5

1.4K 370 2
                                    


Matanya menatap ponselnya penuh harap. Mengharap notifikasi dari aplikasi chat muncul dengan nama Changbin tertulis di atasnya. Menanti dan menanti di antara suara jam yang berketak-ketik. Padahal hanya terlambat sepuluh menit karena Changbin sibuk dengan tugasnya, tetapi mengapa jantung Felix terasa berdesir?

Adalah jarak yang semakin lama semakin berusaha dieliminasi. Mungkin Felix punya kesempatan. Mungkin perasaan seseorang dapat dijungkirbalikkan dengan sedikit dorongan. Mungkin. Karena itulah ia turut mencoba menghubungi Changbin saat pemuda itu tidak bersamanya. Mengobrol dengan Changbin adalah caranya untuk melipat jarak, mengingat Changbin adalah kawan mengobrol yang menyenangkan dan apapun tentang pemuda itu selalu membuat perasaannya menghangat.

Felix seperti berjalan di atas api pada sebuah labirin. Ia tidak tahu harus ke mana, tidak tahu di mana labirin ini menuntunnya. Hanya ada api yang menjilat-jilat sepanjang jalan, menari-nari di bawah kakinya. Napas Felix tertahan. Satu-satunya hal yang membuatnya terus melangkah adalah keyakinannya bahwa Changbin telah menanti di ujung jalan. Jantungnya berdegup, karena menanti Changbin mengingat api tak lagi membuat Felix menciut.

Kakinya telah lepuh—meleleh dilalap api. Nyeri dan bau hangus menyerbak. Kakinya telah mencapai batas dan mereka meraung tak sabar, 'Mau sampai kapan kau berjalan di atas api?'.

Tidak ada yang tahu. Termasuk Felix. Ia hanya berjalan mengikuti kata hati.

.

.

.

"Fel, kok bengong?"

Mengerjap, dirinya. Mendapati dirinya terbengong terlalu lama. Hal pertama yang dilihatnya adalah Changbin dan motornya. Tubuh Changbin yang kali ini berbalut jaket warna gelap alih-alih jaket jurusan. Senyum Changbin saat melihat dirinya mengerjap kebingungan, baru saja kembali dari dunia. Pikirannya merambat ke mana-mana, terlupa jika yang ada di hadapannya adalah orang yang paling ia sayang.

"... ya Kak?"

Matanya mengerjap lagi. Changbin kali ini terkikik gemas. Tangan pemuda itu terulur, membelai helai-helai di pucuk kepala Felix dengan lembut. Kembali jantungnya berdentum di dalam kungkungan rusuk, membuat ujung sepatunya bermain-main di tanah dengan lucu.

"Naik, buruan. Nanti filmnya keburu mulai."

Felix bedeham sebelum melangkah mendekat. Kakinya naik, duduk tepat di belakang Changbin di jok motor. Matanya sekali lagi melihat Changbin dan senyumnya, tersuguh untuknya sebelum pemuda itu menyalakan motornya. Senyum Changbin selalu mengingatkannya akan semilir angin saat mereka bersepeda pertama, menyenangkan dan ringan.

Felix tidak keberatan berjalan di atas api lebih lama.

firewalking. ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang