Namun Jimin menggedikkan bahunya, tanda dia tidak melaksanakan misi dengan baik.
"Aku hanya memberikannya. Bukan untuk mengobrol dengannya. Benar?" katanya.
"Pabbo" aku memukul kepalanya ringan.
Kupikir aku hanya menyebutnya seperti itu, bodoh. Tapi aku tidak tahu dia benar-benar bodoh. Dia memang sudah tahu nama gadis itu dari kartu di dompetnya. Tapi bodohnya, kenapa dia tidak bercakap-cakap sebentar dan menanyakan nomor teleponnya. Atau sekedar...'Boleh aku mengantarkanmu pulang?'
"Jangan menyia-nyiakan kesempatan, Pabbo" tambahku.
Dan tidak ada yang tahu, apakah kesempatan itu akan datang lagi. Jadi selama kesempatan itu ada di depan mata maka anggaplah itu sebagai kesempatan terakhir. Anggap saja hanya ada satu kesempatan sehingga kau akan berusaha keras untuk hal yang tidak akan datang lagi.
*****
Aku tidak sekelas dengan Jimin. Tentu saja, karena kami berbeda jurusan. Tapi aku selalu berangkat pagi bersama Jimin untuk menemui seseorang. Mmm...tidak selalu juga, tapi sering.
"Dia tidak mudah. Aku sudah membujuknya berkali-kali"
Aku meminta bantuan Jimin untuk membujuknya. Jika Jimin saja, sebagai juniornya, tidak bisa membujuknya lalu bagaimana denganku yang baru bertemu dengannya beberapa kali saat Jimin mengajakku.
"Hyungnim, ayolah"
Aku berada di basecamp jurusan music. Ya, photograph memang tidak ada kaitannya dengan musik. Tapi aku ingin melakukan segalanya yang mungkin bisa kulakukan.
Aku bergabung dengan tim ZzaCoo bersama Jimin selama dua tahun menjadi penari, di sekolah menengah atas. Dan aku ingin melakukan hal baru, photograph. Aku ingin menguasai semuanya. Sambil menyelam minum air. Selama waktu luang aku bisa belajar hal lain. Meskipun melelahkan di photograph tapi aku memiliki sedikit waktu luang untuk hal lain.
Agust adalah nama panggung seorang ahli di bidang ini, rap. Mungkin kalian pikir aku akan bernyanyi dari dunia musik ini. Tidak. Menyanyi juga hal bagus. Tapi rap lebih menantang bagiku.
Agust bukanlah orang yang mudah. Meskipun dia ahli tapi dia tidak ingin mengajarkan dan menularkan kemampuannya itu. Dengan alasan... Bukan karena dia akan menyimpan kemampuan dan bakatnya itu sendiri sehingga dia menjadi orang kaya seorang diri dari royalti yang didapatkannya. Dia hanya...malas. Ya, malas. Begitu juga saat ini. Apa yang sedang dilakukan seorang rapper jenius saat ini? Membuat lagu? Berlatih? Tidak. Dia hanya...tidur.
Ya, tidur. Dan sudah berapa jam aku disini menunggunya terbangun. Tiga jam? Entah. Tapi dia sempat membuka matanya sekali. Melihatku berada di sampingnya, dia menutup matanya kembali.
"Baiklah. Mungkin tidak sekarang, Yoon. Masih ada nanti, mungkin besok" aku berbicara di samping telinganya. Meskipin matanya tertutup, setidaknya dia tahu bahwa aku tidak menuerah, aku bersungguh-sungguh dengan niatku.
Yoon, atau Min Yoongi adalah nama asli si jenius Agust.
Aku terlalu lelah dan kesal. Jadi maafkan aku yang memanggil dengan nama aslimu tanpa rasa hormat, batinku.
Aku meninggalkan Yoongi, nama asli Agust, bersama mimpinya. Waktuku sudah habis karena tidak lama lagi kelasku akan mulai.
"Gagal lagi?"
Ejekan?
Aku bertemu Namjoon di depan pintu keluar dengan segelas kopi di tangannya.
Namjoon adalah sahabat sejurusan dengan Yoongi. Kenapa aku tidak memintanya untuk mengajariku saja? Dia juga hebat, tapi aku menginginkan Yoongi menjadi pendampingku. Maksudku, pendamping yang mengajariku bermusik. Yoongi berbeda, dia jenius jadi aku percaya dia punya caranya sendiri untuk membuatku menjadi jenius juga. Hahaha..
Ah, itu konyol. Lupakan !!
"Ide bagus" aku menjentikkan jariku, mendapatkan ide.
Agust tidur bukan karena dia malas, mungkin. Mungkin dia terlalu lelah dan mengantuk saat bekerja membuat musik sehingga aku selalu menemukannya tertidur di pagi hari. Jika aku memberikannya segelas kopi mungkin dia akan terjaga semalaman dan pekerjaan musiknya berjalan lancar. Setelah itu dia berterimakasih kepadaku dan dia setuju untuk mengajatiku dan merekrutku menjadi tim jeniusnya.
Wah, ide cemerlang. Keren.
"Hanya kali ini, hyung" lanjutku. Jika yang tadi itu ejekan, maka selanjutnya aku harus membuktikan kesuksesanku.
Hyung? Aku perempuan seharusnya oppa. Tidak. Aku hanya...hanya...tidak nyaman menyebutnya dengan sebutan 'op-pa'.
***
Hari ini kelasku selesai lebih cepat dikarenakan...apa yang dikatakan dosen tadi. Mmm... Entahlah. Lupakan.
Setelah selesai dengan kelasku aku bertemu dengan Jimin dan Jungkook, juniornya. Apa keberuntungan sedang menghampiriku? Ah, bukan aku. Tapi Jimin.
Aku melihat Lee Yoo Na tidak jauh dari tempatku dan Jimin mengobrol, dia berjalan bersama seorang gadis lain. Gadis yang tidak terlalu tinggi, tapi memiliki senyum menawan dengan memperlihatkan giginya.
"Lihatlah. Jangan sia-siakan kesempatan ini" aku menyenggol bahu Jimin agar melihat ke arah yang sama yang aku lihat. Lee Yoo Na.
Yoo Na semakin dekat ke arahku dan Jimin. Aku mendorong Jimin agar menabrak pada Yoo Na.
"Sorry" kata Jimin pada Yoo Na yang terkejut.
Setelah mendorong aku menutup wajahku dan berlari ke kelas yang...sebenarnya kelasku baru saja berakhir. Jadi...aku tidak tahu apa yang harus aku lakukan sekarang.
Aku berjalan mundur. Masih melihat Jimin dan Yoo Na disana. Aku percaya Jimin bisa melakukannya. Aku berbalik dan...tentu saja aku menabrak seseorang. Seorang pria tinggi di hadapanku. Tentu saja aku meminta maaf karena kecerobohanku.
"Sorry"
Untung tidak ada barangnya yang berceceran atau terjatuh yang menghambat rencanaku, khawatir Yoo Na akan melihatku.Dan aku segera pergi tanpa mendengar kata terima maaf darinya.
Aku tidak peduli. Kalau dia tidak menerima permintaan maafku, jangan membuat keributan yang menarik perhatian Yoo Na. Itu saja.
Tapi untungnya dia tidak mengeluh soal itu.
Aku berjalan sendiri. Hanya berjalan di kampus. Mengelilingi kampus besar ini. Sejujurnya, selama setahun ini aku belum sepenuhnya tahu dengan denah kampus ini. Maksudku aku tidak tahu bangunan fakultas apa yang baru saja aku lewati. Dengan banyak orang berjalan berbaris dan meneriakkan suaranya. Kemudian ada yang berbicara sendiri dengan suara berbeda dan raut wajah berubah-ubah. Apa dia bunglon yang bisa merubah ekspresinya pada setiap suara yang dikeluarkannya berbeda? Entahlah. Itu urusan mereka. Aku tidak tertarik.
Hingga...
Aku terpaku dengan seseorang dalam sebuah kelas, sendirian. Seorang pria tampan yang membuatku terpesona olehnya. Jika aku tadi telah mengatakan bahwa aku tidak tertarik, aku akan menariknya kembali. Haruskah aku juga belajar dengannya di kelas Acting?
Entah sudah berapa lama aku memandangnya. Hingga...
Seseorang menggangguku. Dia datang membuka pintu kelas itu."Mencari seseorang?"
Ya, aku mencari pangeranku.
Setelah tersadar...
"Ah, dimana kelasku?"
Sepertinya aku juga bisa berakting. Aku berpura-pura tersesat mencari kelas dan langsung pergi meninggalkan tempat itu.
Aku akan datang lagi, batinku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Black half Pink [Lisa X BTS]
FanfictionAku pikir hidupku penuh dengan warna merah jambu yang membuatku terus bersemu. Nyatanya setengah hidupku dipenuhi hitam yang menggelapkan. Highrank #407