• 38 •

47K 4.6K 848
                                    

El terdiam sejenak menatap bangunan bernama 'Luscious' di hadapannya ini. Dia rindu kerja di sini. Dia rindu orang-orangnya. Suasananya. Semuanya.

Vano menepuk pelan punggung El. Pemuda itu tersenyum lembut, mencoba untuk menenangkan diri si pemuda kecil. El gugup karena sudah lama tidak ke sini. Dan dulu, dia sendiri seperti menghilang begitu saja. Tidak memberi kabar apapun. Entah, apa Orly memberi tahu keadaannya pada orang-orang di sini atau tidak.

Saat dia menghilang, orang-orang yang bekerja di sini pasti khawatir. Apalagi Diran. Dan sekarang, tau-tau dia datang dalam keadaan bertangan satu seperti ini.

"Ayo, El. Gapapa," ujar Vano menenangkan.

El mengembuskan napas perlahan, lalu mulai melangkah. Dengan ragu, pintu kaca itu ia dorong ke dalam. Suasana hangat, menyentuh kulitnya. Gelak tawa pelan dari beberapa pelanggan. Bau harum masakan yang menggugah selera. Iringan musik klasik yang menenangkan hati. Ah, El rindu semua ini.

"Selamat datang--eh?" Tya tertegun menatapnya. Lalu, sedetik kemudian, El sudah berada di dalam pelukan gadis itu.

"Lo kemana aja, anjir? Kenapa baru datang sekarang?" Pelukan itu mengerat. El tersenyum pelan dan menepuk-nepuk punggung gadis itu.

"Gue ngga kemana-mana," ujar El.

"Tapi, kenapa lo ngga pernah dateng lagi?"

"Maafin gue."

Pelukan itu dilepas. Tya memegang pundaknya dengan penuh harap, "Lo bakal kerja di sini lagi, kan?"

El tersenyum miris dan menggeleng, "Gue ngga bisa," bisiknya pelan.

"Kena--" ucapan itu terhenti. Tatapan matanya tertuju pada satu titik. bibir Tya terbuka. Tangan kirinya yang bergetar, menyentuh lengan kanan El yang hanya separuh. Mata gadis itu berkaca-kaca, "Lo kenapa? Lo ngapain aja selama ini, El? Tangan lo kenapa?"

"Ssshhh, hei," jemari El mengusap tetesan bening yang mulai keluar dari mata itu, "Jangan nangis," bisik El pelan, "Gue ngga apa-apa."

Di belakangnya, Vano bersedekap dada. Bibirnya melengkung tipis karena tau seberapa besar orang-orang yang bekerja di sini, menyayangi lelakinya.

"Ngga apa-apa dari Hongkong?!" Air mata Tya menderas. Dia cukup tau, bahwa hidup El tidaklah bahagia. Itulah kenapa, dia selalu murung dan menutup diri. Lalu, kenapa bisa pemuda kecil ini malah kehilangan bagian dari anggota tubuhnya? Kenapa nasibnya begitu malang? Hampir setahun mereka tidak bertemu, apa saja yang sudah terjadi pada pemuda ini sebenarnya?

"Tya, lo ngga cocok nangis. Hei," El menepuk pelan pipi yang basah itu, dan menatapnya sambil tersenyum tipis, "Gue ngga apa-apa. Lihat," telunjuk El menunjuk ke arah wajahnya sendiri, "Gue senyum."

Tapi, itu malah membuat tangisan gadis itu semakin mengencang. Beberapa pelanggan mulai memperhatikan mereka, dan berbisik. Bahkan, ada yang mulai beranjak dari duduknya karena khawatir jika gadis itu diapa-apakan oleh El. Tapi, sebelum mereka sampai, Edo--yang sebenarnya juga kaget melihat kedatangan El--menghampiri mereka dan membawa kedua orang itu untuk masuk ke dalam ruangan khusus staff.

Alvano sendiri lebih memilih untuk mendudukkan dirinya di salah satu meja yang ada di sana. Tidak berniat untuk ikut masuk mengekori si kecil itu. Biarlah El memuaskan rasa rindunya pada tempat dan orang-orang di sini.

"Bersyukurlah karena Diran ngga masuk kerja hari ini. Kalo dia masuk, udah abis lo diapa-apain sama dia, El."

Itu adalah ucapan pertama yang keluar dari mulut Edo begitu mereka masuk ke ruang khusus staff. El hanya tertawa pelan mendengarnya. Yang mana, membuat tangisan Tya terhenti tiba-tiba dan Edo yang menatapnya tak percaya.

Happiness [SELESAI] ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang