Suara ayam berkokok membuat mata Adeeva terbuka sejenak, gadis itu meraba nakas di sebelah kasurnya untuk mengambil jam wekernya. Dengan mata yang masih setengah tertutup, Adeeva melihat waktu yang tertera di jam itu.
04.55
Adeeva menguap, saat dirasa masih cukup untuknya melanjutkan tidur, gadis itu kembali menarik selimutnya hingga menutupi seluruh tubuhnya. Suhu ruangan yang semakin dingin membuat Adeeva sangat nyaman berada dalam selimut tebalnya, gadis itu meringkuk di dalam selimut.
DOR DOR DOR
Suara pintu yang dipukul secara tiba tiba membuat Adeeva kembali membuka matanya dan menatap pintu kamarnya dengan bingung.
"Siapa si?" Tanyanya pada diri sendiri.
Adeeva melangkahkan kakinya mendekati pintu kamarnya dengan lemas, seolah nyawanya masih tertinggal di tempat tidur.
Tepat setelah pintu kamar terbuka. Papa Adeeva muncul dengan wajah yang memerah, seperti menahan amarah. Di tangan pria paruh baya itu terdapat selembar kertas.
"Apa ini, Ara!? Surat peringatan lagi!? Baru saja naik kelas, dan kamu sudah membuat ulah!?" Bentaknya dengan mata yang menajam, tatapan tajamnya masih tidak lepas dari Adeeva.
Adeeva yang awalnya sempat terkejut, kembali bisa mengatur ekspresi wajahnya.
Ia menatap Papanya datar, "Dapat darimana?"
"Tidak penting darimana, jika Papa sekali lagi mendapat surat peringatan ini. Papa tidak akan segan segan untuk memindahkan kamu ke sekolah pilihan Papa."
Adeeva terdiam, seolah mendengarkan kata-kata Papanya. Ia hanya tidak ingin repot repot berbaur lagi dengan sekolah barunya nanti.
"Ya."
Papanya menghela napas berat, "Hari ini Papa antar kamu ke sekolah."
Setelah itu Papanya pergi meninggalkan Adeeva yang tidak memiliki pilihan untuk membantah ucapan Papanya itu.
Meskipun itu adalah surat peringatan untuk Papanya agar datang, namun tetap saja bukan Papanya yang datang melainkan Bi Ina.
Papanya hanya tinggal menelepon kepala sekolah Adeeva, yang tidak lain adalah teman SMA Papanya. Maka hal semacam itu dapat dimaklumi.
***
Hening.
Satu kata yang mendeskripsikan mobil yang berisi anak dan ayah di dalamnya itu.
Keduanya sama sama diam. Tidak ada yang ingin memulai pembicaraan.
Keduanya terlarut dengan pikiran masing masing.
Hanya suara pendingin mobil yang terdengar di dalam mobil itu, seolah menjadi saksi bisu untuk pertama kalinya setelah sekian tahun Papa Adeeva mengantar putrinya.
Hingga mobil yang dikendarai berhenti tepat didepan sekolah Adeeva. Tatapan Adeeva masih lurus memandang kedepan, baru saja ingin membuka seat belt, tiba tiba suara Papanya terdengar.
"Jika kamu tidak bisa buat Papa bangga, setidaknya jangan buat Papa malu." Tegas Papa Adeeva.
Adeeva diam, hanya sibuk membuka seat belt lalu tangannya beralih ke pintu mobil.
Clekk
Pintu mobil terbuka, gadis itu turun dari dalam mobil, tapi sebelum itu ia membalikkan badannya menghadap Papanya, menatap dalam dalam wajah Papanya.
"Jika kamu tidak peduli kepada saya, setidaknya jangan menuntut banyak."
Papanya menutup matanya sejenak, pria itu merasa seperti direndahkan oleh anaknya sendiri.
KAMU SEDANG MEMBACA
Abu Abu
Teen FictionGue bakal mati kalau lo gak ngasih senyum lo pagi ini. -Ghifari Devana Siapin kuburan lo. -Adeeva Alfarani