Suara sirine ambulans, teriakan para medis, tangisan orang-orang di sepanjang lorong saling bersahut-sahutan. Aku mengikat asal rambut sebahuku kemudian menghampiri ambulans dengan langkah tergopoh-gopoh, bahkan aku nyaris terpeleset karena sepatu berhak tinggi yang aku pakai bergesekan dengan lantai yang licin.
Dengan kesal aku melepas lantas melepar sepatuku ke sembarang arah. Sekarang bukan waktunya untuk mementingkan penampilan. Pintu belakang ambulans terbuka, beberapa perawat yang datang bersamaku langsung memindahkan seorang pasien yang sudah bersimbah darah ke brankar yang kami bawa dari UGD.
"Cepat! Cepat! Pasien ini kehabisan banyak darah. Lakukan operasi segera! Kakinya patah." Kata seorang Dokter yang berada didalam ambulans tersebut kepadaku.
Aku mengangguk patuh kemudian ikut mendorong brankar tersebut bersama perawat yang lain. Kami semua langsung membawa pasien berseragam pilot ini menuju UGD terlebih dahulu untuk mempersiapkan segala setuatunya sebelum operasi. Mulai dari pemeriksaan fisik, memastikan bahwa lambung dan usus pasien dalam keadaan kosong, penandaan daerah operasi, sampai kebersihan pasien.
Kemudian giliran aku yang mengganti pakaianku dengan scrub biru muda yang lebih steril. Akupun tidak lupa untuk mengambil sepatu kets bersih dan memakainya. Aku tidak perduli dengan stiletto mahalku yang terlempar entah kemana tadi.
Lalu cepat-cepat aku memasuki Operation Komer bersama dua dokter anestesi, perawat anestesi, perawat operasi sebagai asisten, dan beberapa perawat yang sudah stand by didalam.
Aku menatap satu persatu orang yang berada di ruangan itu. Lalu aku menganggukan kepalaku sebagai kode bahwa operasi akan dimulai. Kami semua sempat memejamkan mata selama beberapa detik untuk merapalkan doa. Jujur aku sedikit gugup, karena yang akan aku tangani kali ini bukan pasien biasa. Melainkan seorang pilot!
Luar biasa sekali! Selama menjadi dokter spesialis bedah Orthopedi dan Traumatologi, aku tidak pernah melakukan bedah dan semacamnya terharap orang yang berprofesi penting seperti ini. Apalagi tadi aku melihat sendiri keadaan pilot itu yang sangat mengenaskan. Dengan wajah berlumuran darah juga kakinya yang patah, seragam kebanggaannya sudah terkoyak di beberapa bagian. Oh jangan lupa ada pin kecil dibagian dada kirinya yang menancap pada kulitnya!
Dalam hati aku terus berdoa kepada Tuhan semoga semuanya akan baik-baik saja.
"Scissors," Pintaku, seorang perawat dengan gesit memberikan apa yang aku minta.
Dengan penuh kehati-hatian aku mulai menjalankan tugasku.
✈🏥
Mengusap peluh di pelipisku, aku menghela napas lega. Setelah hampir tujuh jam aku berada di dalam OK dan melaksanakan tugas yang tidak ringan. Akhirnya aku bisa duduk santai di kafetaria rumah sakit tempatku bekerja. Aku mengaduk-aduk teh camomile dengan sedotan kecil kemudian menghirup aromanya yang mampu membuat perasaanku sedikit membaik.
"Dokter Kasa..."
Haikal, salah satu dokter tampan dari divisi kardiologi tiba-tiba saja sudah berdiri menjulang di hadapanku. Aku tercenung beberapa detik kemudian tersenyum samar dan mempersilahkannya untuk duduk.
"Habis bedah, Dok?" Tanyanya kepadaku sambil menunjuk scrub dengan percikan darah yang aku pakai.
Setelah keluar dari OK tadi, aku memang langsung menuju kafetaria tanpa mengganti scrubku terlebih dahulu. Kepalaku sudah terasa pusing dan aku butuh teh dengan segera.
"Iya, sori aku belum sempat ganti baju. Kamu jauh-jauh gih, aku kotor."
Bukannya menjauh seperti perintahku, Haikal malah tekekeh kemudian ia merogoh kantung jas putihnya dan mengeluarkan sapu tangan untuk mengusap pipi kananku.
Aku terkesiap lalu menahan pergelangan tangannya.
"Ada darah di pipi kamu, Dokter Kasa."
"Aku bisa sendiri." Kataku ketus lalu merebut sapu tangan bermotif batik miliknya itu.
"Kamu selalu menyalahi aturan ya. Seharusnya sebelum melangkah keluar dari ruang operasi, kamu harus sudah mengganti scrub kamu dengan pakaian bersih." Katanya diiringi senyum simpul yang membuat wajahnya semakin tampan.
Aku memutar bola mata malas. "Aku selalu butuh teh setelah selesai operasi, ngga ada waktu kalau harus ganti pakaian dulu."
"Tapi kan ngga steril, Dokter Kasa..."
Ugh! Bisakah laki-laki ini diam, mengunci mulutnya rapat-rapat, dan berhenti memanggilku Dokter Kasa dengan nada lembut yang dibuat-buat?! Jujur saja aku muak.
Aku berdiri dengan gerakan tiba-tiba sampai kursi yang aku duduki berdecit nyaring. Lalu aku memandang Haikal dengan mata menyipit tak suka.
"Aku sudah sangat paham sekalipun kamu tidak memberi tahu aku."
Aku berbalik dan menghentak kakiku dengan kesal. Tapi sebelum aku benar-benar pergi Haikal mencekal bahuku.
"Baby, kamu masih marah?"
Sontak aku menepis tangannya. "Apa? Baby? Kamu lupa kalau kita udah ngga ada hubungan apa-apa lagi?"
Haikal tidak marah atau tersinggung dengan nada bicaraku yang sarkas. Dia justru semakin melebarkan senyumnya.
"Kapan sih kamu mau berhenti jadi playgirl? Hm?" Kata Haikal.
Aku membuang pandanganku kearah lain sambil berkacak pinggang. Kemudian memandangnya lagi sambil mengacungkan jari tekunjuk tepat di depan hidung mancungnya.
"Urusan kamu apa? Mau kapan dan bagaimana caranya aku berhenti gonta-ganti pacar itu urusan aku! Lagian siapa suruh kamu selingkuh, hah?!" Aku menaikan suaraku sampai petugas kebersihan serta penjaga kafetaria terbengong-bengong melihatku dan Haikal.
"Tapi aku cinta mati sama kamu, Kasa..."
"Tapi akunya ngga cinta sama kamu." Kataku geram menahan emosi yang meluap didalam dadaku.
Dia menyentuh pundak ku lagi dan cepat-cepat aku menepis tangan besarnya itu. Haikal ini tipikal laki-laki keras kepala dan bawel! Membuatku merasa jengah setiap kali berdekatan dengannya.
Itulah alasan kenapa aku putus dengannya dua hari yang lalu. Yaah, selain karena dia sudah berselingkuh dengan perawat cantik di rumah sakit ini juga.
"Kasa,"
"Haikal please! Berhenti memanggilku."
Tidak mau mendengar Haikal mengoceh lagi, aku segera pergi dari kafetaria menuju ruanganku untuk mengganti scrub dengan pakaianku yang bersih karena sejujurnya malam ini Mami memintaku untuk segera pulang. Beliau bilang akan ada tamu penting yang akan berkunjung kerumah kami. Tapi aku mengingkari janji karena ada jadwal operasi yang mendadak.
Selalu ada aroma-aroma mencurigakan kalau orangtuaku satu-satunya itu sudah memberi ultimatum seperti; harus pulang cepat dan dandan yang cantik. Mami pasti akan mengenalkan aku dengan anak temannya untuk dijadikan calon suamiku. Tentu saja Mami melakukan itu semata-mata karena tahu tabiatku yang selalu berganti pacar setiap bulannya. Dan ia pasti ingin aku berhenti bermain-main dan memantapkan hatiku pada satu pria saja.
Padahal setelah putus dengan Haikal, aku sudah berjanji kepada diriku sendiri untuk berhenti menjalin asmara dengan laki-laki yang tidak akan pernah aku ajak serius.
Ingat ya! Tidak akan pernah ada laki-laki yang aku anggap serius keberadannya. Siapapun itu.
"Suster Rhe, aku balik ya."
Kataku kepada perawat yang berada dalam satu divisi denganku. Suster Rhe mengangkat kepalanya dari chart-chart pasien yang sedang ia baca dan tersenyum ramah kepadaku.
"Iya Dok."
"Jangan lupa untuk mengontrol dan urus data-data pasien pilot yang patah tulang tadi." Peringatku sambil tetap fokus mengaplikasikan bedak di wajah.
"Siap, hati-hati ya Dok." Katanya. Aku mengangguk, memasukan bedak kedalam tas, lalu buru-buru pulang dan menyiapkan hati untuk bertemu sang tamu penting!
KAMU SEDANG MEMBACA
Al dan Kasa
Romance"Hari ini aku terbangun di pagi yang dingin, membiarkan secercah cahaya matahari masuk lewat celah jendela kamarku. Aku mencarimu, tapi kamu tidak ada, lalu aku menangis. Sambil memeluk diriku sendiri, menyadari betapa berharganya setiap waktu yang...