"Hey!! Copet!! Berhenti!!" Teriak ku sambil bergegas keluar bus dan mengejarnya.
Langkah lelaki itu cepat, tapi dia tidak bisa mengalahkan ku, tidak kali ini. Tidak lucu jika aku kehilangan dompetku untuk yang kedua kalinya.
Aku terus mengejar copet itu, kakiku terasa sakit, nafasku mulai terengah-engah, dan dadaku terasa terbakar.Aku berhenti untuk mengambil nafas. "Arghhh....aku sudah tidak sanggup" ujarku sambil membungkuk memegang kedua lututku. Ketika aku kira copet itu sudah kabur, ada sesosok pria berdiri didepanku. Sweater abu-abu yang dia kenakan terlihat lusuh, ditambah bekas keringat yang muncul di bagian dadanya. Setelah aku berhasil bernafas dengan normal. Aku mendongakan kepala untuk melihat siapa lelaki itu. Dan itu adalah awal mula dari suatu hal yang tidak pernah aku bayangkan sebelumnya.
Memori itu terlintas sesaat aku menginjakan kaki di kota tempat aku menghabiskan masa kecilku. Saat itu usiaku masih 16 tahun. Dan lihatlah sekarang. Diumurku yang ke 26, aku kembali kesini untuk bekerja sebagai dokter residen senior di rumah sakit lokal. Aku tidak sabar untuk menjelajahi kota ini lagi.
Setelah sampai di gerbang penjemputan, aku segera memberhentikan taksi sambil mendorong tas koperku yang lumayan berat. Aku membawa satu buah koper besar, satu tas punggung berisi laptop, dan tas kecil untuk menyimpan dompet serta smartphone ku.
"Mau kemana mba?" tanya supir taksi itu.
"Ke Townhouse Edelweis, blok B6" perjalanan terasa sunyi, mungkin karena waktu sudah menunjukan larut malam. Sampai tiba-tiba supir itu berkata.
"Mba, kok kayak familiar?Dulu pernah tinggal dikota ini ya?"
Sebenarnya aku merasa segan untuk menjawab pertanyaan tersebut ,terlebih lagi dari seorang asing yang baru aku kenal.
"Hmm..iya mas, dulu saya waktu kecil tinggal dikota ini" aku pun merasa suara pria ini sedikit familiar, setelah beberapa saat, supir itu setengah berteriak dan mengagetkanku.
"AHH! LILY? Nama kamu Lily kan? Ini aku, Eric!" ucap supir itu sambil menengok ke arah belakang. Setelah mengusap mataku berkali-kali, sambil memfokuskan pandanganku. Aku melihat sosok pria muda, kelihatan seumuran denganku. Rambutnya sedikit pirang diujung, matanya tidak terlalu besar dengan bibir yang tipis. Rasanya aku pernah mengenal pria ini, gumamku dalam hati sambil terus berusaha mengingat-ingat kapan aku pernah melihat dia. Dan seketika akupun terkesiap.
"OMG!! Eric! Ini beneran kamu? Udah lama banget kita ngga ketemu? Ya ampun, kok kamu ngga berubah sih?" dan sejuta pertanyaan lainnya yang aku lontarkan ke dia.
"Hahaha...Lily Lily, kamu juga ngga berubah ya, masih cerewet kayak dulu!" dia berkata dengan nada mengejek. Akupun mendaratkan pukulan kecil bahunya, sementara ia lanjut tertawa.
"Aku kira ngga akan bisa lihat kamu lagi disini! Soalnya kamu dulu tiba-tiba langsung ngilang gitu aja sih."Eric benar, kepindahanku 7 tahun lalu yang amat sangat mendadak, tidak hanya menyisakan luka di hatiku, tetapi teman dan juga orang-orang yang ada disekitarku. Ayahku adalah seorang dokter bedah sekaligus relawan, ia aktif berada di zona konflik atau kedua negara yang tengah berperang.
"Iya, dan aku bener-bener nyesel soal itu. Tapi setidaknya aku sudah mengirimkan kartu pos serta surat untuk kamu kan?" tanyaku kepada Eric.
"Well, itu aja ngga cukup liy, seenggaknya kita bisa buat farewell party buat kamu" ucapnya dengan nada yang murung. Tapi tidak berapa lama nada bicaranya kembali normal"Kamu sekarang kerja apa? Balik kesini ada keperluan kerja atau ada seseorang yang ingin kamu temui?" tanyanya berusaha mengganti topik pembicaraan.
"Aku diterima di program senior residen. Kamu tau Rumah Sakit di pinggiran kota ini kan? Nah, 2 hari lagi aku mulai kerja disana" ujarku kepada dia
"Dokter? Atau perawat?""Dokter bedah trauma" jawabku
"Hah? Beneran? Aku ngga nyangka loh, soalnya dulu kamu sendiri yang bilang ngga mau ngikutin jejak ayah kamu, karena dia selalu sibuk di rumah sakit dan jarang pulang" perkataan Eric seperti membuka luka lamaku, saat dimana aku akan pulang dan menemukan diriku sendirian di rumah karena ayahku sibuk bekerja tanpa kenal waktu.
"Hmm...ya aku rasa buah tidak jatuh jauh dari pohonnya?" sambil tertawa kecil"Ohiya, Gimana kabarnya Ethan?" Ethan, sebuah nama yang sudah sangat lama tidak aku ucapkan. Tapi jujur, dia adalah orang yang pertama aku ingat sesaat aku sampai di kota ini.Eric terlihat terkejut dengan pertanyaanku, sambil terbata-bata dia menjawab"Oh..Ethan? Ethan...dia..hmm..dia.." ucap Eric sambil terbata-bata"Dia kenapa?" Nada bicara ku sedikit meninggi"Lily, sebaiknya kamu ngga perlu mencari kabar tentang Ethan. Aku khawatir nanti kamu malah kenapa-kenapa" Dari nada bicara Eric, dia benar-benar merasa khawatir kepadaku"Kamu ngomong apa sih Eric? Aku ngga ngerti maksud kamu apa""Jadi begini...........
YOU ARE READING
The Lone Fighter
Romance"Aku melihatnya, berdiri dengan tegak di atas arena sambil memegang sebuah sabuk berwarna emas. Lebam di mata kiri dan sekujur badannya tidak mampu menutupi rasa bangga yang terpancar dari dirinya." __________________________________________________...