Tiba-tiba Youngmin mendapatkan ide gila.
***
Bisa saja Heerin tidak menyetujuinya, tapi hanya itu cara yang dapat mereka lakukan agar bisa keluar dari sekolah dengan selamat tanpa ketahuan. “Heerin-ah,” ujar Youngmin sambil turun kembali ke tanah, “Aku punya ide bagus.” Heerin menunduk untuk menatap Youngmin karena kini badannya lebih tinggi dari laki-laki itu. Matanya membulat antusias. “Naiklah ke punggungku.” Heerin diam. Youngmin tidak tahu apa yang dipikirkan gadis itu. Menurutnya gadis itu terlalu banyak berpikir. Padahal banyak hal yang harus dilakukan sebelum dipikirkan. Tapi Youngmin lega akhirnya Heerin beringsut melingkarkan kedua lengan ke lehernya lalu membuat posisi agar Youngmin dapat menggendongnya. “Hup, akhirnya. Oh, kau berat sekali.” Sontak Heerin cemberut lucu. “Kalau tidak mau, tidak usah.” Heerin bergerak untuk turun dari punggung Youngmin, tapi laki-laki itu menahannya. “Baiklah, Putri.” Dengan dua kali memantul di tanah dan tong sampah, Youngmin bisa membawa Heerin naik ke atas tembok. “Apa kau siap?” tanya Youngmin sambil bersiap turun dari tembok yang lumayan tinggi itu, namun dijawab dengan teriakan yang tertahan oleh Heerin. Youngmin tertawa mengetahui gadis mungil itu takut. “Jangan takut, aku sudah biasa begini.” Kemudian dengan dua kali lompat, Youngmin berhasil membawa Heerin turun dari tembok itu dengan selamat. “Sampai.” Tapi Heerin masih takut untuk menyembulkan kepalanya. Dengan jahil Youngmin mengambil kamera dari tas yang dibawanya lalu dengan kedua tangan diarahkannya kamera itu menghadap mereka wajahnya. Dipencetnya tombol untuk merekam. “Annyeonghaseyo,” sapanya pada kamera sambil tersenyum lebar. “Hari ini aku dan Heerin akan membuat kenangan manis untuk diingat. Hmm… Aku masih bingung mulai dari mana, tapi yang jelas kini perjalanan akan segera dimulai karena aku dan Heerin sudah keluar dari sekolah. Hei, kau tahu, tidak? Heerin ternyata benar-benar kuno. Tadi saat berkenalan denganku, ia hanya menjabat tanganku. Benar-benar.” Dengan gummy smile-nya, Youngmin menggeleng-gelengkan kepalanya seolah sulit untuk menasihati anaknya yang nakal. “Hya, bilang kalau sudah sampai. Dan apa tadi? Kau bilang aku kuno?” sahut Heerin sambil beringsut turun dari punggung Youngmin. Tanpa mengacuhkan Heerin, Youngmin kembali meneruskan kata-katanya. “Padahal aku sudah bilang kalau kami sudah sampai. Baiklah, di samping kuno ternyata dia juga pikun. Biar kutebak,” ujar Youngmin sambil mengetuk-ngetukkan telunjuk kanannya di dagu. Matanya menatap ke langit seolah sedang memikirkan sesuatu. “Umur sebenarnya adalah empat puluh tahun tapi dia menyamar sebagai gadis usia delapan belas tahun.” “Hei, jika kau berkata begitu itu artinya aku awet muda, kan?” kata Heerin lalu terkekeh. “Terserah kau mau awet muda atau tidak. Orang tua tetaplah orang tua.” “Kalau begitu jangan bersikap tidak sopan pada orang tua.” Sorot kamera berpindah pada Heerin. “Ooh… berarti kau mengakui bahwa kau sudah tua?” goda Youngmin. “Mwoya??” Heerin lalu mendekat seraya memukul-mukul dada Youngmin yang bidang. “Hentikan. Hentikan.” Bukan karena sakit, tapi Youngmin merasa geli dengan pukulan Heerin. Ia lalu tertawa keras. “Kalau begitu berhenti mengejekku,” rengek Heerin masih memukul Youngmin. “Memangnya kenapa? Aku mengejek dengan mulutku.” “Kau ini.” Youngmin merekam wajah Heerin yang kesal sambil terus tertawa. “Berhenti tertawa!” Youngmin akhirnya berhenti tertawa setelah Heerin berhenti memukulnya. Mereka pun bertatapan. Aneh, ketika Youngmin melihat mata Heerin yang kecoklatan itu, ia merasa tenang. Ia nyaman dengan desiran halus di dadanya. “Kau mau kita ke mana?” tanya Youngmin. Heerin memutar-mutar bola matanya untuk berpikir. Ia melihat sekeliling dan tidak menyadari raut Youngmin yang sedikit kecewa. Youngmin tidak tahu kenapa ia kecewa begitu pandangan Heerin tidak lagi padanya. “Kau ingin ke mana?” kata Heerin memecah lamunan Youngmin. “Aku terserah padamu.” “Ah, aku lapar. Aku belum makan,” kata Heerin setelah beberapa saat mereka saling diam. Youngmin tersenyum. “Aku tahu restoran yang enak. Apa kau suka makanan Jepang?” Heerin mengerjap beberapa kali lalu mengangguk semangat. Youngmin menarik tangan Heerin ke sebuah restoran Jepang yang berada beberapa gang dari sekolah mereka. Restoran itu biasanya menjadi tempat Youngmin menolak gadis-gadis yang menyatakan cinta padanya. Tapi ini berbeda. Ia sengaja mengajak Heerin untuk membuat kenangan. Ia bahkan tidak tahu kenapa harus Heerin, tapi ia tidak peduli. Jika ia memang nyaman dengan Heerin, maka akan dirajutnya kenangan tersebut dengan Heerin. “Baiklah, kita sampai,” kata Youngmin sambil memberi jalan pada Heerin untuk berjalan lebih dulu. Pintu dibukakan oleh seorang pelayan. Heerin membalas senyum pelayan itu dengan ramah. Mereka disiapkan sebuah meja di dekat jendela yang langsung menghadap jalan setapak. Heerin merasa aneh dengan restoran kecil itu. Tapi ia diam saja hingga mereka mereka duduk dan pelayan meninggalkan mereka dengan dua buku menu, Heerin mulai angkat bicara. “Apa kau sudah mengatur semuanya?” bisik Heerin. Hanya ada mereka berdua sebagai pengunjung, Heerin takut apa yang dikatakannya terdengar oleh pelayan toko. Youngmin memandang Heerin tidak mengerti. “Maksudmu?” “Apa kau mengatur semuanya? Kenapa mereka memilihkan kita kursi dan bukannya menyuruh kita memilih sendiri?” Kini wajah Heerin mulai cemas. Ia merasa ada yang tidak beres. “Tenanglah. Aku tidak mengatur apapun. Lagipula aku baru mengenalmu, bukan?” Heerin mengangguk. “Lupakan kecemasanmu itu.” Heerin awalnya masih sedikit ragu, namun akhirnya ia menikmati suasana siang itu. Sesekali ia dan Youngmin bercanda dan seperti biasa Youngmin mengejeknya. “Akan kuceritakan suatu hal padamu, tapi pertama-tama kita aktifkan dulu rekamannya.” Youngmin memencet tombol untuk merekam. “Baiklah. Jadi, kau ingin tahu bukan, kenapa mereka memilihkan tempat untuk kita dan bukannya kita yang memilih tempat?” Heerin mengangguk antusias. Matanya bulat lucu. “Sebenarnya aku sering kemari.” “Oh. Lalu?” “Aku sering kemari membawa gadis.” Heerin tampak terkejut. “Jangan berpikir yang bukan-bukan. Aku ke sini bersama mereka untuk menolak mereka. Kau tahu? Gadis-gadis itu menyebalkan sekali. Awalnya aku menerima mereka dengan melayani segala omongan mereka. Tapi mereka meminta lebih.” “Mereka mengikutiku ke mana pun hingga ke tempat ini. Lalu mereka menyatakan cinta padaku. Karena aku tidak suka pada mereka, jadi kutolak saja.” Heerin berdecak kesal. “Jadi, kau merekam pembicaraan kita hanya untuk pamer bahwa kau disukai banyak gadis? Cih, kau kan, tidak tampan. Bagaimana mereka bisa menyukaimu? Mereka pasti sakit mata.” “Apa kau yakin?” goda Youngmin. “Seharusnya kau pernah mendengar nama ‘Jo Youngmin’ dalam sepuluh peringkat murid laki-laki keren di sekolah kita.” Heerin terdiam sejenak. Ia mencoba mengingat-ingat nama tersebut. Ia tersentak dan Youngmin melihatnya. “Jadi, apakah kau masih meragukan ketampananku?” Youngmin menggoda Heerin lagi dengan menaikkan satu alisnya. Heerin hanya membalas dengan menggembungkan satu pipinya, berusaha tidak menghiraukan ucapan Youngmin yang pasti akan semaki memojokkannya. “Akui sajalah.” Heerin diam. “Hei, cepat akui kalau—“ “Iya iya, kau tampan. Puas?” seru Heerin sambil melotot. Youngmin benar-benar puas sampai-sampai ia tertawa keras. Semua orang di restoran itu menoleh ke arah mereka berdua. Pipi Heerin memerah karena semua orang melihat ke arah mereka. Dalam hati ia mengumpat Youngmin yang tidak tahu tempat dan waktu yang tepat. “Sudah, diam.” Heerin semakin menundukkan kepalanya karena malu. Terlebih para pelayan dan koki dapur yang mengintip memberi Heerin senyuman menggoda seakan-akan Youngmin sedang merayu Heerin. “Youngmin-ah, kau membuatku malu. Jika kau tidak berhenti tertawa, aku tinggal kau di sini.” Masih dengan menahan tawa, Youngmin berkata, “Baiklah.” Hening sejenak. Heerin dan Youngmin sama-sama bingung harus bicara apa. Tidak sengaja Heerin melihat kerah Youngmin yang berwarna coklat. “Jadi, apakah ketampananmu ada hubungannya dengan kotornya kerah kemejamu itu?” Youngmin menoleh ke arah kerah kemejanya. Ia lalu nyengir tanpa dosa. “Benar. Wah, kau pintar sekali, Han Heerin,” ucapnya ringan sambil mengacak-acak kepala Heerin. Gadis itu cemberut karena rambut yang disisirnya rapi menjadi tidak beraturan akibat tangan Youngmin. “Hentikan.” Heerin mengambil napas. “Sudah kusimpulkan. Kau pasti menolak para gadis itu dengan kasar lalu mereka menyirammu dengan susu coklat yang dikocok lalu ditambahkanfloat ke wajahmu. Sayangnya mereka kurang tepat sasaran sehingga setengah wajah dan kemejamu yang kena semburannya. Benar?” Belum sempat Youngmin membalas, Heerin sudah kembali mengoceh. “Ah, tentu saja aku benar. Urgh, pantas saja tadi sewaktu kau menggendongku ada bau manis di sekitar pipimu. Ternyata kau disiram.” Heerin menyipitkan matanya pada Youngmin seolah ia berhasil memenangkan kasus atas Youngmin. Dengan tenang Youngmin menjawab, “Tidak seratus persen benar, Nona. Tapi tunggu, apakah kau tadi mencoba mencari peruntungan dengan aku menggendongmu?” “Apa? Apa maksudmu?” “Tadi kau bilang bahwa ada bau manis di sekitar pipiku.” Youngmin mencondongkan tubuhnya lebih dekat ke wajah Heerin yang kembali terpojok karena ucapannya sendiri. “Apakah kau, Han Heerin, sedang mencoba mencium pipiku? Jangan berbohong kali ini. Kau ketahuan.” Lalu dengan seper sekian detik, Youngmin memberi kedipan sebelah mata pada Heerin. Ia menggoda gadis itu (lagi!). Entah kenapa ia sangat suka melihat rona pipi Heerin seperti saat itu. “Aku, Han Heerin, tidak pernah mengambil untung darimu, Jo Youngmin,” ujar Heerin penuh penekanan di setiap kata. Youngmin mengangkat kedua bahu tidak peduli lalu kembali duduk bersandar kursinya. Sungguh, ia belum puas menjahili Heerin. Tiba-tiba datang dua orang pelayan—satu laki-laki dan satunya lagi perempuan—sambil membawa semangkuk sup jamur, dua piring spaghetti, dua gelas soda, dan sebuah es krim vanilla yang dikemas dalam gelas tinggi. Heerin melongo melihat makanan-makanan itu. Ia sungguh bingung karena tidak ada di antara dirinya dan Youngmin yang memesan makanan ataupun minuman bahkan dessert. Lalu kenapa kedua pelayan itu membawakan mereka semua ini? Lalu siapa yang akan menghabiskan makanan sebanyak ini? Kebingungan gadis itu bertambah ketika kedua pelayan itu mengedipkan sebelah mata setelah sebelumnya mengatakan, “Chukkahae,” tanpa suara. Wajah Heerin saat itu benar-benar aneh, campuran bingung dan kaget. Dari sudut matanya, dilihatnya Youngmin yang dengan santainya memandang ke luar jendela. Aku tahu ini semua perbuatan Youngmin, batin Heerin. Ia benar-benar tidak mengerti kenapa Youngmin tidak mengaku saja kalau dia yang telah merancang makan siang ini. Meski ingin bertanya, tapi perutnya menuntut minta diisi. “Youngmin-ah, cepatlah kau makan spaghetti itu. Kuyakin saat dingin nanti rasanya tidak enak,” kata Heerin sebagai dalih agar ia tidak dianggap rakus. Youngmin menoleh. “Kau makanlah dulu. Aku tahu kau sangat kelaparan.” “Kau ini. Kenapa kau selalu mengejekku?” kata Heerin cemberut. Youngmin balik memandang Heerin dengan heran. “Bukankah dari tadi perutmu terus bergetar karena belum diisi? Lagipula kau bilang belum makan siang.” Kata-kata Youngmin benar-benar tepat sasaran. Youngmin mengambil kamera dengan sorot lensa mengarah pada Heerin. “Baiklah, Heerin-ah, kau makan duluan. Aku tidak lapar.” Heerin bingung. Jika ia makan duluan itu artinya ia tidak sopan. Tapi jika tidak kunjung dimakan, selain spaghettinya berair, perutnya akan semakin menuntut untuk diisi. Heerin menelan ludah sambil menatap spaghetti di depannya dengan pandangan memelas. “Sudahlah, tidak usah malu-malu. Aku sampai bisa mendengar makanan itu berkata, ‘Heerin-ah… makan aku… makan aku…” Youngmin mencoba-menakut-nakuti Heerin. Perlahan, wajah Heerin semakin memucat sehingga Youngmin makin tidak tega untuk menyuruh Heerin tidak makan. Baiklah, sejak awal memang Youngmin mengajak Heerin makan siang sebelum pergi berkencan. Tunggu, sejak kapan rencana ‘membolos’-nya berubah menjadi ‘berkencan’? Argh, otaknya mungkin sudah mulai tidak beres. “Cepatlah makan atau kau mau kusuapi? Sudah setua ini tapi masih minta disuapi,” ejek Youngmin lagi. Inilah siasat Youngmin—apabila Heerin tidak segera makan, maka Youngmin akan terus-menerus mengejek gadis itu agar mau makan. “Aku tidak setua itu.” “Menurutku kau sudah tua. Kau bahkan lupa kalau kau telah mengatakan ingin makan.” Heerin menggeram kesal. Bagaimana ia bisa bersama orang semenyebalkan Jo Youngmin? Pasti hari ini hari sialnya! “Baiklah, baiklah. Aku makan duluan,” kata Heerin akhirnya. Diambilnya garpu dan mengambil sebagian kecil spaghetti untuk ia makan. Setelah makanan itu masuk ke mulutnya, ia berkata, “Kau puas?” sambil memberi Youngmin pelototan mata sangat lebar. Youngmin tertawa keras sekali, membuat Heerin benar-benar merasa diejek. Untuk meredam amarahnya, dikunyahnya makanan yang memenuhi mulutnya itu dengan sulit. Lagi-lagi Youngmin mencela Heerin. “Hei, gadis pendek bulat. Mau kubantu mengunyah? Kulihat kau kesulitan mengunyah,” goda Youngmin dengan kedipan sebelah mata. Heerin pun tersedak mendengarnya. Diminumnya soda di sebelah kirinya dengan cepat. ‘Apakah laki-laki ini sudah gila? Menjijikkan,’ batin Heerin kesal. Youngmin tiba-tiba terdiam dengan mata mengarah pada bagian belakang kameranya, namun pandangannya kosong. Hal itu membuat Heerin heran dan cemas. Ia mendekat pada Youngmin dan berbisik dengan nada cemas, “Apa kau baik-baik saja?” Youngmin mengeluarkan smirk-nya yang seperti setan itu. “Aah… apakah kau mencemaskanku, gadis kecil? Aigoo… kau begitu menyayangi Oppa rupanya.” Baru saja Heerin mencemaskan Youngmin, tapi laki-laki itu membalasnya dengan sikap yang menyebalkan lagi. “Cih, apanya yang ‘Oppa’? Aku bahkan lebih yakin kau adalah dongsaeng. Arachii?” Heerin berbicara seolah sedang menasehati anaknya yang nakal. “Baiklah, Eomma.” Youngmin memberikan hormat pada Heerin. Gadis itu hanya berdecak kesal. Youngmin meletakkan kameranya di atas meja, menghadap mereka berdua. Kemudian dilahapnya spaghettinya yang sudah lumayan dingin. Heerin yang melihat Youngmin makan secepat itu pun terkekeh. “Bagaimana bisa kau bilang aku lapar jika kau sendiri selapar itu?” Youngmin pura-pura tidak mendengar dan kembali melahap spaghettinya lebih cepat sampai akhirnya ia pun tersedak. Cepat-cepat disedotnya soda di sebelah kanannya. “Tenanglah, jangan terburu-buru.” Youngmin menatap Heerin tajam hingga membuat Heerin sedikit takut. “Tenang apanya? Cepatlah kau selesaikan makanmu itu. Perjalanan kita masih panjang.” Meski bingung dengan perkataan Youngmin barusan, Heerin menurut saja dan langsung menghabiskan spaghettinya. Tak berapa lama kemudian, Youngmin berhasil menghabiskan spaghettinya tanpa meninggalkan sisa di piring. Setelah minum soda, dihapusnya sisa makanan di sekitar bibirnya dengan tisu. Kemudian dihelanya napas beberapa kali untuk menurunkan makanan. Dilihatnya Heerin belum juga selesai dengan makanannya. Gadis itu malah melongo takjub melihat Youngmin menghabiskan spaghetti dalam beberapa menit. Youngmin memutar bola matanya lalu didudukinya kursi yang paling dekat dengan Heerin. Gadis itu menoleh kaget. Tapi ia hanya bisa pasrah Youngmin menyuapkan segulung besar spaghetti ke dalam mulutnya. Wajah Youngmin saat itu seperti seorang ibu yang kesal karena anaknya tak kunjung menghabiskan makanannya—mata melotot dan bibir mengatup gemas. “Kau tahu? Aku punya saudara sepupu yang menyuapi anaknya dengan tangan,” Youngmin memulai dongengnya. “Lalu? Itu hal biasa,” balas Heerin dengan mulut penuh. “Telan makananmu, nona, sebelum berbicara.” Heerin diam sambil terus mengunyah hingga makanan di dalam mulutnya benar-benar hancur. Setelah ditelannya, ia meneguk seperempat gelas soda. Youngmin kemudian kembali menjejalkan segulung besar spaghetti ke dalam mulut Heerin. “Biasanya orang tua menyuapi anaknya dengan sejumput, bukan? Nah, saudaraku ini menyuapi anaknya dengan segenggam penuh nasi beserta lauk dan sayur,” Youngmin melanjutkan dongengnya. “Jadi, apakah kau mau kusuapi dengansegenggam penuh spaghetti?” Ah, Youngmin mengancam Heerin (lagi). Sontak Heerin menghentikan kunyahannya, lalu dengan mata mendelik digelengkannya kepalanya pelan. “Bagus. Cepat kau telan makanan itu, lalu habiskan yang ini. Lihat, hanya tinggal satu suapan.” Youngmin mengangkat garpu yang sudah tergulung oleh spaghetti. Dengan susah payah Heerin menelan gumpalan besar hasil penghancuran spaghetti oleh giginya. Ketika hendak mengambil minum, Youngmin melarangnya. “Aku takut perutmu tidak kuat menampung spaghetti ini jika kau minum, nona.” Heerin cemberut. Yongmin bersiap memasukkan lagi spaghetti ke dalam mulut Heerin. Namun ketika makanan itu telah berada di depan bibir Heerin, gadis itu menutup mulutnya dengan kedua tangan, matanya membulat memelas, dan kepalanya bergeleng. Akhirnya Youngmin mengalah dan memakan penuh gulungan spaghetti yang berukuran lumayan besar itu. Perlahan namun pasti, Heerin menyunggingkan senyum paling manis yang pernah diberikannya pada Youngmin. Entah kenapa Youngmin merasa tubuhnya membeku dengan senyum Heerin, dadanya pun bergetar aneh, dan ia terpaku pada satu tempat—senyum Heerin. Heerin dengan polosnya menggerak-gerakkan tangannya di depan wajah Youngmin. “Hei, kau baik-baik saja?” Youngmin tersentak dan langsung menelan makanan di mulutnya bulat-bulat sehingga ia sedikit tersedak. Diraihnya minum Heeirn dan diteguknya cepat. Kemudian diambilnya napas sebanyak-banyaknya. “Kau ini kenapa?” Seperti tersadar akan suatu hal, Heerin kemudian mencondongkan wajahnya ke wajah Youngmin. “Ah, jangan-jangan kau terpesona padaku?” Laki-laki itu terdiam sejenak. “Mungkin? Aku tidak yakin.” Heerin memiringkan kepalanya setelah badannya kembali tegak. “Bagaimana perasaanmu?” “Haruskah kita membahasnya sekarang?” “Jika nanti, kau janji akan mengatakan semuanya padaku?” Youngmin terdiam. “Baiklah, tapi kita harus pergi sekarang.” Heerin mengedikkan bahu. Youngmin mengangkat tangannya, memanggil pelayan. Tak lama kemudian datang seorang pelayan laki-laki. “Apakah ada yang bisa saya bantu?” tanya pelayan itu. “Tidak usah seformal itu padaku, Hyung. Bukankah tadi kita baru saja bertemu?” Pelayan itu mengangkat kedua alis. “Ah, benar. Baiklah, Jo Youngmin. Ada apa memanggilku?” “Jungsoo Hyung, sup jamurnya dibungkus saja. Tapi kutitipkan sebentar di sini. Kami mau pergi.” Heerin dan Youngmin bersiap pergi. “Oya, karena kami belum pesan—“ “Baiklah, kalian gratis untuk kali ini,” potong Jungsoo cepat. Memang Jungsoo yang merancang semua itu. Ia bersama pelayan yang lain menyiapkan makan siang untuk Youngmin yang suka membawa gadis-gadis untuk ditolak cintanya. Jika biasanya mereka tahu bahwa gadis-gadis itu akan ditolak Youngmin, kali ini mereka tahu bahwa gadis yang dibawa Youngmin—Heerin—adalah gadis yang akan menarik perhatian Youngmin. Entah mengapa mereka merasakan hal itu. mungkin karena para Heerin yang sederhana. Berbeda dengan gadis yang biasanya—pakaian ketat, rok yang terlalu pendek, dan dandanan yang berlebihan. Makan siang itu juga merupakan ucapan selamat karena Youngmin akhirnya membawa gadis baik-baik. Namun perayaan tersebut bukan hanya untuk merayakan kedatangan Heerin, tapi juga karena Youngmin tidak kasar pada seorang gadis. Youngmin dan Heerin keluar dari restoran Jepang itu dengan berjalan beriringan layaknya sepasang kekasih. Tapi mereka tidak saling bergandengan tangan. “Heerin-ah,” panggil Youngmin. Heerin menoleh. Tiba-tiba Youngmin mengalungkan kamera ke lehernya. “Pakai ini agar aku tidak harus selalu mengeluar-masukkannya.” Heerin tidak memberi respons apapun. Mereka berjalan dalam diam. “Youngmin-ah, apa kau tahu kenapa restoran tadi menyiapkan spaghetti di meja kita?” tanya Heerin tiba-tiba. “Kenapa kau tanyakan itu?” balas Youngmin dengan nada heran. “Tidak apa. Aku hanya bingung. Itu restoran Jepang tapi menghidangkan spaghetti. Bukankah seharusnya makanan yang dihidangkan sejenis sasshimi atau sushi? Spaghetti itu makanan italia.” Youngmin menghela napas panjang. “Apa kau tidak tahu? Pemilik restoran itu adalah seorang kakek tua. Jadi, bisa saja dia sedikit pikun dengan perbedaan makanan Jepang dengan makanan italia,” kata Youngmin sambil berlagak profesor dengan mengangkat satu jari telunjuknya. Heerin memandang Youngmin takjub. “Benarkah? Bagaimana kau bisa tahu?” “Kau percaya kata-kataku?” Perlahan, raut muka Heerin berubah sebal. “Kau pasti berbohong padaku.” “Mwo? Untuk apa aku bohong padamu?” Mata Heerin kembali antusias memandang Youngmin. “Ah, jadi semua itu tidak bohong?” “Tidak. Aku bohong. Untuk mengerjaimu.” Heerin hanya bisa melongo mendengar serentetan kata Youngmin yang begitu menyebalkan itu. “Berhentilah menjahiliku,” pinta Heerin sedikit bernada manja. “Jika aku berhenti, rasanya bumi tidak berputar.” “Kenapa begitu?” “Karena kita hanya berdua.” “Lalu kenapa?” Tidak menjawab pertanyaan Heerin, Youngmin berjalan lebih cepat daripada Heerin. “HEI, KALIAN!!” Heerin dan Youngmin menoleh ke belakang bersamaan dan dilihatnya seorang guru serta kepala sekolah. Youngmin dan Heerin saling berpandangan, lalu tanpa dikomando Youngmin memegang tangan Heerin kemudian lari bersama. Mereka terus berlari hingga ke rumah penduduk. Mereka menabrak pot hias, tong sampah, dan melewati lampu lau lintas sebelum berganti merah. Ketika berganti merah, kepala sekolah dan guru mereka tidak bisa mengejar mereka. Dengan tertawa, mereka melanjutkan petualangan entah suatu tempat yang Heerin tidak bisa tebak. Gadis itu hanya mengikuti laki-laki di sampingnya. Mereka sampai di sebuah stadion sepak bola yang sudah lama tidak dipakai karena sedang tidak ada pertandingan. Dengan napas terengah-engah, mereka tiduran di lapangan itu. Entah itu hanya perasaan Heerin saja atau bukan, pagangan Youngmin di tangannya makin merngerat dan itu membuatnya kesakitan hingga mengerang. “Maaf,” sesal Youngmin lirih kemudian merenggangkan pegangan tangannya. Beberapa menit kemudian, napas mereka sudah teratur. “Apa kau yakin ingin menjerumuskanku ke dalam duniamu?” tanya Heerin sedikit sadis. “Maksudmu?” sahut Youngmin tidak mengerti. “Kau tidak lihat kepala sekolah dan guru tadi mengikuti kita? Kaupikir untuk apa mereka mencari kita sampai rela mengikuti kita berlari-lari sedangkan mereka tahu kita pasti akan lolos?” “Lalu apa hubungannya dengan ‘dunia’-ku?” “Aku baru mengenalmu hari ini sebagai orang menyebalkan yang selalu memaksaku melakukan ini-itu. Kau terlihat sudah biasa melakukan pembolosan tanpa ketahuan. Apakah ada yang tidak kuketahui?” “Banyak. Salah satunya adalah aku selalu berhasil mengelabui para orang tua itu sehingga tidak pernah tertangkap saat melakukan ‘pembolosan’ ataupun keterlambatan. Aku akan lewat jalan belakang.” “Pantas.” “Pantas dengan apa? Wajahku yang tampan ini?” “Kau ini.” Hening sejenak. “Apa kau ingin main sesuatu? Aku punya sebuah permainan.” Heerin tampak tertarik dengan menolehkan kepalanya pada Youngmin. “Apa itu?” To Be Continue…