Freesia - 1

56.6K 2.3K 42
                                    

Kupikir dari dulu aku tidak pernah membayangkan akan menikah di usia yang cukup muda ini, jangankan membayangkannya kemarin saja aku masih betah menikmati statusku menjadi perempuan lajang yang berbahagia.

Mungkin jika menghadiri pernikahan teman atau sodara yang terlontar hanya,

"Masih saja betah melajang?"

Yah, karena mereka tahu bahwa aku memang belum tertarik menghabiskan waktu dengan seorang lelaki meski sebatas berpacaran. Aku sedikit bersyukur karena bukan kalimat, "Kapan nyusul?" yang mereka lontarkan, karena setidaknya aku tidak akan mendengus di belakang mereka.

Di usiaku yang baru genap 23 tahun belakangan ini memang tengah gencar-gencarnya menghabiskan waktu untuk bekerja mengumpulkan uang dan sisanya memenuhi nafsu berbelanja atau sekedar makan di tempat bergengsi, serta tengah ancang-ancang mewujudkan cita-cita kecilku memiliki sebuah toko bunga dengan namaku sendiri. Freesia Calla.

Namun sesuatu hal terjadi diluar kendali, perusahaan ayah yang memang sudah tergelincir semenjak setengah tahun lalu terancam gulung tikar andaikan saja aku tidak mau menikah dengan putra pertama seorang konglomerat yang sudah terkenal dengan sifatnya yang sedikit menyebalkan. Kudengar pria itu berusia 29 tahun.

Di sinilah aku berada, menangis sesenggukan di dalam kamar mandi setelah pernikahan usai digelar. Aku tidak memikirkan keberadaan lelaki yang baru siang tadi kuketahui bernama Zan Hopper yang sekarang sudah resmi menjadi suamiku. Rasa-rasanya aku belum ikhlas meninggalkan status lajangku yang sebelumnya merdeka.

Tok tok tok

"Freesia, buka pintunya."

Ketukan diiringi suara berat dan serak itu berhasil membuat tubuhku bergetar, aku takut menghadapi pria tinggi besar bermata tajam itu. rasa-rasanya aku ingin tenggelam saja, namun kulirik bak mandi yang sudah tidak berair itu hanya setinggi lutut orang dewasa. Kupikir jika aku mati di sana, akan sangat menyakitkan karena tenggelam saja tidak mampu membuatku mati seketika, terlebih bayangan kedua orang tua yang sangat menyayangiku akan menangis tersedu-sedu dan kakakku Dylan akan tersenyum di sela-sela kesedihannya karena dirinya tidak perlu melunasi hutangnya yang sudah tidak terhitung dalam lamunan. Untung saja aku selalu mencatat setiap kali dirinya meminjam uangku untuk membayar parkir.

Aku memutar kunci kamar mandi dan membukanya, menyembulkan kepalaku yang basah sebab baru beberapa menit yang lalu aku keramas. Sedikit kaget saat mendapati dada bidang laki-laki yang hanya terbungkus kaos tipis berwarna putih gading.

"Ya?" hanya kata itu yang terucap dari mulut, aku sendiri bingung harus menyahutinya seperti apa lagi.

"Sudah 1 jam lebih 43 menit 27 detik kamu berada di kamar mandi," katanya sambil melirik jam tangan mahal yang ada di tangannya. Aku menegapkan tubuhku, merapatkan jubah mandi berwarna putih yang kupakai ini.

"Kau menghitungnya?" aku merutuki mulutku, kebiasaan.

Kulihat dirinya menganggukan kepala, tangannya menahan tubuhnya di tembok. Aku merasa ciut berada di sampingnya seperti ini, meski tubuhku tinggi namun tidak cukup untuk menyamai tingginya yang menjulang. Kurasa tinggiku hanya sebatas dagunya saja.

"Pakai pakaian tidurmu, izinkan aku masuk ke dalam untuk membersihkan diri."

Aku mengangguk cepat, keluar sepenuhnya dari kamar mandi dan memperhatikan pintu yang sekarang sudah tertutup rapat. Aku mengelus dada yang sejak tadi berdetak kencang, aku baru saja mandi bukan lari marathon namun tampaknya jantungku sekarang tidak bisa membedakannya. Aku cepat-cepat berlari menghampiri lemari dimana mama sudah menyiapkan pakaian tidur untukku.

Ralat—pakaian macam apa ini?

Mataku melotot dengan mulut setengah terbuka, lemari hanya terisi lingerie yang kupikir sedikit keterlaluan. Jika aku memakainya mungkin tidak ada bedanya aku yang hanya memakai bra lengkap dengan celana dalamnya saja, astaga mama beginikah bentuk kasih sayang pada anak bungsumu?

FREESIA (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang