Sunrise

31 4 7
                                    

Langit malam terlihat begitu indah. Berhiaskan ribuan bintang yang berbinar- binar layaknya semburat cahaya kunang- kunang. Angin berhembus pelan menggugurkan beberapa dedaunan yang tak kuat menahan terpaan. Malam telah larut, menyisakan bunyian senandung malam yang berkolaborasi dengan sebuah tarian khas suku pedalaman di hutan Jawa.

Di bawah cahaya rembulan, tarian ini bergerak lihai mempesona setiap penonton akan keanggunan gerakannya. Penari mengelilingi sebuah api unggun yang berada tepat di tengah mereka. Lalu, mereka akan berputar layaknya planet - planet yang berotasi mengitari matahari. Api unggun dilambangkan sebagai matahari dan para penari dilambangakan sebagai planet- planet yang berjumlah delapan. Tradisi ini kami selenggarakan di setiap tahun kelipatan sepuluh pada awal tahun baru. Kami menyebutnya dengan 'majarah' yang bermakna gerakan kehidupan di tata surya. Konon apabila api unggun padam sebelum matahari terbit kecuali karena hujan, maka dunia akan berakhir. Ah! Aku tak tau itu benar atau tidak?

Aku juga mengambil bagian dalam tradisi ini. Tepat saat fajar mulai menggores di bagian langit timur, aku akan melantunkan sebuah puisi sakral turun- temurun yang selalu dibacakan pada tradisi ini. Lantas semua penduduk suku akan mengikuti setelah aku selesai melantunkannya.

Uniknya dalam tradisi ini penari akan menari sejak malam pergantian tahun baru hingga shubuh tanpa istirahat sedikitpun. Adalah penduduk suku terbaik yang terpilih sebagai penari dalam tradisi ini, baik pria maupun wanita, tua maupun muda, tak ada batasan dalam pemilihannya. Mereka melewati tahap seleksi selama tiga tahun sebelum pelaksanaan tradisi. Beda halnya dengan pembaca puisi yang dipilih hanyalah dari keturunan kepala suku. Dan tahun ini akulah yang berperan untuk menjamin kelancaran puisi tersakral ini, Hana Luminiera.

"Hana! Kau siap tampil?" Seorang pria tua bertanya, membuat pandanganku teralih dari perhelatan tari, dia pamanku. Paman beranjak duduk di sampingku dan mulai memperhatikan gerakan tari.

"Lihat! Itu telah memasuki gerakan kelima. Penari akan berpasangan lalu saling berkelahi sesama pasangannya. " Paman terlihat lebih antusias. Aku memerhatikan lamat- lamat, mengingat terakhir kali aku melihat tari ini adalah saat berumur tujuh tahun.

"Benar, artinya sebentar lagi gilirankulah yang tampil. Fajar akan segera muncul di ufuk timur." Aku mencoba lebih antusias.

"Ya, kau sudah lebih tau. Tradisi ini adalah kesempatan untuk menunjukkan keahliankau. Kau harus menampilkan yang lebih menakjubkan dari penampilan paman sepuluh tahun yang lalu." Paman menyikut lenganku, tersenyum. Lantas beranjak meninggalkanku bersama keramain. Ah, aku tidak terlalu memikirkan itu. Yang penting saat fajar nanti aku akan melantunkan sebuah puisi. Mencoba membuat yang terbaik hingga selesai, dan semuanya dapat berjalan normal kembali. Terbebas dari hari - hari latihan, lalu aku bisa sepuasnya berkeliling di sepanjang hutan, memetik buah ataupun bunga segar, berburu hewan - hewan liar, atau bermain bersama anak - anak kecil suku kami yang menggemaskan.

Beberapa menit berlalu, perhelatan tari memasuki gerakan ketujuh, gerakan penutup dalam tari ini. Penari akan terus menampilkan gerakan ketujuh yang terkesan lebih indah dan mempesona hingga fajar mulai menampakkan cahanya. Para penari mulai mendekati bak air yang tertopang kayu di belakang masing- masing sisi mereka. Hal ini menandakan pertukaran gerakan serta sebagai pembatas antar gerakan.

Aku yang telah begitu lama menunggu saat ini mulai melangkahkan kaki, telah siap berdiri di sebuah batu besar yang di kelilingi api obor sebagai tempat dilantunkannya sebuah puisi sakral. Seketika semua pandangan berbelok ke arah ku, semua penduduk bersorak sorai lebih meriah. Tampaknya masakan- masakan khas suku kami pun telah siap disajikan, aromanya sangat jelas terbau, membuat suasana semakin heboh.

Para penari telah sampai pada masing- masing bak air mereka. Mereka menaiki jenjang kayu, segera mengambil air dan membasahi rambutnya. Ketika mereka turun dari jenjang, "Krak...." salah satu kayu penopang bak air patah, lantas bak air yang ditopangnya jatuh membentur bak air yang lainnya, hanya menyisakan satu bak air yang tetap berdiri kokoh. Semua bak air yang jatuh menumpahkan air dalam jumlah besar dan membasahi para penduduk suku yang tidak sempat menghindar. Air yang tumpah terus mengalir menuju tumpukan api unggun, menyapu bersih tumpukan api unggun dan tentu saja api unggun yang dilambangkan sebagai matahari dalam tradisi ini menjadi padam.
Semua penduduk suku bersorak heboh, bertanya - tanya apakah ini akhir dunia?

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Sep 02, 2018 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Like The SunTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang