"Ck!"
Entah ini gerutuan ke berapa selama satu jam terakhir. Mungkin sudah ribuan gerutuan yang keluar dari bibirku yang seksi. Bagaimana aku tidak menggerutu, aku benci menunggu dan sekarang sedang menunggu.
Pesawat yang dinaiki adikku ternyata delay selama satu jam. Mamaku yang sejak tadi ngotot berangkat membuat kami—aku, papa dan mama—menunggu. Sialnya lagi, adikku itu tidak mengabari jika pesawatnya delay. Aku menebak dia memang sengaja. Bukannya berburuk sangka, aku sudah hafal tabiat adikku yang usianya hanya berjarak satu tahun dariku itu.
"Ini udah sejam, loh, Ma. Jangan bilang kalau delay lagi," keluhku sambil menoleh ke Mama di sebelah kiriku.
Terlihat Mama sedang bersandar nyaman di pundak Papa. Berbeda denganku yang menyandar di pilar. Mirisnya.
"Sabar kenapa, Git? Kamu dari tadi gerutu terus," geram Mama tak terima.
Aku menatap Papa yang hanya tersenyum masam mendengar perdebatanku dengan mama. Papa memang tipe orang yang kalem, berbeda dengan mama yang ekspresif. Aku lebih banyak menuruni mama, sedangkan Nana lebih menurun dari papa.
Krukk.... Hal yang sudah aku duga terjadi.
"Ma. Gita laper," rengekku sambil mengusap perut.
Percaya atau tidak, saat menunggu membuatku gampang lapar. Aku merasa energiku terbuang percuma dan terbuang menjadi gerutuan.
"Sana pergi makan, Git," ujar Papa.
Senyumku mengembang lalu bergeser hingga berada di sebelah mama. Tanganku terulur hendak menerima uang dari papa, tapi belum sampai uang itu jatuh ke genggaman, mama lebih dulu menarik dan mengembalikanya. "Ma!"
"Kamu baru sarapan."
Bibirku mengerucut sebal. Aku kembali bergeser dan menyandarkan kepala di pilar. Sebenarnya aku lapar dan doyan makan.
Saat TK aku sangat gendut. Mama dulu senang dengan tubuh gendutku yang katanya lucu, tapi kesenangan mama tidak membuatku senang. Aku sering diejek teman-temanku dengan panggilan Gendut atau Bola.
Memang kenapa coba jika gendut? Kan, tidak merugikan siapapun. Selain itu saat melihat foto-fotoku, aku memang gemas dengan wajahku sendiri. Yah, hingga ujungnya aku memilih untuk diet. Lebih karena enggan diejek.
"Eh, itu Gina!" seru Papa mengagetkan.
Lamunan singkatku tiba-tiba terputus. Seketika aku berdiri dan melihat seorang gadis dengan rok selutut berwarna pink mendekat. Gadis itu menggerai rambutnya dan beberapa kali terkena angin. Dia seperti sedang syuting iklan shampo. Iri!
"Gina!"
Teriakan itu membuatku menoleh. Aku tidak menemukan mama di sebelahku. Aku mengalihkan pandang dan melihat mama sedang berlari menghampiri Gina. Lihatlah, mama terlalu ekspresif. Andai aku yang seperti itu pasti mama tidak terima.
"Gina! Mama kangen."
Aku terkekeh melihat Gina yang tersenyum kecut. Aku sangat paham adikku itu tidak suka menjadi pusat perhatian. Tatapanku lalu tertuju ke orang-orang sekitar. Beberapa orang tengah menatap mamaku dengan berbagai ekspresi. Salah satu di antaranya, tampak heran.
"Kak, Git. Gimana kabar lo?"
Tiba-tiba tubuhku terdorong ke belakang. Aku memukul pundak Gina karena tindakan itu. Aku tahu ini hanya akal-akalannya saja biar sedikit terbebas dari mama. Aku lalu tersenyum culas. "Gue juga kangen, tapi mama yang lebih kangen!" Setelah mengucapkan itu aku mengurai pelukan. Kemudian menarik tangan mama mendekat dan mama kembali memeluk Gina erat.
KAMU SEDANG MEMBACA
Something Perfect
Humor[COMPLETE] Gita sadar jika dirinya jauh dari kata sempurna. Tidak seperti kehidupan di negeri dongeng yang penuh kebahagiaan ditemani pelayan setia dan dicintai pangeran tampan. Namun, Gita berharap hidupnya sedikit sempurna. Dengan lelaki yang bisa...