Trip to South Celebes (4)

0 0 0
                                    

Ribuan Langkah, Satu Cinta
Bagian 4
Trip Sulawesi Selatan
.
.
Gue nggak mau mengorbankan waktu yang berharga ini hanya untuk ngikutin kemauan elo yang nggak masuk akal. Gue gagal ke Bantimurung dan nggak bisa keliling Makassar, hanya capek doang di Toraja." Aku menatap Faqih yang masih kelihatan bingung.

"Loh, elo kok jadi nyalahin gue, Bar? Namanya juga ikhtiar, gue juga nggak tau kalau akan begini jadinya," bela Faqih.

Aku segera menuju kamar mandi untuk membersihkan diri.

Perdebatan masih terus berlangsung setelah kami check out dari penginapan. Tidak tahu harus pergi kemana, kami hanya berdiri di depan penginapan di pinggir Jalan Poros, Marumpa ini. Sebenarnya aku juga ingin sekali pergi ke Tana Toraja tepatnya ke Rantepao, tetapi tidak dengan waktu sesingkat seperti ini.

Kutarik napas panjang, kucoba mengingat pesan Guru mengajiku, bahwa Ibnu Qudamah Al-Maqdisi berkata,
“Barangsiapa yang ketika bersafar mengalami kesusahan dan keletihan ia tetap berakhlak yang baik, maka ketika tidak bersafar ia akan berakhlak lebih baik lagi. Sehingga dikatakan, jika seseorang dipuji muamalahnya ketika tidak bersafar dan dipuji muamalahnya oleh para teman safarnya, maka janganlah engkau meragukan kebaikannya.”

"Kalo menurut gue, kita harus tetap ke Toraja, Bar," giliran Faqih berbicara.
"Kita udah kesini, masak nggak nyampe Toraja, walau sebentar, nggak apa-apa lah. Sori, soal kejadian kemarin. Gimana? Mau ya, Bar?" bujuk Faqih padaku.

Kuturunkan nada bicaraku, "oke, begini aja, kita akan pergi ke Toraja sekarang, tetapi gue mau mundurkan kepulangan jadi hari Rabu. Gue akan ambil cuti kerja tiga hari. Itupun kalau Air Asia tidak membebankan selisih harga, tapi kalau dibebankan biaya lagi, gue nggak mau. Lebih baik kita pisah tujuan." Aku mengajukan pendapat pada Faqih.

"Terserah elo mau kemana, Qih. Kalau gue seperti rencana semula, setelah dari Toraja, gue mau ke Bantimurung, sesudah itu bermalam di sekitar Pantai Losari, Makassar. " Faqih terkejut mendengar pendapatku.

Aku mengurai semua argumen tanpa memberikan kesempatan lagi kepada Faqih untuk mengatur jadwal itinerari kami.

Lalu aku menelepon kantor pusat Air Asia Jakarta untuk menjadwal ulang kepulangan. Perubahan jadwal disetujui.

Sebenarnya dalam keadaan normal, jika ingin merubah jadwal penerbangan dan ada selisih harga, maka kita harus membayar selisih harga ditambah biaya perubahan jadwal. Tetapi karena adanya pemberitahuan delay dari pihak Air Asia, terlebih waktu tiba di Jakarta adalah dini hari, maka tidak dikenakan biaya tambahan lagi.

Kini giliran Faqih yang panik, setelah kusetujui keinginannya untuk memaksakan ke Toraja. Karena dengan menunda kepulangan, maka kami harus berpisah esok hari. Aku akan menetap di Toraja, sementara pagi-pagi sekali ia harus kembali ke Makassar dan lalu pulang ke Jakarta malam harinya.

Di Terminal Daya, tempat yang kami datangi semalam, suasananya berbeda 180 derajat. Begitu turun dari pete-pete, sebutan angkutan kota di daerah ini, kami langsung dikerubuti puluhan calo yang menanyakan tujuan kami.

Pemandangan yang mewarnai hampir disetiap terminal antar kota di negeri ini. Dengan perangai yang buruk, menarik-narik tas bawaan kami, mereka setengah memaksa agar kami ikut dengan mereka. Aku mengacuhkan mereka dan terus berjalan kedalam terminal sambil mempertahankan ransel bawaan.

Tiba diruang tunggu, aku melipir ke arah keramaian loket, "Qih, tunggu disini dulu, gue ke loket bis yang ke Toraja."

Di depan plang "Agen Alam" aku melihat jurusan Toraja bisa menaiki bis Litha. Ketika hendak memesan tempat duduk yang tinggal tersisa beberapa kursi lagi, tiba-tiba Faqih menelepon dan memberitahukan bahwa ia ditawari calo terminal naik travel Kijang Innova dengan membayar seratus ribu rupiah per orang.

Awalnya aku menolak, karena sebelumnya, didepan terminal tadi aku pun sudah ditawari terlebih dahulu oleh calo tersebut dan tidak tertarik. Tapi akhirnya kuikuti lagi tawaran Faqih itu.

Jengkelku kembali meradang. Sekarang sudah pukul 10.30 WITA, dan baru ada dua orang penumpang didalam Innova, itu artinya, mobil belum bisa berangkat dan tidak jelas kapan akan berangkat.

Sementara bus Litha lebih pasti berangkat pukul 13.00 WITA dan lebih murah tiga puluh ribu rupiah.

Jika berangkat dari Makassar tepat waktu, maka bis Litha paling cepat akan tiba di Toraja sekitar pukul 20.00 WITA, sementara "travel" Innova tidak ada kepastian berangkat. Ini memicu kembali terjadi perdebatan diantara kami. Lagi dan lagi akhirnya aku mengalah dengan menunggu isi "travel" ini penuh.

Bip, bip! Notifikasi ponselku berbunyi, menandakan adanya pesan masuk. Kubaca isinya, dari Santy, "Assalamualaikum. Bang, tadi saya bertemu dengan Bu Lilis di supermarket, kata beliau, Abang sedang jalan ke luar kota. Hati-hati, ya!" Dadaku seperti disiram air es. Kemarahanku hari ini meleleh. Akhirnya aku bisa tersenyum juga.

Santy, gadis yang sempat atau mungkin masih mengisi hati ini tiba-tiba muncul setelah sekian lama.

Bersambung.
#TriptoSouthCelebes (4)
#TantanganSeptemberForsen

Ribuan Langkah, Satu CintaWhere stories live. Discover now