Good News.
Kyai Rais mengumumkan bahwa liburan ebaran bisa dimulai lima hari lagi. Semua santri reflek bersorak gembira begitu mendapat liburan yang menanti berdurasi lebih dari dua minggu. Dan di antara ramainya kabar gembira tersebut mendadak ada yang berteriak dari bawah tangga.
"Hanna!"
Yang dipanggil menoleh. Ia baru saja selesai menggantung mukena setelah kembbali dari masjid. Seorang santri yang tengah sibuk mengangkut ember dari lantai bawah ke atas itu berdiri sejenak.
"Dipanggil Kyai Rais."
Demi mendengar nama yang terkenal seanter pesantren itu, Hanna terkesiap lantas segera mengenakan keruudng sambil berdiri menuruni anak tangga. Ia berjalan sigap semari merapikan lengan baju yang sebelumnya ia singsingkan hingga siku.
Dalem. Itulah sebutan rumah Kyai di pesantren. Tempat dimana Kyai Rais tinggal, menerima tamu yang kerap kali datang, serta satu kata mengerikan bagi para santri. Sidang.
Hanna menengok ke dalam ruang tamu dalem yang pintunya terbuka lebar. Di sana ia melihat Kyai Rais yang tengah duduk bersila memainkan android sambil bersandar pada dinding. Di samping beliau ada seseorang wanita muda yang sibuk menenangkan putranya-yang tak lain adalah putra Kyai Rais itu sendiri.
Kyai Rais adalah Kyai separuh baya yang terbilang modern. Dengan pembkaan ilmu agama yang luar biasa, juga kepiawaian akademik. Seorang Kyai yang sangat cinta pada santri-santrinya, sehingga ada saat dimana beliau tak sampai hati membebani hukuman berat pada mereka.
Kyai Rais, Kyai muda dengan anak kembarnya yang baru saja menginjak masa TK.
"Assalamualaikum."
Hanna merundukkan badan. Kyai Rais menjawab salamnya dengan tatapan teduh, kemuadian meminta Hanna untuk masuk. Tanpa perlu memerintah dua kali, Hanna segera berjalan bertumpu lutut dan menghadap beliau.
Aku tidak pernah punya kasus. Kenapa aku dipanggil?
"Hanna," Kyai Rais tersenyum, seperti gei melihat salahsatu santrinya ini grogi menghadap. "Kamu pulang?"
Spontan Hanna mengangguk. Sudah pasti lebaran harus pulang.
"Sama siapa?"
Hanna mendadak teringat sesuatu. Ada yang ia lupakan selama tiga tahun ini ia antar-jemput bersama Zakia. Zakia adalah temannya sejak kecil dan masih terhitung sepupu dari istri Kyai Rais. Sementara itu, Zakia tidak mengikut program pondok ramadhan di sini. Ia pula sudah pulang ke rumah sejak malam haflatul wada kemarin. Hingga tinggallah Hanna sendiri yang tak tahu liburan nanti hendak pulang sama siapa.
Hanna menggigit bibir. Mngkin ini kesempatannya utnuk pulang sendirian.
"InsyaAllah, sendirian, Yai."
Kyai Rais mengangkat alis seperti tak percaya. "Sendirian?"
"InsyaAllah."
Sebenarnya Hanna tak begitu yakin keputusannya kali ini. Ia belum pernah pulang sendirian. Lagi pula kampung halamannya berada di Jombang. Sedangkan kini ia di Bogor.
Kyai Rais mendesah berat "Naik kereta?"
"Iya,Yai."
"Hanna," Kyai Rais menatap cemas, jiwa kebapakannya memancar. "Aku sewain travel,ya. Aku khawatir, kamu masih teralu belia."
Hanna terbelalak, serius?
"Jangan,Yah." Bunda Irya- sebutan untuk istri Kyai Rais tiba-tiba menyanggah, menyentuh lengan suaminya. "Besok kita kan ke Kediri. Nanti bisa berhenti di rumah Zakia di Jombang."
Kyai Rais tertawa, "Astaghfirullah, aku lupa." Beliau memiijit pelan keningnya yang resik. "Begini saja, Hanna. Berhubung besok kami sekalian ke Jombang, dan rumah kamu sama Zakia dekat, kamu beso pulang bersama kami saja. Mau?"
Bagai mendapat rejeki nomplok, Hanna seketika berwajah cerah lantas mengangguk cepat. Siapa pula yang tidak menerima tawaran langka. Pulang bersama Kyai dalam satu mobil dan itu, lebih cepat empat hari daripada santri lainnya.
Beruntung.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Hannania
RandomTentang cinta Tentang perbedaan Tentang ukhuwah Tentang menerima dan melepaskan.