Prolog

164 15 3
                                    

Gadis kecil itu menunduk sambil memeluk gundukan tanah yang berada tepat di depannya, seolah ia sedang memeluk manusia tak bernyawa yang ada di dalam gundukan tanah tersebut. Air mata gadis kecil itu tak berhenti turun sejak tiga jam setelah almarhumah ibunya dinyatakan meninggal.

Tangisannya makin deras saat melihat ibunya dimasukkan kedalam tanah merah, ia meraung raung tidak terima atas kepergian ibunya yang tiba tiba.

Sedangkan pria paruh baya yang tidak lain adalah suami sekaligus ayah dari gadis tersebut hanya terdiam menatap gundukan tanah tersebut.

"Mama-- hiks--hiks kenapa ninggalin Ara? Ara gak mau ditinggal Mama! Ara mau ikut Mama!" Teriak gadis kecil itu sejak tadi.

Gadis kecil itu masih saja menangis walaupun orang orang sudah mulai meninggalkan tempat itu, tentunya tidak dengan Papanya yang masih saja terdiam dengan tatapan nanar.

Pria itu kemudian menunduk mensejajarkan tingginya dengan tubuh sang putri, ia mengelus pundak putrinya.

"Ara, ayo pulang." Ajaknya lembut.

Gadis itu menggeleng kuat, "Ara mau disini Papa, Ara mau nemenin Mama. Ara gak mau Mama kesepian."

Senyuman miris muncul dari bibir pria itu, "Mama udah bahagia disana, Ara. Ara harus ikhlas. Nanti Mama sedih kalau Ara tidak ikhlas."

Sang putri mulai berdiri, gadis itu mengangguk. "Iya Papa, Ara bakal ikhlasin Mama. Asal Mama gak sedih."

Setelah itu keduanya meninggalkan tempat itu, mendekati kerumunan orang diluar tempat itu.

***

Kehidupan gadis kecil itu tidak seindah yang ia bayangkan, semua kehidupan harmonis keluarganya hilang begitu saja. Kehidupannya benar benar hancur sekarang.

Semenjak Mamanya pergi, Papanya selalu pulang larut malam. Dengan wajah yang lesu dan baju yang kusut. Tidak jarang Papanya marah karena ia menanyakan keadaan Papanya.

Hanya selang seminggu dari kepergian Mamanya, semua perhatian Papanya menghilang. Kebahagiaan yang seharusnya ia dapatkan tidak pernah menghampirinya.

Semuanya berubah.

Tidak ada lagi kecupan manis sebelum tidur dari Papanya.

Tidak ada lagi elusan di kepalanya saat ia sedang menangis.

Tidak ada lagi pelukan saat ia kedinginan.

Tidak ada lagi Papanya yang penuh kasih sayang.

Dan Ara rindu akan hal itu.

***

Abu AbuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang