Memori Itu...

10 2 0
                                    

Aku duduk di mobil diam saja. Ibu terus menanyakan keadaanku, apakah ada cerita yang baru, bagaimana keadaan Rian, dan sebagainya dan sebagainya. Bapak hanya menimpali sesekali sambil sibuk menyetir. Aku juga tidak mau banyak bicara kalau tidak ditanya. Aku memang pendiam. Aku selalu lebih memilih diam, memendam kebanyakan perasaanku karena dalam kamusku, tidak akan pernah ada orang yang benar-benar memahami apa yang kau rasakan dan pikirkan. Jadi, daripada buang-buang waktu dan berdebat, lebih baik diam saja.

Ibu masih saja sibuk mengoceh tentang perusahaan orang Korea yang akan beroperasi di kota ini beberapa bulan mendatang. Mereka sedang gencar mencari karyawan. Ibu kenal dengan salah satu pimpinan di sana dan ibu dengan senang hati menerima tawaran beliau untuk merekrut aku yang sebentar lagi akan lulus. Aku yang duduk di bangku tengah hanya diam saja. Aku jauh lebih suka melihat-lihat jalanan yang kami lewati ketika naik mobil. Aku suka melihat-lihat rumah yang kami lewati dari stasiun menuju ke rumah. Kadang ada perasaan dejavu yang kurasakan ketika melewati bangunan atau gedung-gedung tertentu. Ada perasaan seperti familiar, dan aku merasa aku pernah menjadi bagian dari gedung-gedung itu. Aku masih menjadi bagian dari mereka. Perasaan yang selalu muncul tiba-tiba ini sulit dideskripsikan. Entah apa itu, tapi aku sangat menikmatinya. Ada kenikmatan tersendiri yang kudapatkan di sana.

"Mel?"

Aku tersadar dari lamunanku tentang bangunan-bangunan itu.

"Ngelamun, ya?"

"Enggak, Bu! Cuma lagi lihat-lihat bangunan tadi."

"Kamu dengerin Ibu bicara nggak, sih?"

"Denger, Bu."

Kudengar Ibuku mendengus kesal, disusul dengan omelan-omelan ringannya yang sudah biasa masuk telinga kanan dan keluar telinga kiri. Kuubah posisi dudukku. Kusandarkan punggungku ke sandaran jok mobil. Dari tempatku duduk aku dapat melihat ayahku diam saja. Matanya terkunci rapat ke arah jalanan.

"Melly, dengerin Ibumu bicara!" sergahnya dengan suara tegas.

Suaranya terdengar lebih ke arah intimidasi dan paksaan daripada ketegasan seorang ayah. Suaranya mengingatkanku beberapa bulan yang lalu. Di hari yang sama seperti hari ini; hari Jumat. Aku pulang ke kota ini dan Ibu tidak bisa menjemputku karena sedang sakit. Jadilah waktu itu hanya ayah yang menjemputku. Dia menjemputku dengan mobil. Aku duduk di tempat Ibu duduk sekarang, tapi dengan suasana yang berbeda. Ayah tidak banyak bicara. Aku pun sama. Terkadang aku tidak tahu apa yang harus dibicarakan dengannya. Aku tidak paham dengan dunianya. Dunianya terasa sangat jauh dariku. Waktu di mobil kala itu, aku lebih banyak memandang jalanan dari balik jendela. Satu yang kuharapkan waktu itu adalah: Ibu ada di sini.

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Sep 08, 2018 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

per-EMPU-anWhere stories live. Discover now