Konstruksi

6.2K 1.1K 116
                                    

Namanya membangun hubungan itu nggak ada yang gampang, gue dan Hyunjin sama-sama mengakui itu.

Ada tiga tahap. Pertama, pendekatan. Katanya masa-masa ini adalah masa yang paling indah, tapi gue nggak setuju. Nggak ada hal yang pantes dibanggain saat Hyunjin melakukan pendekatan-gue sebetulnya sangsi untuk menyebut itu pendekatan karena nggak ada hal-hal yang merujuk ke arah pendekatan. Cuman kayak... dua orang asing yang terpaksa harus jalan bareng dan ngobrol bareng. Nggak ada progress.

Hyunjin tuh... kering banget. Bener-bener kayak kanebo kering, dia lebih terkesan nggak tau harus berbuat apa dan bagaimana. Kalau lihat secara sekilas dan mendengar beberapa komentar cewek akan Hyunjin sih, pasti nggak jauh-jauh dari,

"Ganteng. Nggak mungkin nggak punya cewek."

"Gila sih, ceweknya beruntung amat dapet modelan kayak Hyunjin."

"Cewek masa depannya Hyunjin kayaknya pernah sedekah satu apartemen kali ya sampe bisa dapetin Hyunjin."

"Huhuhu, Hyunjin kenapa keren banget sih."

Nggak. I'm not that lucky. Malahan, gue merasa kalau Hyunjin yang beruntung dapet cewek modelan kayak gue karena... bruh, seriously? Dia aja bangun masih suka kesiangan, naro drafting tube aja masih suka sembarangan, makan aja masih pilih-pilih dan iya, gue nggak sedekah satu apartemen juga sih karena miskin. Mungkin cewek masa depan Hyunjin yang mereka maksud bukan gue.

Tahap kedua, jadian. Ini nih, gue suka malu sendiri kalau nginget masa ini. Nggak ada yang spesial dari salah naik kereta berdua dan berakhir gue maksa dia untuk nganterin gue pulang.

"Jin, terus gimana? Gue ketinggalan kereta," ujar gue saat itu. Setelah salah naik kereta, gue dan Hyunjin memesan grab car dengan rumahnya sebagai destinasi. Gue panik lah, besok ada acara keluarga dan jam 9 malem gue belum sampe rumah. Mana jauh lagi.

"Yaudah santai aja. Kan bisa ngegrab," jawab dia, terlalu datar sampai rasanya gue pengen banget masukin kepalanya ke dalam akuarium yang berisi ikan hias.

"Dari rumah lo ke rumah gue seratus ribu, Jin. Sadar dong, rumah lo pelosok."

"Kok ngeledek sih lo?" tanya dia nyolot.

"Ya lagian, sih."

"Gue nggak bakal boleh nganterin cewek segini. Beneran."

"Terus gue gimana? Sumpah males banget gue sama lo ya."

"Sebentar." Hyunjin langsung membuka hapenya dan menelepon seseorang yang gue yakini adalah Ibunya.

"Ma jangan pergi. Mobilnya mau aku pake."

Gue masih menyimak saat itu. Nggak tau di ujung sana ngomong apa.

"Ada urusan."

Belum selesai.

"Yaudah."

Hyunjin nutup panggilan. Nggak bisa dikonklusikan, gue nggak mendapat clue apapun.

"Nanti sampe rumah bilang ke nyokap gue, lo pacar gue aja. Biar boleh."

"Boleh apaan?"

"Boleh juga."

Sampai sekarang, gue nggak tau maksud dari 'boleh juga' itu apa. Gue nggak bertanya karena kepalang kesel sama dia, tapi begitu menghadap Ibunya, mau nggak mau gue ngaku jadi pacarnya.

Ternyata malah jadi pacar beneran.

Yang ketiga, memelihara hubungan. Banyak pasangan di luar sana yang pacaran udah lebih dari satu tahun, bahkan bertahun-tahun. Tapi, sama Hyunjin baru enam bulan aja udah bikin bosen. Saking monotonnya hidup gue saat sama Hyunjin.

Dibanding jadi pacar, gue malah keliatan jadi adek di depan temen-temennya mengingat mata dan alis yang kita punya mirip.

"Adek ke berapa ini, Jin?"

"Sebentar, bukannya lo tunggal ya, Jin?"

Dan yang paling parah adalah,

"Jin, ini anak dari bapak tiri lo?"

Belum. Belum parah, maksud gue yang paling parah adalah,

"Iya dah. Suka-suka lu aja."

...gue nggak dianggep pacar :(

Respon dia selalu begitu. Nggak heran kalau sampai saat ini, menginjak hubungan ke enam bulan, Hyunjin terkenal karena predikat cowok ganteng yang nggak punya cewek sefakultas teknik. Iyalah, orang gue cuman adeknya doang.

"Hyunjin."

"Hm?"

"Nengok bentar."

"Apaan?" Dan dia menoleh ke arah gue.

"Kakinya masih sakit nggak?" tanya gue sambil melihat ke arah tulang keringnya yang tertutupi celana jins abu-abu.

"Masih."

"Udah diobatin?"

"Tumben amat peduli."

Fufufu, padahal gue bukan Raisa, tapi kok serba salah. Nggak peduli dikira nggak sayang, dipeduliin dianya malah skeptis.

"Yaudah iya dah."

"Bercanda. Tolong ambilin penggaris gue di lemari."

Akhirnya gue bangkit dari lantai dan mengubek-ubek lemarinya untuk mencari penggaris ziegel kebanggaannya itu. Berkutat selama dua menit, gue tak kunjung mendapatkan penggaris itu.

"Naro dimana sih? Nggak ada."

"Di lemari."

"Nggak ada."

"Lemari baju."

"Bilang dari tadi kek. Kan gue cari di lemari buku."

"Lah siapa suruh nggak nanya lagi."

Sore itu waktu gue dihabiskan untuk bantuin Hyunjin ngerjain tugas, mulai dari ngambilin penggaris yang ada di lemari baju, ngambilin sketchbook A4 dan ternyata dia butuhnya A3, nyariin drafting tube yang dia taro di atas lemari baju dan gue nggak nyampe, dan bikinin kopi.

Nggak ada bedanya sama pembantu.

🌙

Anak SMA

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Anak SMA

vs

Anak kuliahan

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Anak kuliahan

Aku #TeamHyunjinTidakGondrong

((edit: GUE JUGA TIM HYUNJIN GONDRONG BANGSATTT))

Pacar Anak Teknik | Hyunjin [ON-HOLD]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang