laki-laki muda berlari menyusul langkahku.
"Ehm... Manajer Kim, apa ada masalah dengan presentasi Min Hyorin tadi? Aku tidak melihat dimana kesalahannya, tapi sepertinya anda terlihat gusar. Bukan dia masalahnya kan?"
Jung Hoseok, nama laki-laki yang terus mencecarku dengan pertanyaan tanpa henti. Aku tidak menanggapinya, langkahku semakin cepat memasuki ruang kerjaku dan menyambar tas serta mantel sekali jalan. Handphone ku bergetar, sepertinya telepon masuk.
Jung Hoseok berdiri menghalangi pintu, masih menatapku dengan mata cemasnya. Apasih maunya anak ini?
Kuangkat satu telapak tanganku ketika mulutnya hampir bicara lagi.
"Tidak ada masalah dengan Hyorin-mu, aku buru-buru, harus segera pergi, Jungkook menungguku. Minggir," tukasku tidak sabar.
Pemuda itu segera melompat minggir dari pintu. Raut mukanya langsung berganti menjadi lega. Dasar Hoseokie, mudah sekali emosinya berubah-ubah.
Tanpa menggubris teriakan selamat-malam-selamat-bersenang-senang dari Hoseok, aku setengah berlari menuju lift yang terbuka. Kusampirkan tas dan mantelku di tangan kiri. Tangan kananku mengangkat handphone untuk menerima panggilan masuk. Nama Kim Maknae tertera di layar.
"Aishh! Apa lagi ini?!" teriakku seketika handphone menyentuh telingaku.
"Ya! Apa kau sudah gila? Sepuluh menit lagi kau harus sudah disini!" teriakan dari seberang tak kalah nyaring.
Tut tut tuut...
Sambungan diputus sepihak. Aku geram, kulempar handphone ke dalam tas. Apa lagi masalahnya sekarang? Duh, kepalaku mendadak pening.Lift terbuka, aku berlari keluar menuju deretan parkir terdekat. Untunglah jabatan manajer ini sangat berguna untuk urusan parkir. Aku mendapat fasilitas spot parkir khusus yang tidak jauh dari pintu lift.
Dengan gerakan cepat aku membuka pintu pengemudi, masuk, melempar mantel dan tas di kursi sebelah, menutup pintu, memakai seatbelt dan menyalakan mesin.
Semenit kemudian mobilku sudah meluncur membelah jalanan di kota Seoul. Kulirik jam di dashboard, pukul 8:00 malam.
"Jungkook, aku datang," bisikku lirih.
-------
Pukul 8:20 malam.
Aku berlari seperti orang gila dari tempat parkir menuju sebuah auditorium sekolah menengah pertama di sudut kota Seoul.Begitu sampai di pintu masuk hall, aq hampir roboh menabrak dinding samping. Tangan kananku mencengkeram kerah mantel kuat-kuat, napasku satu satu. Udara dingin menusuk paru-paruku yang menjerit menuntut oksigen. Usia tubuh ini benar-benar tidak dapat ditipu, apalagi aku jarang sekali berolahraga.
Aku tersentak ketika pintu hall tiba-tiba terbuka, dan kepala Kim Seokjin menyembul dari balik pintu besar itu. Tapi dia lebih kaget saat melihatku, dan langsung berteriak padaku.
"Noona! Kenapa berdiri saja disitu, ayo masuk sebentar lagi mulai!"
"Iya...iyah...," napasku terengah,
"Aku...sudah...datang," aku beringsut mendekatinya,
"Kau...cerewet sekali!" gerutuku saat Jin membuka pintu dan menarikku masuk.Jin berjalan tergesa sambil menyeretku menuju pintu kedua, gemuruh tepuk tangan terdengar dibaliknya. Jin membuka pintu dan mendorongku masuk ke dalam ruangan auditorium yang telah penuh dengan manusia.
Aku tercenung seketika.
Di depan sana, terdapat panggung besar penuh sorot lampu. Berdiri di tengahnya seorang anak laki2 yang sangat tampan. Disebelahnya terdapat sebuah grand piano hitam mengkilat.
Tepuk tangan telah berhenti, namun anak laki2 itu hanya berdiri disana sambil mengedarkan pandangan sekeliling, seolah mencari-cari seseorang. Wajahnya nampak cemas.
"Jung...kook," ratapku, tepat ketika mata besar anak laki2 itu menatap kearahku. Sedetik kemudian ia tersenyum. Detik berikutnya ia beranjak duduk di depan piano dan mulai meletakkan tangan dan kaki di posisinya.
Sejak kapan Jungkook bisa bermain piano??
Lalu mulailah terdengar alunan suara piano yang merdu dari tangan-tangan lincah Jungkook diatas tuts.
Tidak! Lagu itu...
"Clair de lune," bisik Jin disampingku.
Lututku lemas seketika. Tubuhku merosot tepat disaat tangan Jin menangkapku. Aku mencengkeram, lebih tepatnya menancapkan kuku-kuku jariku di tangannya, tak ada tenaga tersisa. Energiku habis, dadaku sesak, nyeri rasanya.
Jungkook...anakku.
Memainkan lagu itu.
Dia bahkan diam-diam belajar piano!Dan seketika seluruh kenangan itu pun mengalir kembali padaku.
Satu persatu.----------
Author says:
Halo readers, selamat datang di cerita pertamaku.
Cerita ini adalah murni hasil kehaluan atas idol group favorite ku sejak 2016 lalu.Sebagai author baru di wattpad, maafkan jika masih banyak kekurangan.
Mohon saran dan masukannya ya.Kuharap tidak terlalu mengecewakan kalian.
p^o^q
#LoveYourself
#LoveMyself
#Peace
KAMU SEDANG MEMBACA
First Love Never Dies
FanfictionFirst love never dies. Tadinya kupikir itu hanya mitos belaka. Sampai takdir mempertemukanku kembali dengannya. Tetapi, "Lima belas tahun berlalu, apa kau pikir istilah cinta pertama itu masih relevan?" sindir Yoongi dingin. Lelaki itupun berlalu, m...