Subconcious: The Beginning

2.7K 367 183
                                    


"Untuk presensi yang bereksistensi; menorehkan bercak warna pada jiwa yang gulita." -Rae

✳✳✳

"Bagaimana keadaannya?"

Dengan perasaan kalut yang menggerayangi, Nyonya Jeon langsung bertanya pada si dokter yang kini baru saja muncul dari balik pintu. Wanita rentang empat puluh lima tahun itu sesekali melirik ke arah jendela penyekat antara lorong rumah sakit dan ruangan; menemukan anak laki-lakinya terbaring tanpa daya. Spontan hatinya mencelos; kian menyecap getir kenyataan.

Jeon Jungkook, anaknya, terlihat begitu lemah.

Melepas kacamata sejenak, meloloskan satu napas berat, dokter Ahn menyahut pelan, "Jungkook sudah sadar, Nyonya. Kau bisa menemuinya. Namun ingat, dia tetap memerlukan perawatan intensif mengingat kecelakaan yang dialaminya membuat otaknya cidera. Meski begitu, kami akan berusaha sekeras mungkin agar anakmu segera pulih."

Si dokter lantas melesat pergi beriringan dengan lontaran "terima kasih" dari mulut si nyonya. Masih dengan jemari yang bergetar, kenop pintu diputar. Derit pelan sempat mengudara, lantas diambil alih oleh debum pelan; pintu ditutup.

Netra sayu Nyonya Jeon meneliti presensi si anak dengan nanar selagi tungkainya mengikis jarak. Ada seberkas rasa sedih yang terpancar dari anak lelakinya itu kendati ia berusaha mengulaskan senyum.

"I-ibu ... apa yang terjadi denganku?" Terucaplah seuntai tanya dari mulut pucat Jeon Jungkook; terdengar gemetar. Pria berumur delapan belas tahun itu tampak berusaha menyandarkan punggung pada header ranjang dengan tenaga yang tersisa; ibunya lekas membantu. Bertepatan dengan mendaratnya bokong si ibu di atas kursi penjenguk yang tersedia, Jungkook melanjutkan, "Kenapa aku ada di rumah sakit?"

Nyonya Jeon meneguk saliva getir. Kepalanya menunduk dalam begitu menjawab, "Maafkan ibu, Nak. Ibu tak sengaja menabrakmu karena nekad menyetir dalam keadaan mabuk."

***

Terhitung tiga hari semenjak Jungkook menjalani pengobatan dan kini ia tengah terduduk lesu di taman rumah sakit. Pemuda ringkih itu sebenarnya tak sendiri. Karena, toh, para pasien lain: lelaki perempuan, tua mau pun muda, tampak berhilir mudik yang tak ayal memabukan mata. Pun berbagai ucap nan berpadu menjadi dengungan mendominasi; menyapa rungu si Jeon; mengambil alih kesenyapan.

Hari ini ibunya memang tidak datang menjenguk. Sedang banyak pekerjaan, katanya lewat pesan tadi. Kendati demikian, Jungkook tak punya hak untuk terus bergelung dengan kekecewaan. Lagipula ibunya bekerja tak lain demi biaya pengobatan dirinya sendiri, bukan?

Well, meskipun sebenarnya dia memang pantas bertanggung jawab mengingat dialah penyebab Jungkook harus dirawat.

Alhasil, Jungkook hanya bisa duduk termenung meratapi kenyataan bahwa di sini ia sendirian; kendati sebenarnya banyak orang yang bereksistensi. Dengan relung yang menjerit kecil, ia tetap mengulaskan senyum kesabaran. Dunia memang tidak adil, jadi kau harus berjuang, bisiknya lebih pada diri sendiri.

Ya, dia harus kuat.

"Um ... hei. Kau suka apel?" Tanpa praduga, sebuah suara menyadarkannya dari lamunan. Suara itu lembut; sehalus selimut sutra; menggelitik telinga. Namun, alangkah terkejutnya Jungkook begitu menoleh. Ada seorang gadis bersurai cokelat sebahu tengah duduk tepat di sampingnya; entah sejak kapan. Pakaian serba putih dengan wajah agak pucat si gadis cukup menjelaskan bahwa ia merupakan salah satu pasien di rumah sakit ini-sekiranya begitu menurut praduga si Jeon. Jungkook baru saja membuka mulut kendati si gadis malah lebih dulu terkekeh kecil selagi melanjutkan, "Aduh, maaf. Sepertinya aku sudah mengejutkanmu, ya?"

SUBCONSCIOUS (✔)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang