1. Kafka Bayu Wesatama

6.2K 308 8
                                    

Kafka Bayu Wesatama

“Kita bisa pulang ke Jogja besok. Aku pesankan tiketnya sekarang.”

“Aku harus datang memenuhi panggilan, Sekar.”

“Bumi … kamu nggak salah.”

“Makanya aku harus datang, kasih penjelasan.”

“Kamu bisa gunain aku sebagai alibi. Dua hari yang lalu, jam sembilan malam, kamu jemput aku di tempat kerja. Jadi mana mungkin kamu—”

“Nggak. Aku nggak mau nyeret kamu dalam masalah ini.”

“Aku cuma bersaksi, Bumi, kalau kemarin jelas-jelas kamu ada sama aku. Bukan malah—”

Kalimatnya dipotong lagi. “Aku hanya dimintai keterangan. Nggak lebih. Kamu jangan khawatir.”

“Bumi!”

“Sekar … dengar. Pihak berwajib nggak hanya manggil aku. Mereka juga manggil rekan-rekanku. Mana mungkin aku mangkir dan malah pulang ke Jogja sama kamu?”

“Tahun lalu, atasanmu ada yang hampir dibunuh. Mereka nuduh kamu, kamu diadili, dipaksa ngaku atas perbuatan yang nggak kamu lakukan. Aku nggak tahu harus jelasin gimana ke orangtua kamu kalau kamu kenapa-kenapa. Kalau bukan karena CCTV kafe, sebagai alibi, kamu udah masuk penjara!”

“Mereka cuma salah tangkap. Itu aja. Arghh! Bentar, bentar ….” Kafka menjatuhkan bundel naskah ke lantai. Dia mengusap wajah yang kurang tidur.

Satu jam yang lalu, Ben—manajer merangkap asisten—menggedor kamarnya. Kafka yang baru tidur tiga jam, terpaksa bangun dan datang ke kantor agensinya. Script reading dimulai hari ini. Tapi Kafka tidak menyangka jika harus sepagi ini. Perempuan yang berdiri di sebelahnya juga sama seperti dirinya, masih bermuka bantal. Kafka yakin dia juga belum mandi.

“Kita udah ngulang dialog ini lima kali, Kaf.” Metha mengeluh. Dia sudah mengenal Kafka setahun yang lalu. Mereka pernah terlibat proyek iklan. Jadi, dia cuek saja dengan dandanan seperti ini. Muka pucat tanpa make-up, menguap berkali-kali, bahkan mengeluh.

Metha duduk di lantai, masih menguap, sambil memperhatikan Kafka yang sekarang mondar-mandir. Mereka sudah melakukan bedah naskah seminggu yang lalu, bersama jajaran kru film dan penulis naskah. Termasuk menandai beberapa scene yang melibatkan emosi mendalam. Jadi, seminggu ini ceritanya Kafka dan Metha sedang pedekate demi membangun chemistry.

“Bumi ini bego apa gimana sih?”

“Hah?” Metha mendongak. “Dari yang gue baca di naskah sih, dia ganteng. Banget.” Sama sekali tidak nyambung.

“Maksud gue, ada ya orang selurus dia di muka bumi ini? Oke, memang ada. Tapi nggak di lingkungan kerja yang kayak gini juga.”

“Ini fiksi, Kafka. Jangan dibawa perasaan deh. Ya namanya fiksi, mau gimana juga terserah yang nulis. Sejauh mana imajinasi penulis membawa kita larut dalam cerita mereka.”

Kafka berkacak pinggang, menaikkan satu alisnya. Perempuan itu sama sekali tidak mengerti yang dia maksud.

“Oke, gue lupa lagi ngomong sama siapa.” Metha sedikit tahu tentang koleksi buku-buku Kafka. Meski dia sendiri belum lihat secara langsung. Tapi Ben cerita kalau Kafka bisa tidur di atas tumpukan buku itu.

Thirty Minutes and You Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang