Jilid 1/54

1.5K 18 0
                                    

Puncak-puncak gunung menjulang tinggi di sekeliling, berlomba megah menembus awan. Sinar matahari pagi merah membakar langit di atas puncak di timur, mengusir kegelapan sisa malam dan menyalakan segala sesuatu di permukaan bumi dengan cahayanya yang merah keemasan. Salju yang menutupi puncak-puncak tertinggi seperti puncak-puncak Yolmo Lungma (Mount Everest), Kancen Yunga, dan Kongmaa La, berkilauan dengan sinar merah matahari pagi, seolah-olah perut gunung-gunung itu penuh dengan emas murni.

Daun-daun pohon yang lebat seperti baru bangkit dari tidur, nyenyak dibuai kegelapan malam tadi, nampak segar bermandikan embun yang membentuk mutiara-mutiara indah di setiap ujung daun dan rumput hijau. Cahaya matahari menciptakan jalan emas memanjang di atas air Sungai Yalu Cangpo yang mengalir tenang, seolah-olah masih malas dan kedinginan.

Sukarlah menggambarkan keindahan alam di Pegunungan Himalaya ini di pagi hari itu. Pagi yang cerah dan amat indah. Kata-kata tiada artinya lagi untuk menggambarkan keindahan. Kata-kata adalah kosong, penggambaran yang mati, sedangkan kenyataan adalah hidup, seperti hidupnya setiap helai daun di antara jutaan daun yang bergerak lembut dihembus angin pagi.

Seperti biasa, dari semenjak dahulu sekali sampai sekarang ini, yang bangun pagi-pagi mendahului sang surya hanyalah burung-burung, hewan-hewan, dan manusia-manusia petani yang miskin! Orang kaya di kota biasanya baru akan bangun dari kamar mewahnya kalau matahari sudah naik tinggi sekali!

Pegunungan Himalaya merupakan pegunungan yang paling hebat di seluruh dunia ini, paling luas, dan paling banyak memiliki puncak-puncak tertinggi di dunia. Memanjang dari barat ke timur sebagai tapal batas yang sukar diukur dan ditentukan letaknya dari negara-negara India, Tibet, Nepal dan Bhutan. Pegunungan Himalaya memiliki banyak sekali gunung atau puncak-puncak yang amat tinggi, yang tertinggi dan di atas tujuh ribu meter adalah Puncak Dewi, Gurla Mandhayaf Gosainthan, Yolmo Lungma Kamet, Nanda Dhaula atau Giri, Chomo Lungma atau Mount Everest sebagai puncak tertinggi (8882 meter), dan Kancen (Kincin) Yunga. Itu adalah deretan raksasa-raksasa puncak yang amat tinggi di Pegunungan Himalaya. Dan di antara puncak-puncak dan lereng-lereng, di antara lembah-lembah yang amat curam, mengalirlah Sungai Yalu Cangpo atau yang juga dinamakan Sungai Brahmaputera.

Sungai Yalu Cangpo yang mengalir di daerah Tibet menciptakan tanah subur bagi para petani Tibet, sungguh pun mereka yang bekerja di sawah ladang itu hanyalah buruh buruh tani belaka karena semua sawah ladang telah menjadi milik para tuan tanah dan para pembesar yang berkuasa di Tibet, di samping para pendeta yang memiliki kekuasaan besar sekali di negara ini.

Pagi itu, sebuah perahu yang ditumpangi tiga orang didayung meluncur lambat-lambat menentang aliran air, merayap perlahan di tepi di mana arus tidak begitu kuat. Mereka bertiga memakai pakaian tebal karena hawa sangatlah dinginnya. Di sebelah tebing di mana perahu itu meluncur lewat, nampak belasan orang petani Tibet sedang bekerja mencangkul tanah. Sepagi itu mereka sudah bekerja, dan dari pinggang ke atas mereka bertelanjang sehingga nampak otot-otot tubuh yang kekar karena terbiasa bekerja keras. Seorang di antara mereka, yang bertubuh kokoh kekar, menghentikan cangkulnya untuk melempangkan pinggang, mengurut punggung lalu menarik napas panjang.

"Sudah lelah? Heh-heh-heh, mengapa tidak bernyanyi untuk melupakan kelelahan dan menambah semangat?" temannya menegur.

Laki-laki bertubuh kokoh itu tersenyum, kemudian mengembangkan dada menghisap hawa udara sepenuh paru-parunya beberapa kali, dan tak lama kemudian terdengarlah suara nyanyiannya dalam bahasa Tibet. Suaranya nyaring, bergema sampai jauh ke lembah dan menyentuh permukaan air sungai, dan Si Penyanyi ini menengadah seolah olah hendak mengadukan nasibnya dalam nyanyian itu kepada puncak-puncak yang menjulang tinggi menembus awan itu. Lagu yang dinyanyikannya adalah lagu tua yang amat disuka oleh para petani miskin.

Wahai Yolmo Lungma yang tinggi!
Ahoi, Yalu Cangpo yang panjang!
Dapatkah kalian memberi jawaban?
Kedua tanganku kuat bekerja berat
namun tiada seperseratus yang di hasilkannya
menjadi bagianku untuk makan!
Aku punya hati
suaranya membeku di mulut,
telingaku disuruh tuli
mataku disuruh buta
nyawaku lebih murah dari pada seekor domba!
Wahai, Yolmo Lungma
sembunyikan aku di puncakmu yang tinggi!
Ahaoi, Yalu Cangpo,
tenggelamkan aku di airmu yang dalam!


Tiga orang yang sedang mendayung perahu itu saling pandang. Suara nyanyian itu terdengar jelas oleh mereka yang berada di bawah dan karena orang yang bernyanyi tidak nampak dari perahu, maka terdengar menyeramkan, apalagi karena suara itu bergema di empat penjuru, dipantulkan oleh air dan dinding batu gunung. Akan tetapi tiga orang itu tentu saja tidak merasa takut, apalagi karena mereka segera mengenal lagu itu, sebuah lagu Tibet kuno yang pernah dilarang oleh pemerintah Tibet karena lagu itu pernah membakar semangat para petani miskin sehingga hampir saja menimbulkan pemberontakan. Akan tetapi, biar pun sekarang tidak ada lagi rakyat miskin di Tibet yang memberontak, lagu itu masih digemari oleh para petani.

Tiga orang dalam perahu ini merupakan tokoh-tokoh besar dari Kun-lun-pai. Pegunungan Kun-lun memang terkenal sebagai satu di antara tempat-tempat yang dihuni banyak orang pandai, pertapa-pertapa gemblengan, sungguh pun yang paling terkenal tentu saja adalah perkumpulan Kun-lun-pai yang merupakan satu di antara partai-partai persilatan terbesar. Tiga orang ini adalah tosu-tosu yang bertapa di lereng Pegunungan Kun-lun-san. Mereka ini adalah tosu-tosu yang condong kepada aliran Im-yang.

Yang seorang berusia enam puluh tahun berjuluk Hok Keng Cu, bertubuh jangkung kurus dengan mulut yang selalu tersenyum. Orang ke dua juga berusia sekitar enam puluh tahun, tubuhnya gendut tapi mukanya pucat, julukannya Hok Ya Cu, masih sute dari Hok Keng Cu. Sedangkan orang ke tiga masih lebih muda, usianya empat puluh lima tahun, wajahnya tampan dan tubuhnya tinggi tegap, pakaiannya sederhana dan di punggungnya tergantung sepasang pedang. Dia pun seorang tosu dari aliran lain, tetapi merupakan sahabat baik dari Hok Keng Cu dan Hok Ya Cu. Orang ke tiga ini bernama Ciok Kam, dan di dunia kang-ouw dia terkenal dengan julukan Hui-siang-kiam (Sepasang Pedang Terbang). Dari julukannya saja orang dapat menduga bahwa Hui-siang-kiam Ciok Kam ini tentu mahir ilmu pedang pasangan dan memiliki ginkang yang hebat. Dan memang demikianlah adanya.

Apakah yang menarik tiga orang pertapa Kun-lun-san ini untuk melakukan perjalanan sesukar dan sejauh itu sampai di Pegunungan Himalaya lewat Sungai Yalu Cangpo? Bukan hanya mereka bertiga saja yang pada waktu itu nampak berkeliaran di daerah Pegunungan Himalaya. Sudah hampir sebulan lamanya daerah Pegunungan Himalaya yang jarang dikunjungi orang itu ramai dengan datangnya banyak sekali orang-orang kang-ouw kenamaan, seolah-olah ada pesta besar di pegunungan itu yang menarik para tokoh kang-ouw di seluruh Tiongkok. Sesungguhnya bukan pesta yang menarik para tokoh kang-ouw seperti besi semberani yang kuat menarik jarum-jarum halus itu, melainkan suatu berita yang datangnya dari kota raja tentang lenyapnya sebuah pedang pusaka yang disimpan di dalam kamar pusaka istana kerajaan!

Kurang lebih dua bulan yang lalu, terjadilah geger di kota raja karena pedang pusaka kerajaan, satu di antara pusaka-pusaka yang paling diagungkan telah lenyap tanpa bekas dari dalam gudang pusaka yang terjaga ketat oleh pasukan pengawal! Tidak terdengar suara sedikit pun, dan tidak kelihatan ada maling masuk, akan tetapi ketika seperti biasa seorang pengawal yang bertugas mengurus pusaka-pusaka itu memasuki gudang untuk memeriksa, pedang pusaka yang bernama Koai-liong-pokiam (Pedang Pusaka Naga Siluman) itu telah hilang dari tempatnya!

Tentu saja kota raja menjadi geger. Pedang ini telah dianggap sebagai pusaka pelindung keagungan keluarga Kaisar! Maka dikerahkanlah pasukan di bawah pimpinan orang orang pandai untuk mencari jejak pedang pusaka itu. Dan berita ini tentu saja segera tersiar keluar dan gegerlah dunia persilatan!

Koai-liong-pokiam merupakan pedang pusaka yang dianggap memiliki wibawa untuk melindungi keamanan atau keagungan keluarga Kaisar, tetapi di kalangan persilatan, di dunia kang-ouw, pedang itu dianggap sebagai pedang ajaib yang amat ampuh, yang dirindukan oleh seluruh tokoh persilatan karena pernah ada desas-desus bahwa siapa yang memiliki pedang itu, akan sukarlah ditandingi, sukar dikalahkan karena pedang itu ampuh bukan kepalang!

Maka bukan hanya pasukan kerajaan saja yang sibuk melakukan penyelidikan untuk mencari pencurinya dan mengembalikan pedang Koai-liong-pokiam ke Istana, akan tetapi tokoh-tokoh kang-ouw mulai sibuk untuk mencari pedang itu. Tentu saja hanya sebagian di antara mereka yang berusaha mencari pedang untuk dikembalikan kepada Kaisar agar memperoleh hadiah, sedangkan sebagian besar pula ingin memperoleh pedang itu untuk dimilikinya sendiri!

Kemudian, sebulan yang lalu, tersiar berita yang mengejutkan dan menggegerkan lagi bahwa pedang pusaka itu dilarikan oleh pencurinya ke daerah Himalaya! Inilah yang menarik semua tokoh kang-ouw untuk berbondong-bondong pergi mengunjungi daerah Pegunungan Himalaya untuk mengadu nasib memperebutkan pedang pusaka itu. Atau setidaknya, mereka akan mendapat tambahan pengalaman. Daerah Himalaya memang merupakan tempat suci yang telah memiliki daya tarik besar bagi dunia persilatan!

Akan tetapi, dunia persilatan selalu terbagi menjadi dua kelompok. Kelompok pertama terdiri dari partai-partai persilatan yang bersih dan para pendekar yang menjadi pendukung kebenaran dan keadilan, penentang kejahatan. Ada pun kelompok ke dua terdiri dari partai-partai gelap dan para penjahat yang berkepandaian tinggi. Atau istilahnya, golongan putih dan golongan hitam, atau kaum bersih dan kaum sesat!

Dan ketika tersiar berita tentang Koai-liong-pokiam, bukan hanya golongan putih yang geger, melainkan juga golongan hitam. Oleh karena itu, yang kini membanjiri daerah Himalaya bukan saja golongan putih, bahkan lebih banyak pula golongan hitam atau kaum sesat! Inilah yang menyebabkan daerah Himalaya tiba-tiba menjadi daerah yang gawat dan berbahaya sekali.

Semenjak kaum sesat membanjiri daerah ini, sudah banyak terjadi pembunuhan pembunuhan dan penghadangan-penghadangan mereka yang lewat di daerah itu, baik para pedagang mau pun para pemburu dan lain-lain. Daerah itu menjadi daerah rawan, bahkan kabarnya siapa saja yang berani lewat tentu akan diintai malaikat maut! Dengan adanya berita ini, hanya tokoh-tokoh besar yang berkepandaian tinggi saja yang berani melanjutkan perjalanan seorang diri, sedangkan mereka yang lebih kecil nyalinya lalu mencari kawan dan hanya dengan berkelompok mereka berani melanjutkan perjalanan mereka.

Tiga orang tosu dari Kun-lun-san inipun seperti yang lain-lain, tertarik oleh berita bahwa pedang pusaka Koai-liong-pokiam itu dilarikan oleh pencurinya ke daerah Himalaya, maka mereka pun datang berkunjung melalui jalan air Sungai Yalu Cangpo. Perjalanan melalui air ini tidak begitu melelahkan, akan tetapi bahayanya tidak kalah besarnya. Apa lagi karena perjalanan itu menentang arus sungai! Akan tetapi, dengan bertiga mereka merasa cukup kuat untuk melanjutkan perjalanan dan pada hari itu mereka pagi-pagi sekali telah tiba dibawah tebing yang curam dan mendengar nyanyian petani Tibet dari atas tebing.

Mendengar nyanyian itu, Hok Keng Cu dan Hok Ya Cu hanya tersenyum. Mereka berdua sudah tak asing dengan daerah Tibet karena sudah sering mereka melakukan perjalanan ke daerah ini. Akan tetapi Hui-siang-kiam Ciok Kam baru pertama kali ini melakukan perjalanan ke daerah pegunungan Himalaya. Bahkan dia bisa sampai berada di situ pun karena terbawa oleh dua orang sahabatnya. Maka, tidak seperti kedua orang kawannya itu, baru sekali ini dia mendengar nyanyian yang nadanya penuh penasaran itu. Dia menarik napas panjang.

"Siancai....!" kata tosu muda ini. "Agaknya di ujung dunia yang mana pun, kita selalu akan bertemu dengan manusia-manusia yang selalu berkeluh kesah karena merasa hidupnya sengsara!" Dia dapat menangkap keluh-kesah dalam suara nyanyian itu.

"Ciok-toyu, itu adalah lagu rakyat petani Tibet yang kuno," kata Hok Ya Cu menerangkan, lalu menterjemahkan lagu itu dalam bahasa Han.

"Lagu itu penuh keluhan, membuat aku penasaran saja," Ciok Kam berkata seorang diri, lalu dia bangkit seorang diri di atas perahu, mengembangkan dadanya dan terdengarlah tosu muda ini bernyanyi, suaranya nyaring melengking karena didorong oleh tenaga khikang yang cukup kuat.

Yolmo Lungma tinggi agung karena hening
Yalu Cangpo panjang tenang karena hening
manusia dengan segala kesibukannya
membuat gaduh, kacau dan sengsara,
sekali tidak puas selamanya tidak akan puas!
Aih.... sebelum hayat meninggalkan badan
tak mungkinkah mengenal kecukupan?


"Ha-ha, Ciok-toyu, siapakah yang kau cela itu? Si penyanyi di atas itukah?" Hok Keng Cu bertanya.

Ciok Kam tosu menarik napas panjang "Sebagian juga mencela kita sendiri, Toheng. Bukankah karena ingin mencari kepuasan maka kita berada di sini?"

Sebelum kedua orang temannya itu ada yang menjawab, tiba-tiba dari atas terdengar teriakan yang bergema ke bawah, "Ahooii.... kalian yang berada di bawah!"

Hui-siang-kiam Ciok Kam melihat ke atas dan ternyata yang berteriak itu adalah seorang laki-laki yang kelihatan kecil dari tempat curam itu, hanya nampak kepala dan kedua pundak saja, akan tetapi dia tidak mengerti apa yang dikatakannya karena orang itu bicara dalam bahasa Tibet.

Hok Keng Cu yang mengerti bahasa itu segera berteriak dengan mengerahkan khikang sehingga suaranya bergema sampai ke atas tebing, "Sobat, kau mau apakah?"

Orang di atas itu adalah si penyanyi tadi, dan sekarang dia berkata lagi, "Hati-hati, jangan lanjutkan perjalanan! Di lereng Kongmaa La ada Yeti sedang mengamuk! Sudah banyak orang dibunuhnya!"

Hok Keng Cu dan Hok Ya Cu saling pandang dengan muka kelihatan terkejut, kemudian Hok Keng Cu menjawab nyaring, "Terima kasih atas pemberitahuanmu...."

Lalu mereka melanjutkan pendayungan perahu mereka, diikuti pandangan mata petani yang masih menjenguk ke bawah dari tebing yang amat tinggi itu.

"Ahhh, apakah yang dikatakan orang itu tadi?" tanya Ciok-tosu kepada kedua orang sahabatnya. Hok Ya Cu lalu menjelaskan dan sepasang alis yang tebal dari tosu muda itu berkerut.

"Apa dan siapakah yang dinamakan Yeti itu?" tanyanya, "Kalau dia seorang sejahat itu, sebaiknya kita bertiga membasminya!"

"Ciok-toyu, engkau tidak tahu! Dia bukan manusia, kalau manusia, tentu dapat kita hadapi dengan kaki tangan kita!" kata Hok Keng Cu.

"Hemm, kalau begitu dia iblis?" tanya Ciok-tosu dengan heran.

"Bukan juga, kalau iblis dapat kita hadapi dengan kekuatan batin kita! Dia bukan manusia bukan iblis, melainkan seekor makhluk setengah manusia setengah binatang yang amat buas, dan memiliki kekuatan yang mukjijat, tidak masuk akal!"

"Ehhh.... ?" Tosu muda itu makin kaget.

"Pinto (aku) rasa lebih baik kalau kita mengambil tempat pendaratan lain dan menjauhi Kongmaa La itu, sungguh pun sebenarnya paling baik jika mengambil jalan dari gunung itu, di mana terdapat jalan buatan manusia yang mudah dilalui," kata pula Hok Keng Cu.

"Toheng, pernahkah engkau berhadapan dengan Yeti itu?" tanya Ciok Kam.

Yang ditanya menggeleng kepala. "Pinto dan juga Sute belum pernah bertemu sendiri dengan Yeti."

"Kalau begitu, mengapa Ji-wi Toheng sudah begitu takut menghadapinya? Baik dia itu manusia, atau iblis atau binatang, kalau membunuh banyak orang, adalah kewajiban kita untuk membasminya!"

"Kami tidak takut, To-yu, hanya kami rasa lebih baik kalau kita tidak mencari penyakit. Kami hanya pernah mendengar saja tentang Yeti itu, yang kabarnya tidak terlawan oleh orang yang betapa kuat dan pandai pun. Kabarnya, tenaganya melebihi seekor gajah India, kulitnya kebal terhadap segala macam senjata tajam dan kecepatan gerakannya tak masuk akal, dia mampu mendaki gunung es dengan kecepatan seperti terbang saja! Siapa orangnya mampu menandingi makhluk seperti itu?"

Hui-siang-kiam Ciok Kam mengerutkan alisnya, tetapi sepasang matanya mengeluarkan sinar berapi karena hatinya tertarik sekali. "Seperti apa macamnya, Toheng? Aku ingin sekali melihatnya."

"Kami belum pernah melihatnya, hanya pendapat orang bermacam-macam. Ada yang bilang seperti beruang, ada pula yang bilang seperti monyet besar, ada yang bilang lagi seperti manusia. Yang jelas, dia berjalan dengan kedua kaki seperti manusia!"

Hening sejenak. Tiba-tiba Hui-siang-kiam Ciok Kam berseru, "Ahh, jangan-jangan mayat mayat yang kita lihat terapung di atas air sungai itu adalah korban dia!"

Dua orang sahabatnya termenung, kemudian mengangguk-angguk. Mereka pun sedang memikirkan hal itu dan membayangkan betapa sehari yang lalu mereka melihat tiga mayat manusia berturut-turut terapung di atas sungai dengan tubuh yang rusak-rusak dan luka-luka.

"Tadinya pinto mengira bahwa mereka itu korban kaum sesat yang kabarnya mengganas di daerah Himalaya, akan tetapi setelah pinto mendengar tentang Yeti yang mengamuk, siapa tahu dugaanmu benar To-yu."

"Tapi.... di tubuh mayat-mayat itu terdapat tanda seperti mereka terkena sabetan pedang atau senjata tajam," Ciok-tosu membantah.

"Kuku tangan Yeti kabarnya tidak kalah tajam dan kuatnya dari pada ujung pedang mana pun juga!" kini Hok Ya Cu ikut bicara.

Mereka mendayung terus dan tidak berkata-kata lagi, tenggelam dalam pikiran masing masing dan cerita tentang adanya Yeti mengamuk itu berkesan mendalam sekali dalam hati mereka.

Matahari telah menampakkan diri dan sinarnya menyusup di antara daun-daun pohon yang tumbuh di kanan kiri tebing yang kini tidak begitu tinggi lagi, hanya setinggi belasan meter saja. Mulai nampak keindahan pemandangan di kanan kiri sungai. Pohon-pohon raksasa dan semak-semak belukar yang sukar sekali ditembus manusia, dan jauh di kanan kiri menjulang puncak-puncak tinggi yang tertutup awan dan salju. Hawa masih dingin sungguh pun sinar matahari cukup cerah di pagi itu.

Di sebelah kiri nampaklah sebuah gunung yang kuning kehijauan, berbeda dengan gunung lain di kanan kiri yang hijau biru kehitaman. Warna terang gunung disebelah kiri itu menyenangkan dan menimbulkan harapan, tidak menyeramkan seperti warna gunung-gunung lain yang membayangkan keliaran.

"Gunung apakah itu?" Ciok-tosu yang merasa tertarik menuding dan bertanya.

"Itulah Kongmaa La....," jawab Hok Keng Cu dengan suara lirih, seolah-olah dia merasa jeri.

Ciok-tosu menengok dan melihat betapa dua orang sahabatnya itu memandang ke arah gunung itu pula dengan wajah agak pucat. Timbul rasa penasaran dalam hatinya. Dia tahu bahwa dua orang sahabatnya itu bukan orang lemah, melainkan sudah terkenal sebagai tokoh-tokoh kang-ouw yang berilmu tinggi. Mengapa kini memperlihatkan sikap yang demikian takut dan pengecut? Sikap kedua orang temannya itu tiba-tiba saja membangkitkan rasa penasaran dan semangat di dalam dadanya.

"Pinto mau mendarat di sana!" tiba-tiba dia berkata.

"Ehh....?" Hok Keng Cu berseru.

"Berbahaya sekali, Ciok-Toyu!" seru Hok Ya Cu menyambung.

"Kalau Ji-wi Toheng tidak berani, biarlah pinto sendiri saja melanjutkan perjalanan lewat Kongmaa La!" Melihat dua orang sahabatnya itu hanya saling pandang dan ragu untuk menjawabnya, Ciok-tosu kemudian menyambung. "Bukankah Ji-wi mengajak pinto untuk menjelajahi Himalaya dengan maksud untuk mencari pencuri pedang pusaka Koai-liong-pokiam? Kalau kita takut bahaya, mana mungkin akan berhasil? Siapa tahu, berita tentang Yeti itu akan membawa kita kepada jejak si pencuri pedang pusaka!"

Mendengar ini, dua orang tosu itu terkejut dan saling pandang, lalu mengangguk-angguk. Kemudian Hok Keng Cu berkata. "Baiklah, kita mendarat dan melalui Kongmaa La!"

Hok Ya Cu hanya mengangguk saja, menyetujui ucapan suheng-nya. Mereka kemudian mendayung perahu ke tepi, mencari tempat pendaratan yang baik di kaki Gunung Kongmaa La itu. Di bagian ini memang tidaklah seliar bagian lain dan akhirnya mereka dapat mendarat, menarik perahu ke atas, lalu menyembunyikan perahu itu di dalam semak-semak.

"Ini namanya Lembah Arun!" berkata Hok Keng Cu yang lebih berpengalaman dengan keadaan daerah Himalaya itu.

Hok Ya Cu dan Ciok Kam memandang ke kanan kiri. Pemandangan alam di tempat itu sungguh menakjubkan sekali. Di sebelah kiri menjulang tinggi sebuah gunung yang puncaknya tertutup awan dan salju, dan di sebelah kanan, agak jauh lagi, juga menjulang tinggi puncak yang agaknya setengah tubuhnya tertutup salju dan awan. Mereka berada di tengah-tengah, antara dua tiang dunia yang seperti menyangga atap langit itu. Menyaksikan kemegahan yang luar biasa ini, yang baru dilihatnya selama hidupnya, Ciok Kam menahan napas.

"Betapa hebatnya kekuasaan To!" dia menggumam karena takjub dan terpesona oleh keindahan itu.

Memang indah! Hanya satu kata itu saja yang tepat. Indah! Tiada apa-apa lagi! Siapa gerangan mampu menggambarkan keindahan, keagungan, kebesaran yang demikian hebat? Yang dapat menggambarkan secara tepat hanyalah satu keadaan, yaitu HENING! Di dalam keheningan sajalah, di waktu hati dan pikiran tidak sibuk menilai dan membanding-banding dari sudut selera dan keuntungan diri pribadi, maka segala keindahan itu pun nampaklah jelas. Akan tetapi, sekali pikiran masuk dan menilai, membandingkan keindahan itu, berusaha mengabadikannya di dalam ingatan, maka keindahan itu pun lenyaplah, hanya menjadi gambaran yang menimbulkan kesenangan belaka yang akhirnya akan membosankan!

Dalam keadaan hening, terasa sekali keagungan Sang Maha Pencipta dan ciptaan-Nya yang terbentang luas di alam maya pada, terasa sekali kemukjijatan yang terkandung di dalam segala sesuatu, dari tumbuhnya setiap helai bulu dan rambut di tubuh kita sendiri seperti tumbuhnya pohon-pohon di hutan, dari setiap urat syaraf di tubuh kita sendiri seperti sumber-sumber air di bawah permukaan bumi sampai kepada kehebatan segala yang nampak di angkasa, awan, bulan, matahari, bintang-bintang. Dalam keheningan memandang semua itu, terasalah bahwa kita adalah bagian dari semua itu, tidak terpisah, sudah berada di dalam suatu ketertiban yang selaras dan ajaib.

Namun sayang, kita terlalu sibuk dengan pikiran yang setiap saat mengejar-ngejar kesenangan yang sesungguhnya hampa itu, kesenangan sebagai pemuasan nafsu belaka. Kita tidak lagi menghargai semua keajaiban itu, kita hanya mampu menghargai bayangan-bayangan khayal, hanya tertarik akan nama-nama dan sebutan-sebutan belaka. Kita boleh cenderung untuk menggambarkan, menanamkan dan menyebut semua itu menjadi pengetahuan teoritis, menjadi bahan perdebatan dan percekcokan, mempertahankan pendapat masing-masing tentang yang maha besar itu! Betapa lucu namun menyedihkan. Kita lebih tertarik akan asapnya sehingga hanya mendapatkan abunya belaka tanpa menghiraukan apinya sehingga klta kehilangan cahaya dan apinya itu!


Tiga orang tosu itu sejenak terpesona oleh keindahan yang membentang luas di depan mata mereka itu sehingga mereka kehilangan suara untuk bicara lagi. Mereka lalu duduk di atas rumput dan rasa lapar membuat mereka membuka bekal roti kering mereka, lalu makan roti kering yang dicelup air jernih yang mereka dapat ambil sebanyaknya di tempat itu karena dari dinding batu-batu mengalir sumber-sumber air kecil yang amat jernih.

Lembah Arun berada di dalam wilayah Kerajaan Nepal Timur, merupakan lembah sungai yang paling curam di dalam dunia ini. Suatu tempat yang indah namun terasing dari manusia dan keadaannya sungguh luar biasa, penuh dengan suasana keramat dan penuh rahasia, penuh dengan hutan-hutan indah namun liar tak pernah tersentuh tangan dan terinjak kaki manusia. Letaknya lembah ini di antara dua puncak yang tertinggi, yaitu Puncak Yolmo Lungma yang merupakan puncak tertinggi di dunia dan Puncak Kancen Yunga yang merupakan puncak nomor tiga tertinggi di dunia.

Di depan adalah daerah gunung dan puncak Kongmaa La, yang merupakan daerah yang nampak berbeda dari jauh dengan gunung-gunung lain di sekeliling daerah Pegunungan Himalaya itu. Sambil makan dan minum secara sederhana itu, hanya roti kering dan air jernih, mereka bercakap-cakap. Akan tetapi aneh sekali, menghadapi kebesaran alam yang sedemikian agungnya, mereka merasa betapa suara mereka terdengar hambar dan ditelan keheningan yang demikian luas. Akhirnya mereka menghentikan percakapan sampai perut mereka terasa kenyang.

"Mari kita lanjutkan perjalanan. Matahari sudah naik tinggi dan kalau tidak ada halangan, sebelum senja kita dapat mencapai pondok batu di lereng depan itu, pondok kosong yang dahulu menjadi tempat pertapaan seorang pertapa tua yang telah lama meninggal dunia. Hanya pondok itulah satu-satunya tempat yang baik untuk kita dapat melewatkan malam di daerah ini!" kata Hok Keng Cu yang sudah berpengalaman di tempat itu.

Mereka bangkit dan mulai berjalan menuju ke barat. Melihat suasana yang amat sunyi, mau tidak mau muncul kembali bayangan makhluk yang dinamakan Yeti itu di benak Ciok-tosu, maka dia lalu bertanya kepada Hok Keng Cu.

"Toheng, sebetulnya, apakah artinya Yeti itu?"

Hok Keng Cu mengerutkan alis memandang ke kanan kiri, seolah-olah merasa takut membicarakan makhluk itu. Siapa tahu kalau dibicarakan makhluk itu akan muncul di depan mereka! Akan tetapi karena dia tidak mau dianggap penakut, dengan lirih dia menjawab, "Yeti itu asalnya dari bahasa Tibet Yeh-teh. Yeh artinya daerah berbatu dan Teh artinya makhluk. Jadi Yeti dinamakan makhluk dari daerah berbatu oleh bangsa Tibet."

Ciok Kam mengangguk-angguk, kagum akan pengetahuan kawannya itu. Akan tetapi dia masih penasaran dan bertanya lagi. "Mengapa dinamakan makhluk, apakah belum ada ketentuan dia itu sebenarnya apakah? Binatang, manusia, ataukah setan?"

"Sstt.... Toyu, hati-hatilah kalau bicara....!" Hok Ya Cu berbisik, mukanya berubah pucat.

"Tidak mengapa," Hok Keng Cu berkata. "Ciok-toyu bukanlah bermaksud menghina melainkan karena memang ingin sekali tahu. Dengarlah, Ciok-toyu, sebetulnya hampir tidak ada manusia yang dapat menceritakan dengan jelas bagaimana sesungguhnya Yeti itu. Yang masih hidup dan dapat bercerita, hanya melihat Yeti dari kejauhan saja, sedangkan yang pernah berhadapan muka selalu tentu.... tewas! Dan dari keterangan mereka yang melihatnya dari jauh ada yang mengatakan bahwa makhluk itu menyerupai seekor burung besar, dan ada pula yang mengatakan menyerupai seekor monyet besar. Akan tetapi semua mengatakan bahwa dia berjalan di atas kedua kaki seperti manusia dan bahwa tubuhnya tinggi besar menakutkan."

Penggambaran tidak jelas tentang Yeti itu yang diucapkan dengan suara agak gemetar oleh Hok Keng Cu menimbulkan suasana menyeramkan sehingga mereka kini tidak banyak bicara lagi. Akan tetapi suasana menyeramkan itu terhapus oleh keindahan yang makin mempesona ketika mereka mendaki makin tinggi. Memang luar biasa sekali kalau berdiri di suatu tebing dengan awan-awan bergerak di depan kaki. Seolah-olah dengan mengulurkan tangan saja orang akan dapat menangkap domba-domba putih berarak di angkasa itu! Hawa juga menjadi semakin dingin karena mereka makin mendekati puncak yang tertutup salju.

Mereka kini tiba di daerah yang berbatu. Batu-batu gunung yang hitam licin dan tajam sehingga biar pun tiga orang itu merupakan tokoh-tokoh persilatan yang berilmu tinggi, mereka harus melangkah dengan hati-hati kalau mereka tidak ingin sepatu mereka pecah-pecah oleh tusukan batu-batu runcing. Matahari telah naik semakin tinggi, mulai agak condong ke barat, membuat baying-bayang pendek di belakang mereka.

Mereka berjalan beriring-iringan karena masing-masing harus memperhatikan batu-batu di bawah kaki mereka. Mereka berloncatan, berjingkat-jingkat, hati-hati sekali dan mengerahkan ginkang sehingga tubuh mereka dapat bergerak ringan sekali. Hok Keng Cu sebagai penunjuk jalan berada paling depan, lalu disusul sute-nya, baru kemudian Ciok-tosu berada paling belakang. Akan tetapi tosu termuda ini tidak pernah tertinggal, karena dalam hal ginkang dia lebih unggul dari pada dua orang sahabatnya sehingga melalui jalan berbatu-batu itu tidak berapa sukar baginya. Tiba-tiba terdengar Hok Keng Cu berseru tertahan dan tosu tua ini berjongkok di atas batu besar, matanya menatap ke bawah, ke balik batu besar itu.

Hok Ya Cu dan Ciok Kam yang sudah mencium bau busuk, cepat menghampiri dan ketika dia memandang, ternyata di balik batu besar itu terdapat mayat dua orang pria yang sudah mulai membusuk! Melihat pakaian mereka, dua mayat itu tentulah dua orang ahli silat, dengan pakaian ringkas seperti pakaian para piauwsu atau kauwsu (pengawal barang atau guru silat), usia mereka sukar ditaksir karena muka itu sudah membengkak dan menghitam. Tak jauh dari situ nampak sebatang golok dan sebatang pedang menggeletak di antara batu-batu. Jelas nampak bahwa leher kedua orang itu terobek dan luka yang menganga itu sungguh mengerikan untuk dipandang.

"Lihat ini....!" Ciok-tosu berseru.

Dua orang tosu tua itu menengok dan melihat betapa sahabat mereka telah mengambil pedang dan golok, mengacungkan kedua benda tajam itu. Mereka mendekat dan melihat bahwa dua buah senjata itu telah rompal dan rusak, seperti telah dipergunakan untuk membacok baja saja. Ciok-tosu mencoba mata pedang dan golok dengan jarinya dan mendapat kenyataan bahwa dua buah senjata itu terbuat dari logam yang cukup baik. Dia melempar kedua benda itu keras-keras ke atas batu. Terdengar suara nyaring yang mengejutkan dan nampak bunga api berpijar, tanda bahwa dua senjata itu memang cukup kuat. Namun dua buah senjata itu rompal dan rusak!

Mereka bertiga saling pandang. Sinar mata mereka masing-masing jelas mengucapkan suatu kata yang sama. Yeti!

"Mari kita melanjutkan perjalanan!" akhirnya Hok Keng Cu berkata lirih. Suaranya jelas terdengar gemetar dan tidak lancar.

"Tapi.... tapi kita harus mengurus mayat-mayat ini....," kata Ciok-tosu sambil memandang kepada dua mayat itu.

"Ahh, kita tidak ada waktu, Toyu, jangan sampai kita terlambat tiba di pondok batu itu. Pula, tempat ini penuh batu, mana mungkin mengubur mayat? Marilah!" Hok Keng Cu mendesak dan Ciok-tosu akhirnya menurut juga karena memang sukarlah mengubur mayat di tempat seperti itu. Hatinya sedih melihat mayat manusia berserakan seperti itu tak terurus.

Bayang-bayang di belakang tubuh mereka makin memanjang ketika matahari makin condong ke barat, di depan mereka. Mereka kini tiba di daerah padang rumput dan wajah Hok Keng Cu nampak lega.

"Kita sudah hampir sampai, di lereng sana itu. Mari cepat kita capai tempat itu dan berisitirahat!" Biar pun mulutnya tidak menyebut tentang Yeti namun dua orang teman seperjalanannya maklum bahwa tosu ini merasa lapang dadanya karena tidak ada makhluk mengerikan itu mengganggu mereka.

Akan tetapi, ketika mereka maju kurang lebih dua ratus meter lagi, tiba-tiba Hok Keng Cu yang berjalan di depan, meloncat ke belakang dan berseru, "Siancai....!"

Dua orang temannya cepat menghampiri dan mereka terbelalak. Tidak jauh dari situ, tertutup rumput yang agak tinggi, nampak berserakan beberapa tubuh manusia! Dan mereka semua telah menjadi mayat dan melihat darah yang masih berceceran di mana mana mudah diketahui bahwa peristiwa pembunuhan atas diri mereka itu belum lama terjadi, mungkin baru beberapa jam yang lalu! Mereka mencari-cari dan menemukan tujuh buah mayat manusia di sekitar tempat itu. Semuanya terluka di leher dan perut atau dada, luka lebar seperti dibacok golok atau pedang yang tajam, dan hampir semua mayat itu matanya terbelalak lebar, seolah-olah mereka itu dilanda ketakutan hebat sebelum mereka tewas.

Ciok Kam sudah mencabut pedang pasangan dari punggung dan kini dengan kedua tangan memegang pedang dia berdiri memandang ke sekeliling. Bermacam perasaan mengaduk hati tosu muda ini. Ada perasaan gentar, akan tetapi juga ada perasaan penasaran dan marah. Dia maklum bahwa yang membuat orang-orang ini adalah sesuatu yang amat kuat, karena ketujuh orang ini pun semua merupakan orang-orang yang ahli dalam ilmu silat, melihat dari pakaian mereka dan juga dari senjata-senjata yang berserakan di tempat itu.

Dan ini tidaklah mengherankan karena siapa lagi kalau bukan ahli-ahli silat yang berani datang ke daerah ini? Dan siapa lagi kalau bukan orang-orang kang-ouw yang datang ke situ dengan maksud yang sama, yaitu mencari pedang pusaka Koai-liong-po-kiam? Dan ternyata tujuh orang kangouw ini mati begitu saja secara mengerikan sekali di tempat ini. Benarkah kalau begitu peringatan petani tadi bahwa tempat ini berbahaya, bahwa Yeti sedang mengamuk. Akan tetapi benarkah Yeti yang mengamuk?

"Hei, manusia atau makhluk jahat, lekas keluarlah dan tandingi sepasang pedangku!" teriaknya.

Dua orang sahabatnya terkejut sekali. "Ciok-toyu, jangan begitu! Mari kita cepat pergi ke pondok itu sebelum terlambat!" seru Hok Keng Cu.

"Toheng, ada kejahatan macam ini dan kita diam saja malah melarikan diri? Tidak! Kurasa bukan Yeti yang melakukan ini, melainkan kaum sesat yang kabarnya banyak pula berkeliaran di daerah ini!" kata Ciok Kam yang sudah marah sekali melihat begitu banyak orang dibunuh.

"Ciok-toyu, engkau ikut bersama pinto, harap engkau suka menurut dan tidak usah menyusahkan pinto. Kalau kau tidak mau, biarlah pinto berdua pergi sendiri ke pondok!" kata Hok Keng Cu dan nada suaranya terdengar marah.

Ciok Kam sadar dan maklum bahwa dia memang telah terburu nafsu. Dua orang tosu sahabatnya itu adalah orang-orang pandai, dan kalau sampai mereka nampak begitu ketakutan tentu ada sebabnya. Dia sendiri merasa kini bahwa sikapnya tadi terlalu lancang dan nekat, menurutkan kemarahan hati saja.

"Baiklah, Toheng, mari kita pergi!" katanya akan tetapi ketika dia mengikuti dua orang tosu itu, dia tetap memegang kedua pedangnya dalam keadaan siap tempur.

Akhirnya, dengan tergesa-gesa, Hok Keng Cu membawa dua teman seperjalanannya itu ke dinding gunung yang amat tinggi dan di situ terdapat sebuah pondok batu yang sebenarnya lebih mirip sebuah goa yang tertutup oleh sebuah batu besar.

"Bantu pinto menggeser pintu batu ini!" katanya dan mereka bertiga mengerahkan tenaga mendorong batu bundar besar yang menutupi lubang goa.

Hanya dengan pengerahan tenaga sekuatnya dari mereka bertiga, akhirnya perlahan lahan batu bundar itu dapat digeser minggir dan terbukalah sebuah lubang goa yang cukup lebar. Mereka segera memasuki goa itu. Goa itu luas dan nampak burung-burung walet berseliweran di sebelah dalam.

"Batu itu dapat didorong menutup dari dalam. Kalau bahaya, kita tinggal menggesernya menutup lagi dan kita aman sudah," kata Hok Keng Cu dengan nada suara lega. "Sekarang lebih dulu kita mengambil air untuk persediaan semalam ini. Juga kayu-kayu kering untuk membuat api unggun. Besok pagi-pagi kita melanjutkan perjalanan."

Diam-diam Ciok-tosu tidak setuju dengan sikap yang amat takut-takut ini, akan tetapi dia tidak banyak bicara, lalu membantu dua orang temannya itu mencari air jernih di luar pondok batu goa, menampung air itu di gentong batu yang terdapat di dalam goa itu, juga mengumpulkan kayu kering secukupnya. Mereka bertiga lalu duduk di dalam pondok, mengaso sambil menanti datangnya malam. Sinar matahari sore masih memasuki goa dari pintu yang terbuka itu.

"Besok pagi kita ke manakah?" Akhirnya Ciok Kam bertanya untuk menghilangkan kekesalan hatinya.

"Ke Lereng Gunung Yolmo Lungma yang disebut Lereng Awan Merah. Di sanalah pusat pertapaan, dan di sana kiranya kita akan dapat mencari keterangan tentang pedang pusaka itu. Tentu seorang di antara para pertapa ada yang tahu, pinto yakin bahwa ke sana pula perginya semua orang kang-ouw yang mengunjungi daerah ini untuk mencari pedang pusaka itu."

"Masih jauhkah dari sini?"

"Tidak jauh lagi, perjalanan tiga hari menuju ke barat. Setelah tiba di kaki Yolmo Lungma akan nampak sebuah lereng di sebelah timur. Di situ nampak dinding batu gunung yang kemerahan sehingga kalau tertimpa sinar matahari, warna merah memantul ke atas membuat awan-awan di atasnya agak kemerahan. Karena itulah dinamakan Lereng Awan Merah."

"Mengapa banyak pertapa berkumpul di sana?"

"Karena daerah itu selain amat indah dan sejuk hawanya, juga memiliki tanah subur untuk ditanami sayur-sayuran."

Malam pun tibalah. Mereka bertiga lalu menggeser batu penutup lubang itu dari dalam dan mereka merasa aman. Api unggun telah dinyalakan dan di bawah penerangan api unggun ini mereka makan roti tawar dan minum air yang mereka sediakan tadi. Sesudah itu mereka mulai merebahkan diri untuk mengaso dan tidur. Api unggun bernyala di dekat mereka, antara mereka dengan pintu goa batu. Tidak lama kemudian api unggun itu padam, akan tetapi mereka tidak mengetahuinya karena mereka telah tidur pulas saking lelahnya.

Sinar matahari pagi telah menerobos melalul celah-celah kecil di tepi pintu batu yang masih menutup lubang goa ketika Ciok Kam terbangun dari tidurnya. Kebetulan dia tidur menghadap pintu dan sinar matahari yang kecil itu tepat menimpa mukanya. Dia menjadi silau, menggosok-gosok matanya dan merasa kaget karena sinar matahari kecil itu disangkanya dalam keadaan setengah sadar seperti mata seekor makhluk yang menakutkan! Akan tetapi dia segera sadar dan merasa geli sendiri, lalu bangkit duduk dan menggaruk-garuk mukanya di mana terdapat bintul-bintul kecil.

"Hemmm, di tempat seperti ini ada juga nyamuknya," gerutunya.

Tiba-tiba dia melihat betapa sinar kecil dari matahari yang dapat menyusup antara celah batu dan goa itu menjadi gelap, seperti ada sesuatu yang menghalanginya di depan pintu batu. Cepat Ciok Kam bangkit berdiri dan terbelalak memandang ke arah batu besar bundar itu. Ada orang di luar, pikirnya. Dan orang itu yang tadi lewat sehingga sejenak menggelapkan sinar itu. Kini sinarnya sudah masuk lagi dan dia memperhatikan.

Pendengarannya yang terlatih baik segera dapat menangkap suara aneh di luar batu penutup goa itu. Suara gerakan-gerakan berat dan juga suara pernapasan yang membuat dia terbelalak, karena napas itu begitu berat dan panjang, mendengus-dengus! Bukan pernapasan manusia! Agaknya ada binatang buas di luar goa. Cepat dia menghampiri dua orang tosu tua yang masih tidur itu, mengguncang-guncang mereka dan menggugah mereka dengan bisikan-bisikan tegang.

"Lekas Ji-wi Toheng, bangunlah!"

Dua orang tosu itu terbangun dan terkejut, tetapi sebelum mereka bertanya, Ciok-tosu menuding ke arah pintu. Kini terdengar gerakan-gerakan yang lebih keras dan dua orang tosu itu sudah meloncat berdiri dengan mata terbelalak.

"Jangan khawatir, kita di sini aman, terlindung pintu bundar itu!" Hok Keng Cu berkata dan tangannya meraba sakunya.

Tosu ini tidak membawa senjata, akan tetapi dia mempunyai senjata yang amat ampuh, yaitu sabuk sutera putih yang dililitkan di pinggang. Dia ahli main cambuk dan sabuk ini dapat dimainkan sebagai senjata cambuk untuk menotok jalan darah lawan. Sementara itu, Hok Ya Cu juga sudah mengeluarkan pedang tipis yang biasanya disembunyikan di bawah jubah pertapaannya. Ciok-tosu sudah mencabut sepasang pedangnya dan berdiri dengan hati berdebar. Mereka bertiga menanti dengan tegang, sama sekali tak bergerak, seperti telah menjadi arca batu di dalam goa batu itu, mata mereka memandang ke arah batu bundar penutup goa, ke arah sinar kecil dari matahari yang menerobos masuk.

Tiba-tiba terdengar suara keras dan batu bundar yang amat besar dan berat itu bergerak! Tiga orang tosu itu terkejut dan melihat betapa celah-celah yang dimasuki sinar matahari itu makin membesar.

Hok Keng Cu berteriak. "Cepat pertahankan pintu itu jangan sampai terbuka!"

Mereka berloncatan ke dekat pintu, lalu tiga pasang tangan yang mengandung kekuatan sinkang yang besar itu memegang dan mendorong kembali pintu batu ke kiri. Akan tetapi ada kekuatan dahsyat dari luar yang menentang dan yang mendorong pintu itu ke kanan. Terjadilah adu kekuatan yang amat hebat, dilakukan dengan diam-diam di tempat yang asing dan aneh itu dalam suasana yang amat menyeramkan dan menegangkan.

Terdengar suara dari luar, seperti suara singa menggereng atau harimau mengaum sehingga suara itu menggetarkan bumi sampai ke dalam goa. Setelah terdengar suara dahsyat ini, tenaga yang mendorong batu bundar ke kanan semakin kuat! Tiga orang tosu itu mempertahankan, namun mereka ikut terdorong ke kanan! Celah-celah makin melebar dan lubang itu hampir nampak!

"Lepaskan dan terjang ke luar! Di dalam tidak leluasa!" Hok Keng Cu tiba-tiba berseru setelah mendapat kenyataan bahwa tenaga mereka bertiga masih tidak mampu mempertahankan batu besar yang didorong terbuka dari luar itu.

Ketika tiga orang tosu itu menarik kembali tangan mereka, batu besar itu dengan cepat terdorong ke kanan dan terbukalah goa itu. Mereka agak silau oleh masuknya sinar matahari yang cerah, akan tetapi mereka sudah berloncatan keluar goa dan telah mempersiapkan senjata di tangan. Ketika tiba di luar dan membalik, mereka bertiga terbelalak dan wajah mereka pucat ketika mereka melihat makhluk yang berdiri di depan mereka.

Makhluk itu tingginya dua meter lebih, tubuhnya berbulu pendek kasar, bulu yang warnanya merah coklat kehitaman, dengan totol-totol putih di bagian dada. Bulu rambut tubuhnya yang kasar itu agak panjang di bagian kedua pundaknya, menutupi pundak seperti baju bulu. Mukanya agak rata, bersih tidak berambut, seperti muka monyet besar yang lebih mirip manusia dari pada monyet. Mulutnya lebar, ketika itu menyeringai marah memperlihatkan gigi yang besar-besar seperti gigi manusia bentuknya, tidak bersiung. Kepalanya di bagian atas meruncing seperti bentuk kerucut. Kedua lengannya yang besar itu panjang sampai ke lutut, kedua pundaknya menurun seperti biasa terdapat pada pundak monyet besar.

Akan tetapi makhluk ini tidak berekor dan lebih mendekati bentuk tubuh manusia dari pada monyet atau beruang. Seluruh perawakannya membayangkan keadaan yang kokoh kuat seperti batu gunung! Akan tetapi yang menarik perhatian tiga orang tosu itu adalah sebatang pedang yang menancap di paha kanan makhluk ini. Sebatang pedang pendek yang mengkilap menusuk dari depan dan menembus paha kanan itu sampai ke belakang. Tidak nampak darah dekat tempat pedang itu menancap, agaknya sudah agak lama pedang itu menancap di paha makhluk aneh ini.

"Yetiiii!" Akhirnya terdengar Hok Keng Cu berseru tertahan.

Makhluk ini melangkah maju sambil mengeluarkan suara gerengan aneh. Tiba-tiba Hok Ya Cu mengeluarkan bentakan nyaring dan pedang tipisnya menyambar ke arah leher makhluk itu.

"Aurgghhhh....!" Yeti itu mendengus dari tenggorokannya dan dengan gerakan lamban namun mengeluarkan angin dahsyat, tangannya bergerak ke depan. Pedang di tangan Hok Ya Cu menebas ke arah lengan yang diangkat itu.

"Trakkkk!" Pedang itu terpental dan tangan Hok Ya Cu yang memegang pedang itu tergetar, membuat orangnya terhuyung ke belakang.

"Dia kebal!" kata Hok Ya Cu yang sudah menerjang pula, menggerakkan sabuk sutera yang sudah dilolosnya tadi dari pinggangnya. Nampak sinar putih berkelebat panjang seperti seekor ular, dibarengi suara bercuitan amat kuatnya, menotok ke arah kedua mata makhluk itu secara bertubi-tubi!

Yeti itu agaknya tidak mau atau tidak dapat mengelak, hanya memejamkan kedua mata ketika ujung sabuk putih itu mematuk-matuk.

"Tak-tuk-tak-tuk!" terdengar suara dan seperti juga pedang tadi, seolah-olah ujung sabuk yang sudah menjadi kaku karena digerakkan dengan sinkang itu bertemu dan menotok benda-benda keras melebihi baja!

Yeti menjadi marah, kedua lengannya yang panjang itu menyambar ke depan dan Hok Keng Cu terpaksa menarik sabuknya karena dia maklum bahwa sekali sabuknya kena ditangkap, akan sukarlah menyelamatkan senjatanya itu.

Sementara itu, Hok Ya Cu sudah menggerakkan pedangnya lagi, akan tetapi ke mana pun pedangnya menyerang, menusuk atau membacok, selalu terpental kembali sehingga tosu ini menjadi sangat jeri. Ada pun Ciok Kam setelah melihat keadaan dua orang sahabatnya itu, segera mengeluarkan lengkingan panjang dan dia pun menerjang ke depan, sepasang pedangnya digerakkan sedemikian rupa sehingga membentuk sinar sinar yang saling bersilang, kemudian menjadi dua gulungan sinar berkilauan yang menerjang Yeti itu dari kanan kiri. Bukan main indah dan hebatnya ilmu siang-kiam (sepasang pedang) dari tosu muda Kun-lun-pai ini!

Yeti itu menggeram ketika sinar-sinar pedang itu mengurungnya. Dia menggerakkan kedua tangannya dan setiap kali pedang itu bertemu dengan tangannya, maka pedang itu terpental dan akhirnya Ciok-tosu tidak dapat bertahan lagi dan terpaksa meloncat ke belakang karena selain semua bagian tubuh makhluk ini kebal dan keras bukan main, bahkan bulu-bulunya yang pendek kasar itu agaknya juga kuat seperti kawat-kawat baja tulen, dia juga merasa betapa kedua tangannya nyeri dan ketika dia meloncat mundur dan melihat kedua tangannya, ternyata ada bagian telapak tangannya yang pecah dan berdarah!

Ciok Kam merasa penasaran sekali. Paha kanan makhluk ini ditembus pedang yang masih menancap, berarti bahwa makhluk ini tidak seluruhnya kebal. Kalau pedang itu dapat menancap di paha makhluk itu, mengapa kedua pedangnya tidak? Dia menerjang lagi dan kini sinar pedangnya yang bergulung-gulung mengarah paha makhluk itu.

"Trak-trak, tringgg....!"

"Aihhhh....!" Ciok-tosu menjerit dan mencelat ke belakang, memandang pedang di tangan kanannya yang telah buntung menjadi dua potong! Pedangnya itu tadi menyerang paha kanan makhluk itu dan tanpa disengaja, makhluk itu menggerakkan kaki dan pedangnya bertemu dengan pedang yang menancap di paha makhluk itu dan.... pedangnya buntung seperti terbuat dari pada tanah liat saja! Dan pedang di tangan kiri yang menusuk paha kiri makhluk itu terpental kembali!

"Dia kebal dan lihai, mari kita lari!" Hok Keng Cu berseru.

Akan tetapi Ciok Kam yang merasa penasaran itu tidak mau lari. Mereka bertiga adalah tokoh-tokoh Kun-lun-san yang terkenal jagoan, masa kini mengeroyok seekor binatang aneh yang sudah terluka paha kanannya ini tidak mampu menang?

Tiba-tiba Ciok Kam mengeluarkan suara melengking nyaring dan tubuhnya melayang ke atas. Inilah keistimewaannya dan yang membuat dia dijuluki Hui-siang-kiam (Sepasang Pedang Terbang). Biar pun pedangnya tinggal sebatang, namun kini dengan meloncat sangat cepatnya, tubuhnya melayang ke atas dan dari atas dia menyerang dan menusukkan pedangnya ke arah ubun-ubun kepala makhluk itu! Jurusnya ini adalah jurus pilihan, dan jaranglah ada tokoh kang-ouw yang akan mampu menghindarkan diri dari serangan dahsyat ini.

Yeti itu menggereng, kedua tangannya melindungi kepala dan digerakkan sedemikian kerasnya sehingga ketika pedang itu menusuk, pedang dan orangnya kena ditamparnya dan tubuh Ciok-tosu terpental sampai beberapa meter jauhnya, menumbuk batang pohon dan terpelanting, terbanting ke atas tanah dan terus menggelundung masuk ke dalam jurang!

Melihat ini, Hok Keng Cu dan Hok Ya Cu marah sekali dan berbareng mereka itu menyerang dengan pedang dan sabuk sutera.

"Crattt!" Ujung sabuk sutera mengenai tepi mata kanan makhluk itu.

SULING EMAS NAGA SILUMAN  (seri ke 10 Bu Kek Siansu)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang