4. Simbiosis Parasitisme

1.9K 217 4
                                    

  Dua lift penuh. Kafka menggerutu pelan. Tapi, sebentar, yang tadi sungguhan Didin S. A.? Kenapa perempuan? Dia masih belum percaya. Jauh dari bayangannya. Dia kira laki-laki, sesuai dengan namanya. Sepertinya berlaku istilah don’t judge people by their name.

  Tapi sekilas tadi dia melihat name tag perempuan itu. Di sana tertera Radinka S. Ayu. Jadi nama Didin … Ah, nama pena. Baiklah.

  Lift di depannya kosong. Dia bergegas masuk, menekan tombol lift. Tapi kalah cepat dengan sebuah tangan yang gempal. Kafka menatap tangan itu, lantas bergerak naik. Dia disambut dengan cengiran lebar—kelewat lebar. Apa lagi? Apa lagi yang orang ini inginkan?

  “Mau ketemu Mbak Rara?”

   Kafka menatap OB—yang memperkenalkan diri sebagai Udin—dengan sebal. Jadi perempuan itu punya berapa nama?

   Lift bergerak ke lantai tiga. Kafka berdeham. Berdiri dua langkah dari Udin. Dia mengantisipasi hal-hal tak terduga, mengingat mereka hanya berdua di dalam kotak besi ini. Dua tahun menjadi aktor, dia hafal bagaimana tabiat fans-fansnya yang terlalu over-reacted. Udin termasuk golongan yang seperti itu. Kafka ingin tertawa mengingat dia harus tanda tangan di atas kertas fotokopi wajah Udin.

   Dia melirik sekilas. Udin sekarang sedang mengacungkan tangan kanannya tinggi-tinggi. Layar ponselnya menampilkan wajahnya dan juga wajah Kafka—yang tertutup topi—dari samping. Lagi-lagi dia harus maklum melihat kelakuan OB yang sepertinya ajaib ini.

“Mas Kafka ngapain nyari Mbak Rara? Kalian terlibat skandal? OH MY GOD!” Udin selesai mengunggah foto di instagram story. Dia membekap mulutnya sendiri. Lalu mengibas-ngibaskan tangannya. “Mbak Rara hamil jangan-jangan? Sangkal, Mas, sangkal!”

Kafka ingin membenturkan kepala ke dinding lift daripada mendengar kalimat barusan. Dia mulai kesal dengan Udin.

“Mas Kafka nggak nyangkal? Jadi bener dugaanku?!”

“Manajermu nggak punya pacar?”

“Nggak ada.”

“Secantik itu nggak punya … maksud gue dia nggak ….” Kafka bingung dengan kalimatnya sendiri. Dia tidak naif, dia menilai perempuan dari wajah. Itu first impression kebanyakan orang. Dan Didin, Radinka, Rara, Sekar—whatever—itu memang cantik.

Dan mungkin masalahnya tidak akan sederhana jika Rara ini single. Kafka harus siap kalau-kalau wajahnya kembali muncul di akun gosip fenomenal itu. Entah untuk yang ke berapa.

  Kafka terbiasa bertemu dengan artis-artis cantik, berteman baik dengan mereka. Sesekali nongkrong bersama di kafe, lalu besoknya terciduk di akun gosip itu. Padahal mereka hanya duduk, minum kopi, mengobrol biasa. Layaknya sosiasilasi sesama teman. Tapi kenapa selalu dilebih-lebihkan bahkan disebut skandal?

Dia sadar betul, ketika pertama kali memulai debut sebagai aktor film, dia harus siap dengan segala risiko. Kehilangan waktu luang. Kehilangan teman. Kehilangan ruang interaksi. Bahkan kehilangan identitas—dia harus sering-sering mengenakan topi, masker atau kacamata. Satu hal lagi, Kafka kehilangan impiannya.

“Sainganmu banyak, Mas Kafka. Ambil antrean dulu.” Suara Udin menariknya ke dunia nyata.

Kafka terkekeh garing, tidak tahu harus menjawab apa. Udin juga ikut tertawa. Nyaring dan membuat bulu kuduk merinding.

Eh, kenapa dia malah mengobrol akrab bahkan tertawa dengan Udin begini? Dia datang ke sini bukan untuk mengakrabkan diri dengan Udin.

Pintu lift terbuka. Udin dengan riang hati berjalan di depan, mengantarkan ke ruangan Radinka. Tak berapa lama, mereka sampai di depan sebuah pintu. Udin hendak mengetuk tapi ragu.

Thirty Minutes and You Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang