1 - Oh God, I'm Afraid

81 13 7
                                    

"Jangan merengek!" katanya dengan suaranya yang tinggi, penuh komando dan dominasi, membuatnya memilih untuk menutup mulut dan melawan rasa takut.

Lelaki itu menggoyangkan panggulnya dengan cepat, iris cokelatnya memantulkan bayangan seorang gadis. Ia tersenyum puas.

Tak kuasa menahan sakit, gadis itu berteriak kala cairan itu masuk memenuhi rahimnya. Sakit bercampur nikmat yang tidak bisa dijelaskan, ia tidak mau seperti ini, ia takut, apa yang harus ia katakan pada tuannya jika ternyata ia sudah menghancurkan mahkotanya yang selama ini telah ia jaga?

"Tidak! Jangan! Jangan di dalam!" Gadis itu mengeluarkan isaknya, menyesal. "Kenapa kau lakukan ini padaku, Jeon, kenapa kau lakukan ini?" Meskipun itu hanya 1 femto, setidaknya ia berteriak untuk membayar rasa takutnya.

"Siapa yang kau sebut Jeon?!" Nada datar tapi rasa amarah berkecamuk terlontarkan oleh lelaki itu. "Kau itu siapa?!" Dengan gerakan cepat, lelaki itu membalikkan tubuh gadisnya—yang sudah bukan lagi seorang 'gadis'—membelakanginya, dengan sekali hentakan barang milik Jeon memasuki mahkota milik perempuan di hadapannya.

Perempuan itu berusaha menutup mulutnya, mencegah tetangga tahu apa yang mereka lakukan. Matanya hampir menangis, "Sakit!!! Pelanlah!"

"Siapa yang kau perintah, Lacur?!" Pinggul Jeon bergerak tiga kali lebih cepat, menyebabkan dia menghirup udara tiga kali lebih banyak, membuat perempuan itu tidak kuat untuk menahan erangannya.

"Shhh, Daddy-ahhh, tolong lebih hhhh pelan sedikit."

Jeon; lelaki itu menyeringai karena kemenangan kecil atas kuasanya pada tubuh perempuan itu, merasa puas. Untuk kali kelimanya, cairan itu menyemprot seluruh dinding rahimnya.

Tidak ada lagi tenaga yang tersisa.

"Sampai berjumpa lagi." Dan ia pergi.

Netraku melebar saat aku bangun. Keringat mengaliri dahiku, membuatku merasakan sedikit sensasi basah.

"Ya Tuhan!" Entah kegirangan atau gelisah, aku menggigit buku tanganku. "Untung hanya mimpi!" Aku berteriak, membuat seseorang yang di sampingku menggeliat karena terusik. Jantungku berpompa dua kali lebih cepat, hal yang paling mengerikan adalah ketika ia membuka matanya dan bertanya.

"Kau kenapa?" tanyanya. Tangannya merambat memasuki piyamaku dan mengelus perutku lembut.

"Ayo Tuan, kita tidur." Aku menggenggam tangannya yang berada di perutku agar ia berhenti melakukan aktivitasnya. Aku hanya takut ini akan berkelanjutan, aku tidak ingin merasa stress saat sekolah nanti karena diselimuti rasa bersalah. Bersalah?

Park Jimin, lelaki manis yang selalu merasa kesulitan. Aku hanya merasa bersalah ketika 'membantu'nya melepas penatnya. Mengambil uluran tangannya dengan paksaan dan memberikannya sebuah senyuman palsu. Cuz if i wont be with him, i'm nothing. There's no Hwa Yeonhwa dan mungkin aku akan mengambil keputusan paling gila: make a lot of mess then killed myself.

Park Jimin mengangguk pelan, kemudian mulutnya mengeluarkan dengkuran-dengkuran kecil kembali. Untunglah, dia tidak sadar sepenuhnya.

Jika dilihat-lihat, ia mempunyai sisi imut tapi bukan seperti: bocah yang merengek-rengek kepada ibunya karena tidak dibelikan permen loli atau merengek karena tidak digendong bagaikan pesawat oleh ayahnya. I mean, he's totally different, bagiku sisi imutnya adalah ketika ia tidur. Aku menyukainya ketika tidur, tidak melihat matanya membuatku tenang, sangat tenang.

MaliciousTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang