Seperti kebiasaan semua orang pada umumnya, tepat pertama kali setelah bangun aku membuka handphone-ku yang tergeletak di samping bantalku. Ya, walaupun orangtuaku berulang kali mengingatkan untuk tidak menaruh elektronik di samping kepala saat tidur, tetapi selalu saja tiap malam aku tertidur dengan mendengarkan musik. Musik seakan membuat diri tenggelam ke dalam suasana tenang. Sehingga musik menjadi keperluan penting bagi aku untuk tidur dengan tenang.
Pagi hari yang indah ini memiliki matahari yang sangat cerah. Cahaya dari jendela di belakang kasur menyinari kamarku. Aku berharap sinar tersebut juga akan menyinari hatiku untuk bersemangat pagi itu. Tetapi gagal, hari ini adalah hari yang sangat sulit untuk aku bangun dari kasur. Mungkin karena pendingin ruangan yang membuat kasur ini terasa sangat nyaman atau memang karena diriku saja yang seorang pemalas ini.
Aku sadar bahwa aku harus segera bersiap-siap untuk berangkat ke kantor, rasanya malas sekali berangkat ke kantor mengingat dukanya. Betul kan, memang diriku saja seorang pemalas.
Akhirnya, aku pun bertekad untuk meminta izin kepada atasan ku dengan alasan izin sakit. Walaupun aku tahu bahwa atasanku adalah manusia yang paling mengesalkan di dunia ini. Tidak ada sisi baiknya. Entah itu hanya sugestiku semata atau memang seperti itu nyatanya. Tetapi tidak ada salahnya untuk mencoba minta izin bukan? Berharap seperti sebuah malaikat akan menjemputku, tidak mungkin, tetapi tidak ada salahnya berharap.
"Bos, saya tidak enak badan, kelelahan nih, saya izin sakit ya," ku kirim pesan tersebut melalui Whatsapp. Sambil menunggu balasan dari atasanku, aku pun beranjak dari kasurku yang nyaman dan hendak keluar rumah tanpa perlu repot mengganti baju atau menggosok gigi.
Aku menyalakan motor Honda Beat yang selalu menemaniku setiap hari. Ibu dan ayah masih terbaring di kasur.
"Semoga suara motor ini tidak membangunkan mereka," pikirku. Aku berkeliling di sekitar rumah untuk mencari sarapan. Kebetulan hari itu ibu tidak akan memasak sarapan karena ia sedang sakit. Alhasil aku pun berkeliling daerah Tanjung Duren, dan akhirnya aku menemui makanan yang cocok dimakan untuk sarapan yaitu nasi uduk.
Nasi uduk langganan keluargaku sejak 7 tahun yang lalu. Ya, sejak keluargaku pindah ke perumahan ini. Aku pun langsung membeli nasi uduk tanpa berlama-lama, tak lupa aku membelikan nasi uduk itu untuk bapak, ibu, dan juga saudara-saudaraku.
"Pak Jarwo piye kabare?" sahutku, berlagak bisa bahasa Jawa.
"Kabare apik-apik wae mbak. Arep mengendi?" sahut Pak Jarwo yang lagi membungkus nasi uduk tersebut.
"Duh, aku gangerti pak," terasa bodoh sambal menggaruk-garuk kepala.
"Yeee, si eneng kirain bisa bahasa Jawa," jawab Pak Jarwo sambil tertawa kecil.
Sesampainya di rumah, aku langsung mengecek handphone-ku untuk melihat balasan dari atasanku. Sudah kuduga, balasannya pasti tidak menyenangkan. Atasanku pun tidak mengizinkan aku untuk absen, walaupun aku memakai alasan sakit.
"Memang ga boleh santai-santai ini mah.." kataku dalam hati.
"Ma, Pa, Anya bawa nasi uduk buat mama papa, ayo makan," aku berkata seraya melihat mama dan papa masih tertidur di kasur mereka. Sudahlah, nanti kalau lapar juga mereka pasti bangun. Ku letakkan nasi uduk ayah dan ibu di atas meja makan.
Sehabis mencuci piring dan selesai makan, aku pun bergegas bersiap diri untuk berangkat ke kantor. Setelah selesai mandi, aku berdandan secukupnya dengan bermalas-malasan karena memang tidak ada niat untuk bekerja hari itu. Semalas-malasnya diriku, aku akan memperhatikan apa yang ku pakai, bisa dibilang diriku ini seorang fashionista.
YOU ARE READING
Rintik Darah Reformasi
Historical Fiction"Apa sesungguhnya kesalahan, barangkali berkulit putih dan bermata sipit, konon itulah penyebab awal hal menjadi sulit."