Udara terasa berat, panas dan lembab. Ratna merasakan air mata membasahi pipinya dan hampir tercekik oleh amarahnya sendiri karena bersikap begitu lemah membiarkan situasi ini membuatnya menangis. Akandra, pria berusia dua puluh lima tahun memaksa Ratna untuk mengaborsi jabang bayi yang ada di dalam rahimnya. Keadaan memaksa mereka untuk bertukar pikiran dengan menggunakan amarah sebagai ujung tombak untuk membahas topik yang harus mereka bicarakan.
Sesekali barang-barang yang tertata rapi di atas meja menjadi korban atas rasa amarah yang bercampur dengan dilema yang menjebak mereka berdua sekaligus.
Di satu sisi, mereka-terutama Akandra-merasa harus mengaborsi anak yang masih sepuluh minggu berada di dalam kandungan karena jarak kelahiran yang terlalu dekat dengan anak pertama mereka yang masih berumur satu tahun. Di lain sisi, tidak mungkin seorang ibu rela mengaborsi darah dagingnya sendiri, walaupun umur janinnya masih sepuluh minggu, namun Ratna tahu jika si jabang bayi ini sudah bisa membuka kelopak matanya-yang berarti dia sudah memiliki kesadaran. Ratna berusaha memberi penjelasan kepada Akandra jika mereka tidak bisa melunasi hutang mereka, bukan berarti mereka tidak dapat membesarkan kedua anak mereka yang umurnya hanya terpaut satu tahun dan bukan berarti juga kalau mereka harus melakukan aborsi. Akandra, seperti namanya, dia tetap bersikeras untuk mengaborsi anak tersebut. Dia menggunakan alasan "Jika bayi tersebut dilahirkan maka akan ada malapetaka" sebagai alibinya.
"Tidak Mas ! Ini darah daging kita !" sekali lagi, pribadi feminimnya keluar dan membuatnya terpojok dengan air mata yang terus saja mengalir dan bercampur dengan keringat yang membasahi pipinya yang merona.
Akandra sebenarnya tidak tega melihat istri tercintanya yang dulu dikenalnya sewaktu SMA menangis, terpojok. Perlahan, rasa yang berkecamuk di dalam hatinya membuat air matanya jatuh karena ketidakmampuannya menjadi ayah sekaligus suami yang baik. Dia duduk dengan kedua tangan memeluk kakinya di pojok ruang tamu, posisi duduk yang menunjukkan bahwa seseorang sedang mengalami depresi.
Dengan langkahnya yang sedikit terhuyung, Ratna mendekati Akandra, berusaha menenangkan suami terbaiknya.
"Mas, apapun yang akan terjadi nanti, kita serahkan saja kepada yang di atas. Kita tidak berhak menghakimi takdir dan merasa bahwa diri kita tidak mampu. Masih ingat kan ? Janji kita di halte saat kita sedang menunggu hujan reda. Aku masih ingat betul, dulu kita pernah berjanji untuk tetap berusaha menghadapi ujian-ujian yang pasti datang menyambar bagai petir,--" belum sampai ia selesai mengingatkan Akandra, "Dan kau akan menjadi air ketika aku menjadi api. Dengan apa yang kita miliki, kita harus bisa tersenyum dan saling memberi kebahagiaan. Aku masih ingat Ratna, aku juga masih ingat betul ketika hujan sudah reda kita berharap agar hujan kembali turun dan memberikan waktu yang lebih lama bagi kita untuk bersama" dengan tangannya yang menggerai dan membelai rambut ikal Ratna, akhirnya Akandra tersenyum, sedangkan air matanya semakin deras mengalir karena rasa harunya. Perlahan, depresinya akan tuntutan hutang yang hampir membuatnya melakukan tindakan tidak manusiawi memudar dengan senyuman Ratna sebagai secercah harapan baru.
Hari semakin larut, semilir udara yang masuk melalui fentilasi semakin dingin terasa. Sejuk sekaligus tenang, adalah suasana yang tiba-tiba muncul, menyela sekaligus meraibkan suasana tegang. Cahaya padhang bulan kembali terasa, menghilangkan kegelapan yang hinggap di dalam lubuk hati Akandra.
Akandra dan Ratna berdiri. Tegap, karena mereka berdua baru saja meraih kemenangan atas perlawanan mereka melawan keputusasaan.
"Baiklah, maafkan aku.. aku tidak pernah ingin membuatmu menangis Ratna, tapi,--"
"Ssstt, sudah, aku berharap setiap cobaan yang kita hadapi akan membuat kita semakin kuat" Ratna memotong ucapan Akandra dengan menempelkan jari telunjuknya ke bibir bagian bawah milik Akandra "Aku mencintaimu" lanjutnya.
"Aku lebih mencintaimu" Akandra memeluk Ratna, penuh kasih sayang dan kelembutan agar si jabang bayi tidak terganggu.
"Eh ngomong-ngomong, kok aku kayak dengar suara bayi menangis ya ?" Ratna memecah kesunyian. Fey, bayi pertamanya sedang menangis karena tidurnya terganggu.
"Iya, jangan-jangan bayinya mau lahir"
"Ihh, itu suaranya Fey !"
Mereka berdua bergegas ke kamar untuk menenangkan bayinya.
---------
Barang-barang yang berantakan menjadi saksi bahwa manusia tidak sepatutnya menghakimi takdirnya sendiri. Bulan purnama ternsenyum, sedikit menyeringai atas keberhasilan mereka melewati satu, dari banyak sekali ujian yang diberikan oleh Tuhan. Sama halnya dengan malaikat-malaikat, mereka bersenandung karena cinta yang akarnya masih kuat menancap di dalam hati Akandra dan Ratna, si jabang bayi tersebut telah menjadi bayi anti aborsi.
Bayi anti aborsi yang kelak diberi nama Senja Rissatria, akan menjadi seorang perempuan yang memiliki kisah cinta yang tak kalah melankolisnya dengan kisah cinta kedua orang tuanya, bahkan, kisah cinta Senja akan menjadi kisah yang lebih membingungkan dari rumus matematika yang penuh dengan angka-angka tak beraturan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Fajar dan Senja
RomanceHal-hal penting di dunia ini selalu terjadi secara kebetulan. Senja adalah seorang gadis berumur delapan belas tahun yang tidak mengerti banyak hal. Satu hal yang benar-benar ia mengerti adalah tidak ada satu orang pun di dunia ini yang benar-benar...