Lily Pov
Setelah mendengar cerita Eric mengenai apa yang Ethan lakukan sekarang, aku seakan tidak percaya dengan hal itu. Masih ada waktu sepekan lagi sampai tugasku dimulai di rumah sakit, sebaiknya aku bergegas mencari tau kebenarannya sebelum aku mulai sibuk dan tenggelam dalam pekerjaan.
Keesokan paginya aku memulai hari dengan membaca koran berita lokal, berharap untuk menemukan info mengenai pertandingan jalanan yang Eric bilang. Nihil. Tidak ada informasi yang bisa aku dapat, begitu juga ketika aku mencarinya di internet. Akhirnya aku memutuskan untuk berkeliling sebentar di lingkungan sekitar rumah. Aku mengambil hoodie merah, dan segera keluar. Cuaca pagi itu cerah, tapi tetap terasa dingin karena sudah memasuki akhir musim semi. Aku menyilangkan kedua tanganku di dada sambil mengusap lenganku. Setelah berjalan selama 10 menit, ada sebuah coffe shop kecil di pertigaan jalan, akupun segera masuk dan melihat kedalamnya. Ada 2 orang pelanggan yang dengan tenang menikmati kopi sambil membaca koran, dan 1 orang pria paruh baya, menyesap kopi sambil memainkan smartphone nya dengan serius. Aku menghampiri barista dan memesan satu mochachino hangat. Laki-laki, umurnya mungkin sekitar 20 tahunan.
"Baru pindah kesini?" ucapnya membuka percakapan, aku mengangguk dan memberinya senyuman kecil."Oh, pantas. Soalnya saya belum pernah liat mba disini" ujarnya. Tidak berapa lama pesananku sudah jadi, aku pun meminum kopiku dan memberi isyarat acungan jempol ke barista. Tanda kalau kopi bikinannya terasa enak.
"Ohiya, mas ...." sambil melihat nametag di bajunya. "Mas Joe, aku boleh nanya? Mas Joe tau ngga soal pertandingan jalanan yang katanya sering diadakan di pinggiran kota?"
Agak terkejut dengan pertanyaanku, dia menghentikannya kegiatannya sebentar, mengelap gelas-gelas. Lalu menghampiriku sambil berkata dengan suara pelan, hampir seperti berbisik."Hmm...mba tau darimana ya soal itu?" tanyanya heran. Akupun menjelaskan semua cerita yang dibilang Eric kepada dia, bahwa aku sedang mencari seorang teman lama bernama Ethan.
"Ethan? Maksud mba Ethan Reed?" ucapnya dengan nada agak tinggi dan ekspresi kaget.
"Iya, Ethan Reed, kamu kenal dengan dia?""Lebih tepatnya SIAPA yang tidak kenal dengan Ethan The Monster? Hampir semua orang di pinggir kota kenal dengan nama itu".
Seperti menangkap ekspresi kebingunganku, diapun berkata "Malam ini kalau tidak salah jadwal bertanding Ethan, kalau kamu mau, aku bisa memberi tahu alamat tempatnya. Tapi kalau bisa, kamu jangan pergi sendirian kesana, bahaya."
"Bahaya? Bahaya bagaimana?" aku bertanya kepada Joe. Dia menuliskan sesuatu di sebuah kertas post-it, lalu memberikannya kepadaku. "Pertandingan dimulai jam 9 malam sampai tengah malam. Hati-hati dengan para pria disana, mereka kasar dan pemabuk juga. Perutku terasa sakit saat mendengar hal itu. Aku mengucapkan terimakasih, dan pergi meninggalkan coffe shop.
Sesampainya dirumah, aku segera berbaring di tempat tidur, sambil memikirkan apa sebaiknya aku meminta Eric untuk datang dan menemaniku kesana. Tapi kemungkinan besar Eric akan menolak, dan menyuruhku untuk tidak datang kesana.
----
Aku merapikan kemeja katun warna salemku, yang dipadukan dengan boyfriend jeans biru tua. Kemudian memutuskan untuk memakai sepatu flats sederhana berwarna coklat. Jangan salah paham, aku bukannya salah kostum, aku hanya tidak ingin memakai pakaian yang dapat mengundang tatapan dari orang lain, khususnya para laki-laki disana.
Uber menurunkan aku di depan sebuah bar yang cukup besar, terlihat banyak sepeda motor besar terparkir dengan sejajar didepannya. "Okay Lily, kamu bisa melakukan ini. Kamu hanya perlu masuk, ya mungkin memesan minuman, dan menanyakan beberapa pertanyaan ke orang disekitar kamu" Gumamku dalam hati. Waktu menunjukan pukul 09.30. Sambil menelan ludah, aku berjalan memasuki pintu bar.
Setibanya di dalam, bau alkohol dan asap rokok langsung menyambutku. Aku berjalan menghampiri bartender disana, dan memesan satu bauh bir dingin. Aku bukan seseorang penggemar bir, tapi dalam situasi ini, aku butuh minuman itu, agar setidaknya membaur dengan orang-orang sekitar. Para pria ini tampaknya lebih sibuk dengan obrolan mereka masing-masing. Walaupun ada beberapa pria yang dengan jelas menatapku dengan ekspresi "laparnya". Aku meneguk birku, tapi kemudian aku sedikit tersedak "Arghh...rasanya seperti kencing kuda" sambil menaruh kembali botolku di meja. Diujung bar tersebut, terlihat orang-orang berkerumun.
"Oh, sepertinya pertandingannya sudah dimulai" ucap si bartender. "Malam ini Ethan The Monster akan bertanding dengan penantang baru, dengar-dengar tingginya hampir 2 meter lebih!" Aku menguping pembicaraan si bartender. Akhirnya dengan malu-malu aku bertanya"Maaf, kenapa dia dipanggil seperti itu ya?" si bartender tidak menyangka aku akan menanyakan hal itu.
"Nona, kamu mesti melihat wajah dan rupa Ethan, serta cara dia menghajar habis lawannya. Baru kamu akan tau kenapa dia dijuluki The Monster."
Setelah mendengar hal tersebut, aku berjalan menuju arah kerumunan itu. Penuh sesak dengan pria-pria penuh keringat. Aku bahkan bisa mencium aroma testosteron yang sangat kental di udara. "Huh, Pria dan egonya yang besar" gumamku. Sesekali aku tersenggol dan harus berhimpitan dengan beberapa pria. Namun akhirnya aku menemukan spot yang agak kosong, kemudian berdiri disana.
Dengan jelas aku dapat melihat ke arena di depan. Seorang pria yang sangat tinggi, terlihat di hajar habis-habisan oleh lawannya. Dagu dan pelipis yang berlumuran darah. Dan lawannya adalah, seseorang yang sepertinya aku kenal. Dada serta lengannya dipenuhi dengan tatto yang mengarah sampai leher. Namun yang membuat aku bingung, adalah wajahnya. Wajahnya tidak seperti Ethan. Sebagian wajah kirinya terlihat tertutup dengan bekas luka bakar. Membuat mata kirinya terlihat seperti setengah terpejam, dan bibir sebelah kirinya pun terbakar, membaur dengan parut kulit dipipinya. Telinganya terlihat tidak berbentuk dan melebur bersama kulit yang terbakar.
Dengan sadis dia melayangkan hook kiri ke kepala pria tinggi itu. Dan seketika pria itu jatuh tidak berdaya. Wasit segera masuk dan menyatakan pemenangnya adalah pria yang berwajah terbakar tersebut. Ia mengangkat tangannya keatas sambil meneriakan sesuatu dari mulutnya yang penuh darah. Dalam beberapa detik itu, kedua mata kami sempat beradu, aku melihat sekilas raut wajahnya berubah menjadi lebih lembut. Namun aku langsung membalikan badan dan bergegas keluar meninggalkan tempat tersebut. Sebagai seorang dokter bedah, pemandangan berlumuran darah seperti itu sudah menjadi makanan sehari-hari. Yang aku tidak kuat adalah saat menghadapi kekerasan yang sungguh kejam seperti itu.
YOU ARE READING
The Lone Fighter
Romance"Aku melihatnya, berdiri dengan tegak di atas arena sambil memegang sebuah sabuk berwarna emas. Lebam di mata kiri dan sekujur badannya tidak mampu menutupi rasa bangga yang terpancar dari dirinya." __________________________________________________...