Langkah Kecil Penyambung Asa

46 1 0
                                    

Di tengah langit senja yang kian memerah, dengan tiupan angin pantai yang beralun merdu berbisik tentang keheningan, sore itu aku duduk sendiri melamun ditengah hamparan pasir ditepi pantai. Tersentak kaget ketika seorang bocah laki-laki memanggilku dengan kelembutan.

“Kak, mau beli kerupukku, hanya sepuluh ribu saja, ini terbuat dari ikan laut yang segar, ibuku yang membuatnya, ini terbebas dari formalin, dan terjamin sehat, kakak bisa mempercayaiku.”

Ia mengucapkan kalimat demi kalimat dengan mata sayu yang penuh harapan agar aku percaya dan segera membelinya.

“Benarkah, ini pasti sangat lezat, pasti ibumu sangat hebat dalam membuat kerupuk”.

Aku mencoba mengiyakan semua perkataannya, kupuji ia agar tak ada rasa kecewa didalam hatinya hingga melumpuhkan semangatnya, sangat tak tega bila aku harus mematahkan dahan yang baru ingin tumbuh ini, tak tega jika aku harus melihat air matanya jatuh dipipi yang berseri iyu, meski dikedalaman hatiku, aku tak percaya padanya, jika ia disuruh ibunya untuk menjual semua kerupuk itu dan itu semua adalah buatan ibunya.

Aku tak yakin seorang ibu dapat menyuruh anak kecil yang seharusnya berada dirumah, bermain ataupun belajar, harus berkerja keras memikul kerupuk ditengah luasnya jalan kehidupan ini. Kulihat kerupuk yang ia pikul dengan sebilah kayu , sekitar 12 buah plastik kerupuk berukuran sedang dipikulnya. Anak ini terlihat kecapaian bukan karena kerupuk itu berat, tapi karena ia sudah berjalan sangat jauh. Tubuhnya yang kecil dengan mata sayu dan rambutnya yang semeraut, kulitnya hitam kemerahan karena terik matahari. Terlihat sekali ada beban besar dihadapannya, beban yang tak seharusnya ia temui diusianya.

“Kalau kakak yakin ini enak, kakak harus mencobanya, aku yakin besok kakak pasti mencariku lagi, karena ketagihan,” ia meyakinkanku, seolah ia adalah pedagang yang handal dalam berdagang dan melayani pembeli.

“Baiklah, kakak akan membelinya satu, tapi, kakak ingin meminta satu permintaan padamu.”

“Apa itu?” ia sedikit kebingungan melihatku dengan penuh tanya.

“Kakak ingin ikut kamu berjualan, jika nanti terdapat banyak sisa, kakak akan membeli semuanya.”

“Mengapa kakak ingin membantuku? Kakak tidak mempercayaiku bahwa aku bisa menjual semua kerupuk ini sendirian? Tubuhku memang kecil tapi aku punya jurus sendiri untuk meyakinkan mereka kak,” ia menjelaskan dengan penuh percaya diri padaku, seolah ia adalah seseorang yang telah mahir berjualan.

“Tidak, tidak, kakak percaya padamu, kakak hanya bosan dan sedang ingin melakukan sesuatu.”

Entah akupun tak tahu, alasan apa yang membuatku ingin membantu bocah kecil ini, kasihan atau sekedar ingin tahu kebenaran darinya, tapi jujur aku malu padanya, semangat juang yang tinggi, serta keramah tamahan yang ia bentuk dengan kepolosan membuatku merasa menjadi sehelai bulu yang tak berarti, ia membuatku menjadi manusia yang tak mensyukuri hidup karena aku yakin ia melakukan ini semua atas alasan yang cukup rumit, jalan hidupnya yang terjal mungkin memaksa ia untuk melakukan pekerjaan yang semestinya belum ia temukan di usianya. Ada keingintahuan dihatiku atas apa yang sebenarnya terjadi pada bocah lugu ini.

“Kak, jadi? Ayo ke sana ke Taman Sport Center ya,” ia menarik tanganku, dan menghepas lamunanku yang memandangnya dengan penuh tanya.

“Jadi, sini berikan separuh kerupuk itu, kita lihat siapa yang lebih jago dalam berjualan,” pintaku kepadanya dengan sedikit ledekan kecil, ia memberikan padaku dengan wajah yang tertantang. Kamipun beranjak dari tempat duduk menuju keramaian di Taman Sport Center, dengan langkah penuh arti, menampak semangat di tengah hamparan pasir.

“Siapa namamu dik?” sapaku ditengah langkah kami yang sedikit beriringan.

“Senja,” jawabnya singkat.

Langkah Kecil Dibawah Langit SenjaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang