Braakk!Tanganku menggebrak meja, rasa panas menjalar setelahnya.
Ayahku melotot menatapku. Wajahnya berubah warna kemerahan. Ayah tampak menahan napasnya. Marah."Tidak appa! Aku tidak sudi menikah dengan siapapun yang bukan pilihanku!" teriakku.
"Memang siapa pilihanmu? Berandalan itu?!" hardiknya.
"Appa tidak berhak menghinanya. Aku yang memilihnya!" suaraku pecah bersamaan dengan jatuhnya air mata.
Hari itu adalah awal dari akhir segalanya. Ayah menyuruhku menikah dengan dosen juniornya di kampus. Doktor muda yang belakangan sering dipujanya dihadapanku. Tak pernah kusangka, inilah maksudnya.
Aku tidak mengenalnya, bahkan bertemu saja belum pernah. Dan sekarang aku tidak mengenal ayahku lagi. Ayah sungguh telah berubah. Sejak mengalami serangan stroke dua tahun lalu, aku tak lagi dapat memahami ayahku.
Ayah sudah gila, pikirku.
Bahkan usiaku belum genap 20 tahun. Bagaimana bisa ayah menyuruhku segera menikah, dengan laki-laki yang tidak kukenal sama sekali."Appa sudah mengatur semuanya. Tugasmu hanya menurut perintah appa. Tidak ada alasan, apalagi penolakan! Kamu akan menikah tepat di hari ulang tahunmu September nanti," tegasnya.
Ayah memutar kursi rodanya menuju pintu, ya ayah kehilangan fungsi kakinya sejak serangan itu. Sesaat ayah berhenti di pintu, kemudian melirik tajam kearahku.
"Tinggalkan anak berandalan itu sebelum appa yang memaksanya menjauh darimu!" perintahnya, kemudian berlalu.
Tubuhku merosot ke lantai.
Tak kuasa lagi menahan tangis, akupun meraung sejadinya. Aku sangat kecewa, pada ayah dan juga diriku sendiri."Min Yoongi... Maafkan aku," ratapku pedih disela tangis.
Laki-laki yang sangat kucintai, tidak lain adalah Min Yoongi. Kami berkuliah di kampus yang sama meski berbeda jurusan. Kami saling mencintai, meski banyak perbedaan diantara kami.
Ayah tidak menyukainya sejak awal, karena menurut ayah, Min Yoongi tidak punya masa depan. Jurusan musik tempat Min Yoongi belajar dianggap tidak berharga dimata ayahku.
Ayahku seorang profesor matematik yang disegani di kampus kami. Meski kecewa karena aku sama sekali tidak mewarisi kecerdasannya, namun tidak ada yang bisa ayah lakukan saat kupilih kuliah di jurusan PR.
"Sora, kau boleh kuliah dan main-main semaumu karena appa sudah merencanakan masa depanmu. Tugasmu hanya menurut perintah appa," pesan ayah ketika aku memutuskan untuk mengambil minat akademis non matematik.
Ayahku bukanlah orang yang kejam. Namun pembawaannya yang tegas dan disiplin dalam mendidik kedua anaknya adalah bentuk kasih sayang ayah. Semenjak kepergian ibu, ayah lah yang membesarkan dan mendidik kami. Usiaku baru 10 tahun saat ibu meninggal karena pendarahan hebat setelah melahirkan adikku, Kim Seokjin.
Namun, tak pernah terpikir olehku bahwa ayah akan memaksakan kehendaknya terhadap masa depanku. Menikah di usia 20? Bahkan kuliahku baru berjalan selama dua tahun! Bagaimana dengan cintaku?!
Aku marah dan mengurung diri. Sudah dua hari aku tidak beranjak dari kamar. Aku tidak punya semangat untuk melanjutkan hidupku, bahkan tidak berminat untuk bertemu siapapun.
Aku masih bergelung dibalik selimut saat suara ketukan dan derit pintu yang terbuka memecah kesunyian.
"Noona? Boleh aku masuk?" suara Jin terdengar cemas.
Aku memejamkan mata, tak ingin melihat wajah sedihnya. Aku tahu Jin ikut bersedih karenaku. Meski masih anak-anak namun adikku selalu perhatian padaku, seperti ibu, Jin menyayangiku selayaknya ibu baginya.
"Sampai kapan noona akan mogok seperti ini? Tidak makan. Tidak mandi. Tidak ingin keluar sama sekali? Aku kesepian," rengeknya.
Aku tetap diam saat Jin duduk di ranjang disebelahku. Aku masih memunggunginya. Jin menyentuh bahuku, dia tahu aku tidak sedang tidur.
"Handphone noona mati? Seseorang menelepon ke rumah beberapa kali sejak kemarin. Tapi begitu diangkat, langsung ditutup. Apakah itu pacarmu, noona?" tanyanya polos.
Hatiku mencelos. Yoongi mencariku, dia pasti nekat menelepon ke rumah karena handphone ku tidak aktif. Meski aku tidak mengatakannya, Yoongi tahu pasti bahwa ayahku tidak menyetujui hubungan kami.
"Jin-ah, maukah kamu membantuku?" gumamku lemah.
"Baiklah, tapi noona harus menemaniku makan malam ini. Aku benci makan sendirian. Appa tidak mau makan bersamaku. Noona mengurung diri disini. Apa kalian berencana membuatku mati kelaparan?" gerutu Jin.
"Maafkan noona, nanti malam kita makan bersama," ucapku sambil menoleh menghadap Jin.
Jin tersenyum senang. Kemudian alisnya bertaut saat bertanya, "Aku akan membantu noona. Apa yang harus kulakukan?"
Aku menatap Jin ragu.
Aku ingin bertemu Yoongi. Tapi aku takut. Apa yang harus kukatakan padanya?"Maukah kamu ikut denganku besok? Aku akan menemui Yoongi. Tapi aku takut pergi sendiri," ucapku ragu.
Jin mengangguk setuju. Senyumnya bertambah lebar. Sepertinya dia senang karena merasa akan kuajak jalan-jalan. Ah, Jinie ku begitu polos.
Jin berbaring disisiku sambil memeluk erat lenganku. Kata-kata yang keluar berikutnya sungguh membuatku haru.
"Aku tidak mengerti apa masalah appa dan noona. Tapi aku tahu noona sangat sedih karena pertengkaran kemarin. Maaf aku tidak sengaja menguping," ucapnya pelan.
Kuusap kepala Jin lembut, teringat bahwa sejak bayi hingga usia lima tahun dia selalu tidur denganku. Aku terbiasa membelai rambutnya hingga kami terlelap.
"Jin-ah, maafkan noona yang egois. Jadilah anak kebanggaan appa, karena noona tidak bisa menjadi seperti harapan appa. Kau satu-satunya yang bisa dibanggakan appa."
Jin tampak bingung mendengar ucapanku, mungkin dia belum paham apa yang kukatakan. Tapi bukan Kim Seokjin namanya kalau tidak sok tau.
Dia berpikir sejenak kemudian mengangguk mantap sambil tersenyum menatapku.---------------
Author says:
Kuharap kalian paham dengan alur cerita yang kubuat.
Jika ada typo silahkan komen ya.
Semoga cerita ini bisa ku update setiap wiken.
p^0^q
KAMU SEDANG MEMBACA
First Love Never Dies
FanfictionFirst love never dies. Tadinya kupikir itu hanya mitos belaka. Sampai takdir mempertemukanku kembali dengannya. Tetapi, "Lima belas tahun berlalu, apa kau pikir istilah cinta pertama itu masih relevan?" sindir Yoongi dingin. Lelaki itupun berlalu, m...