Sudah gelap. Sudah jam 9 malam. Aku duduk di kursi plastik berwarna hijau. Menghadap meja persegi plastik bewarna merah. Saat ini aku sendiri, tapi beberapa waktu lalu aku bahagia.
Negeri yang ramah katanya. Tidak pernah ada dalam list hidupku aku akan kesini. Aku suka berpergian, tapi lebih sering ke tempat wisata umum. Tapi kali ini, disebut berpergian atau pulang ke kampung halaman?
Sebetulnya sama dengan tanah kelahiranku. Hamparan sawah, pantai yang indah. Hal itu serta merta membuatku nyaman. Aku langsung menunjuk tempat ini adalah rumah kedua. Tapi jujur, aku lebih nyaman disini, mungkin karena faktor aku tidak ada masalah disini.
Mungkin yang membedakan adalah rumah-rumahnya, Makanannya, bahasanya. Tapi tetap udara yang sama kuhirup. Mentari yang sama menerpa. Langit yang sama terhampar.
Kembali ke tempat dudukku. Aku masih sendiri. Baru saja pelayan mengantar secangkir teh tarik untukku. Dan secangkir nescafe yang kuletakkan di depanku. Hujan turun rintik-rintik. Hal itu yang membuatku terhenti sejenak ďengan secangkir teh tarikku.
Aku memandang ujung jalan dihadapanku. Sengaja aku memilih di luar, agar aku tidak bosan. Kalau hujan deras, mungkin di tempat ini akan basah. Masih kupegang cangkirku. Berharap hangatnya merayap di telapak tanganku. Anganku masih penuh dengan ketidak percayaan. Kakiku sudah berpijak disini.
Orang masih saja lalu lalang. Gerimis seolah tidak mengehentikan mereka. Sejenak tadi terlalu bising. Aku tidak terlalu suka. Ketika keluar dari gapura bertuliskan Wakaf Che Yeh, aku lega. Aku suka belanja, tapi tidak suka keramaian. Apa lagi dengan bahasa yang sama sekali tidak kupahami.
Sejenak memikirkan makan malamku tadi. Mee celup yang katanya paling terkenal. Aku menimbang, apa aku lapar lagi. Apa aku perlu memesan sesuatu. Entahlah.. mungkin iya. Aku menyeruput teh tarikku sekilas.
Aku tersenyum ketika tuan pemilik nescaffe didepanku datang. Sekarang aku tidak sendiri. Dan sekarang aku bahagia. Dialah yang membawaku kemari. Ke tanah cik siti wan kembang. Membawaku tanpa ada pertimbangan, padahal saat itu Ia sungguh memberiku penolakan.
Membawaku menaiki setiap anak tangga yang berada di depan rumahnya. Membawaku bersalaman dengan ibu dan saudara-saudaranya. Membawaku melihat semua foto masa kecilnya. Aku tak tahu.. mengapa aku langsung saja diterima. Keluarga yang baik.
Ia tersenyum kemudian menyeruput nescaffe nya. Kami tidak saling berkata. Karena satu hari ini cukup untuk kami menikmati waktu berdua. Hanya tatapan mata kami yang berbicara. Kulihat sekilas motor kap cai merah, putihnya yang terparkir di depan kedai. Motor yang penuh sejarah. Jauh dari kemewahan, tapi yang membuat hatiku merasa kaya.
Angin dingin mulai membelai. Teringat sekilas tadi angin semilir yang bertiup di pantai cahaya bulan. Aku duduk dibebatuan menikmati hamparan permadani biru alam.Ah.. Indonsia malah lebih banyak pantai cantik seperti itu. Tapi entah mengapa aku lebih tenang disini. Lebih damai. Atau mungkin karena ini tanah kelahiran orang didepanku ini.
Entah, aku tak ingin gerimis berhenti. Malah aku ingin memesan secangkir teh tarik lagi. Apapun itu agar aku bisa melihati tangan kekarnya itu tanpa bicara. Aku nikmati tatapannya padaku. Menghindari kenyataan bahwa besok aku harus pulang. Aku mau berlama-lama lagi dengan perasaan seperti hanya aku dan dia di muka bumi ini.
Sungguh keadaan asing yang sangat mendamaikan. Dengan bahasa-bahasa di sekelilingku yang tidak kumengerti. Tapi semakin membuatku menyadari kehadirannya didekatku. Caranya memperkenalkan aku, walaupun aku tak mengerti apa yang dia katakan, aku sangat bahagia.
Melihatnya hidup di kampung halamannya. Berinteraksi dengan sesamanya. Caranya bergurau dengan temannya. Aku suka. Setidaknnya di tanah ini dia belum mengenal hitam kelam bandar. Di tanah inilah dia diajar pondasi hidup. Sebelum kota besar menjerumuskannya. Tapi kota besar itu yang mempertemukannya dengan aku.
Masih tidak kusangka aku akhirnya memijakkan kaki disini. Dulu yang aku tahu asam dan dodolnya saja. Naif. Setelah rasa cemburu yang begitu menguji, penantian yang hampir pupus, penolakkan yang begitu menyakitkan. Akhirnya aku datang di tanah cik siti wan kembang. Dengan segala pengorbananku yang sudah ditebusnya. Sekarang aku miliknya.
Aku diberi kesempatan mengenalnya. Semua hidupnya, tanah kelahirannya yang indah, kebudayaannya, keluarganya. Masih tidak kusangka juga, ternyata aku mudah sekali diterima. Orang-orang yang begitu ramah.
Akan kuingat, benar-benar kuingat. Setiap aku melangkah di lantai kayu rumahnya, setiap anak tangga yang ada didepan rumah, setiap dekorasi rumah, warna cat rumah yang indah, ayunan didepan rumah, ahli keluarga yang ramah. Akan menjadi harta baru dalam hidup, jika akhirnya aku memilikinya.
Ah.. malam kian larut. Lampu jalan yang remang-remang, tapi kulihat orang masih saja berlalu lalang. Gerimis menghilang, menyisahkan tanah basah. Kulirik sebentar kantong belanja dari Wakaf Che Yeh tadi. Sepertinya sudah saatnya pulang. Kuseruput teh tarik yang sudah dingin untuk yang terakhir.
"Jom balik!" Katanya.
"Jom!" Ajakku.
"Macamana? Sehari ini kau suka?"
"Negeri Kelate comei sengoti"