Masa Orientasi Siswa.
Jaman sekarang namanya sudah bukan MOS lagi tapi MPLS (kalau tidak salah). Waktu jaman itu namanya masih MOS.
Sebenarnya gue lupa.
Jadi ya teman-temanku,
Aku ini adalah salah satu manusia anti sosial yang tidak berniat masuk ke sekolah X. Sekolah itu ku pandang rendah sekali karena jujur semua teman-temanku masuk ke tempat-tempat bergengsi dan sekolah-sekolah dengan akreditasi yang bagus, kalau kata orang "itu lho... sekolah ternama seantero."Hanya bermodalkan nilai UN matematika yang dibawah rata-rata aku pengen sekali masuk sekolah yang terbilang "keren" tapi sayangnya hanya si X yang mau menerimaku. Tapi ada untungnya juga sih, aku masuk jalur nilai dan murni keterima disitu sedangkan teman-temanku tidak ada sekolah yang mau menerima mereka sehingga ya... bisa dikatakan "Jalur Gaza"
Gak keterima di sekolah keren akhirnya pakai jalur kenalan atau bayar lebih. Setidaknya aku nggak seburuk mereka dongs.
Aku masuk barengan sahabat SD. Jujur walau kami se-SD dan dekat dulunya tapi karena sempat berpisah 3tahun aku juga canggung dengannya. Namanya Regina, gadis dengan segudang imajinasi. Khayalannya tingkat tinggi dan gadis itu mudah memecahkan masalah.
Singkat cerita,
MOS itu adalah masa yang tidak berkesan. Di mana semuanya terlihat biasa saja karena aku rabun. Bukan, bukan itu maksudku. Aku memang rabun dan belum menggunakan kacamata tapi yang ku maksud ialah MOS itu adalah masa yang biasa-biasa saja. Tidak ada yang perlu dilebih-lebihkan. Membosankan. Senior yang biasa-biasa saja dan seolah semuanya terlalu datar. Kuncir-kunciran sesuai bulan kelahiran, wajah cupu bak serigala berbulu domba karena aslinya sedang ditutupi dengan atribut alay. Ya begitulah SMA.Tapi ada suatu masa di mana aku dan sahabatku - si Regina - mendapat kenyataan pahit. Saat pembagian kelas di umumkan ada sekelompok orang yang tidak kebagian kelas. Istilahnya menurutku sisah yang tak terpakai. Aku dan Regina adalah salah satu diantara mereka. Miris.
Disaat semua orang sudah mendapatkan kelasnya, kami malah seperti manusia bodoh yang berdiri konyol di tengah lapangan tanpa arah dan tujuan hidup. Beberapa diantara kami bahkan mengemis-ngemis. Alhasil kami di tes.
Yang lebih konyol lagi dari itu adalah tesnya hanya operasi pecahan yang sangat sederhana agar bisa masuk kelas IPA. Boleh aku tertawa? Silahkan kalian tertawakan saja.
Hanya 5 orang pertama yang berhasil menjawab pertanyaan itu. Aku dan Regina salah satunya. Alhasil kami disuruh pilih sendiri mau masuk kelas IPA berapa. (Cth : IPA 1,2,3...)Setelah sepakat aku dan Rere -nama panggilannya - masuk ke salah satu kelas IPA. 10 IPA 2. Kelas yang ntah bagaimana situasinya. Kelas itu terletak di bagian belakang bangunan sekolah, seperti kelas yang terisolasi tapi tempatnya sangat-sangat strategis karena samping kiri, kanan, maupun belakangnya adalah kantin. Kalau kata anak IPS "kelas kesenanganku". Tapi jangan senang dulu kawan karena kelas itu banyak sekali kekurangan seperti Panas, tidak ada jaringan telepon sama sekali, tidak kedengaran kalau bel sudah berbunyi, gelap karena terhalangi dengan tembok bagian depan, dan kata orang ya (kata orang) berhantu...
Sudalah. Kelas itu memang banyak kekurangan sama seperti anggotanya.
Aku bukan mau menjelek-jelekan kelasku sendiri tapi ada saat di mana kebenaran haruslah diperlihatkan. Kebenarannya memang begitu dan itu makin membuatku kecewa, kenapa aku masuk sekolah X.
KAMU SEDANG MEMBACA
Student Life (Re-write)
Non-FictionCover by : @rgnjsvn (ig) Go follow @autist_55 (ig) Saat kalian Sekolah, apa yang selalu terjadi? Jika kalian telah lulus, bagaiman cara mengingat masa-masa sekolahmu? Hitam dan putih, pahit dan manis masa-masa itu pasti takkan terkikis oleh waktu. I...