×

54 11 1
                                    

eu.fo.ria/éuforia n perasaan nyaman atau
perasaan gembira berlebihan

mim.pi n ki angan-angan

×××

Tuesday, 28 August 2018

Suara detik jam terdengar begitu lambat. Ruangan ini juga terasa semakin kecil dan menyesakkan. Aku kehabisan napas, oh tidak! Aku lupa untuk bernapas. Betapa bodohnya aku sebagai makhluk hidup. Segera kukeluarkan karbon dioksida dan menghirup sebanyak mungkin oksigen lalu bernapas lega.

"Berhentilah memaksakan otakmu untuk bekerja. Aku tidak tahan melihat wajah jelekmu yang seperti itu, Elmira." Suara menyebalkan ini dengan sangat terpaksa tertangkap oleh indera pendengaranku. Apa katanya?! Memaksakan otakku? Wajah jelekku? Wah... berandal ini seharusnya sudah kuberi pelajaran dari dulu. Aku hanya sedang mencoba menyelam dalam pikiranku dan mencari sebuah cahaya terang bernama inspirasi. Tidak bisakah dia melihatnya? Apakah perlu kuletakkan 50 bingkai kacamata lagi di wajah tampannya itu?

Kuselipkan rambutku yang terurai ke belakang telinga dan memicingkan mata tepat ke arahnya yang juga sedang menatapku. Aku berdehem guna mendapat nada suara yang pas, lalu kuutarakan rangkaian kata semanis karamel dari lubuk hatiku padanya.

"Tidakkah kau seharusnya membantuku disaat seperti ini, Tuan Einstein?" kataku sambil berkedip beberapa kali dan mencetak senyum terbaikku.

Tak disangka dia malah bertepuk tangan heboh dan berdecak kagum.

"Wow! Luar biasa, Elmira! Kau tampak ribuan kali lebih mengerikan!" serunya sambil bergidik ngeri membuatku kesal setengah mati. Aku tak merespon, tak menyahut dan tak berniat berkelahi dengannya. Disaat seperti ini kerugian selalu berpihak padaku. Tapi aku yakin setelah ini dia akan berkata seperti ini....

"Baiklah, baiklah. Apa yang bisa kubantu? Katakan saja," ucapnya. Dan benar saja! Seperti perkiraanku, sudah dipastikan makhluk jelmaan Albert Einstein ini adalah sahabatku!

Ah, ya! Namaku Elmira Danurdara, dan orang menyebalkan yang ada dihadapanku saat ini adalah Aiden Abichandra. Kami bersahabat dari kecil layaknya saudara. Aku menyebutnya Einstein karena Aiden adalah siswa nomor satu di sekolah. Bukan hanya aku yang menyebutnya seperti itu, tapi hampir satu sekolah tahu tentang kejeniusan orang ini dan juga wajah tampannya membuat Aiden sangat populer dan gampang dikenal. Dan aku? Aku hanyalah Elmira, siswi terpintar kedua setelah Aiden. Kami sering disebut sebagai Duo Spektakuler karena seringnya kami memenangi lomba dan dipanggil bersama saat pengumuman juara. Dan tentu saja dengan Aiden di nomor satu lalu disusul namaku setelahnya.

"Soal yang ini." Aku menunjuk satu soal latihan olimpiade matematika yang sedang kami kerjakan bersama. Satu soal yang mampu membuatku patah hati karena tidak menemukan jawabannnya. 

"Aku sudah cari dua kali dan jawabanku masih berbeda denganmu. Kau yakin jawabanmu benar?" tanyaku berlagak meragukan. Ya, walaupun presentase kemungkinan Aiden salah hanya 5%, dan aku tidak benar-benar meragukannya. Ayolah, itu hanya formalitas.

Dan... Aiden dengan mudah menunjukkan letak kesalahanku. Aku melengos. Aku juga ingin menjadi makhluk sejenius Aiden Abhicandra.

"Elmira, kau tau tentang teori chaos?" tanya Aiden tiba-tiba dan secara melankolis menerawang keluar jendela dengan tatapan kosong.

"Efek kupu-kupu?" tanyaku memastikan. Dia mengangguk dan kembali menatapku, dan aku kembali fokus pada soal latihan olimpiade yang sangat rumit ini.

"Kau kurang memasukkan beberapa angka di belakang koma di awal pengerjaan dan menyebabkan kekacauan yang mengakibatkanmu tidak dapat menemukan jawaban dari soal itu. Adalah teori chaos, teori kekacauan," jelasnya panjang lebar memperjelas letak kesalahanku. Lama jeda setelah itu, lalu dia dengan nada kesal berkata, "Elmira, kau mendengarku?!"

euforia mimpiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang