Bonus +++++

31K 2.8K 584
                                    

Seharusnya saya upload chapter ini pas saya tau Hepines dapet 1 juta views waktu itu, tapi saya lupa :" terima kasih untuk kak baek-baekaja yang selalu ingetin saya. Juga, chapter ini saya post untuk membagikan kebahagiaan yang sedang saya rasakan karena KAPAL CHANBAEK SAYA LAGI BERLAYAR DAN SEMAKIN DI DEPAN T.T

Semoga kalian suka~

_______________________________________

Kelopak mata itu membuka dengan perlahan. Menatap langit-langit kamar yang gelap karena lampu kamar tidak menyala. Tangan kirinya bergerak menyentuh dahi. Mengedip beberapa kali, dan menoleh ke samping. Ke arah sisi ranjang yang kosong dan dingin. Tubuhnya bergerak untuk duduk. Melirik jam dinding yang menunjuk pukul dua dini hari. Kemudian, mengembuskan napas pelan.

Selimut yang membungkus dirinya, disibak. Telapak kaki bertemu dengan lantai yang dingin. Manik biru melirik tempat tidur Poppy yang kosong. Lalu, beranjak dari ranjang dan melangkah. Membuka pintu kamar. Mendapati lorong menuju ruang keluarga memantulkan cahaya tipis. Dengan tangan kiri yang sibuk menyisir rambut kecokelatan miliknya, ia melangkah perlahan melewati lorong. Menuju ruang keluarga yang lampunya juga mati, namun televisi di sana menyala dengan volume suara yang pelan.

Tangan itu beralih menyentuh sandaran sofa. Manik biru menatap kekasihnya yang tengah berbaring di sana dengan kedua mata yang tertutup rapat. Raut lelah tergambar jelas di wajah tersebut. Tubuh tingginya masih terbungkus pakaian yang ia gunakan sejak tadi pagi. Lalu, sepasang matanya mengedar ke sekeliling ruangan. Mencari buntalan bulu hidup berwarna hitam yang tidak berada di kamarnya. Oh, itu dia. Menggelung di depan rak buku mereka.

Helaian hitam milik sang kekasih, ia usak dengan lembut, "Vano," bisiknya pelan. Jemari bergerak turun menuju pipi. Manik biru menyorot lembut. Tak tega sebenarnya untuk membangunkan pemuda ini, namun tubuhnya akan sakit jika ia tetap tidur di sofa.

"Van, pindah yuk," ujarnya lagi. Menepuk-nepuk pipi itu dengan pelan. Memperhatikan dengan lekat, ketika dahi itu mengerut samar. Mengerang, dan membuka kedua matanya. Ia mengerjap. Menatap El. Kemudian, dengan cepat, langsung terduduk.

El sendiri kaget dengan gerakan cepat itu, "K-kenapa?" tanyanya bingung.

"Suara tv nya bikin kamu bangun, ya?" tanya Vano cemas.

"Hah?" Dahi El mengerut. Lalu, menggeleng, "Enggak kok. Ngga kedengeran sampe ke kamar juga," balasnya, "Kamu pulang jam berapa? Kenapa ngga tidur di kamar?"

Desah napas lega keluar dari sela bibir Vano, "Terus, kenapa kamu bangun?"

"Ya ..." Dahi El kembali mengerut, "Ya, bangun aja. Emang aku ngga boleh bangun?" tanyanya sewot.

Vano refleks terkekeh. Menangkup pipi putih itu dengan kedua tangannya. Merasa gemas akan balasan tadi.

"Ayo, ke kamar," ajak El begitu pipinya lepas dari tangan Vano.

"Kamu duluan aja. Aku mau nyelesain laporan bentar."

Kedua mata itu melebar. Sorot mata El menajam, "Apa? Ulangi."

"A-aku mau mandi dulu," elak Vano sambil beranjak berdiri.

Sorot tajam itu tidak menghilang, "Mandinya ngga usah pake lama."

"Iya, Sayang."

Remote televisi di ambil. Benda elektronik itu dimatikan. El beranjak duluan menuju kamar mereka, sementara Vano pergi menuju kamar mandi. Tubuh itu kembali berbaring di ranjang. Menatap ke arah langit-langit kamar, kemudian menoleh menuju jendela kamar mereka yang tidak ditutup. El terlalu malas untuk bergerak lagi, dan menutup jendelanya dengan gorden. Jadi, biarkan saja.

Happiness [SELESAI] ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang