Pernyataan

189 17 5
                                    

—Lesley's POV

        Tidak terasa bahwa liburan musim panas sudah berakhir. Setelah menyiapkan peralatan sekolah yang akan dibawa pada esok hari, ku rebahkan tubuhku di atas ranjang sembari menatap langit-langit kamar yang berwarna putih polos dalam diam. Benakku kembali memutar memori liburan musim panas kemarin.

        Jujur saja, liburan kali ini terlampau aneh karena Gusion yang selalu memintaku untuk menemaninya setiap hari; baik hanya sekedar makan malam bersama, menonton film di bioskop, jogging di pagi hari, dan masih banyak lagi. Ia yang biasanya mengabiskan liburan di Amerika untuk mengunjungi ayahnya kali ini hanya menetap di London. Anehnya lagi, kedelapan sekawan lainnya tidak ada yang mengajakku untuk berlibur bersama. Ku pikir mereka senang dengan kehadiran Gusion pada liburan kali ini namun ternyata dugaanku salah. Mereka seakan membiarkanku untuk menghabiskan liburan kali ini dengannya saja.

        Sebenarnya, ada apa sih?

        Pernah aku menanyakan keanehan ini kepada mereka maupun Gusion namun jawaban yang dapat terbilang logis dan rasional itu membuatku tidak bertanya lebih lanjut lagi. Aku memilih untuk menikmati liburan yang terbilang langka ini.

        Lalu, soal ciuman itu. Dimana Gusion mencuri ciuman pertamaku.

        Aku terheran dengan diriku yang tidak merasa begitu senang dengan kejadian itu. Ciuman itu malah menambah deretan keanehan pada liburan tersebut. Gusion tidak biasanya bersikap seperti ini. Aku sempat menduga bahwa ternyata mungkin ia juga menyukaiku namun rasanya ada alasan lain dibalik hal itu. Batinku mengatakan bahwa ada sesuatu yang akan terjadi pada hubunganku dengan dirinya.

        Tidak ingin mengindahkan segala kemungkinan yang terbesit di benak, aku memilih untuk berpetualang di alam mimpi.

        Keesokan harinya, setelah mendudukkan diri dibangku kelas, pandanganku mulai terfokus pada sosok lelaki surai cokelat yang duduk di dua baris sebrang dengan beberapa teman sebaya yang mulai mengerumuninya. Gusion terlihat tengah membalas sapaan kawanannya, tentu dengan seulas senyuman yang nampak menawan tersebut. Namun, aku merasa bahwa dia tidak bersikap seceria biasanya. Memori mulai berputar pada momen dimana kami berjalan ke sekolah tadi. Gusion nampak termenung sepanjang jalan bahkan ia tidak mendengar kala aku mulai membuka percakapan jika tanganku tidak tergerak untuk menepuk bahunya.

        "Oh Gusion, lihatlah, betapa aku mendambakan dirimu."

        Sebuah suara familiar sukses membuatku merengut sembari beralih menatapnya jengkel. Ia adalah Miya, salah satu teman dekatku.

        "Apaan sih, Mi. Nanti kalo orangnya denger terus virus kepedeannya muncul kan repot aku."

        "Ya elah. Biar dia itu peka, ley. Biar kamu ga di gantungin mulu."

        Sebuah helaan napas terlontar dari ranumku. Miya pun mendudukkan dirinya di sebelahku sebelum kembali berucap.

        "Eh iya, gimana ley liburan bareng Gusion? Ada kemajuan ga?"

        "Cuma liburan kayak biasa aja kok, Mi. Tapi—"

        "Tapi, apa?"

        "Beberapa hari sebelum liburan selesai, Gusion nyium aku."

        "HAH?!" seru Miya yang membuat seisi kelas menoleh ke arahnya, termasuk lelaki bermarga Paxley tersebut. Menyadari hal itu, Miya melambaikan tangannya dengan sebuah cengiran yang terlukis di ranumnya; mengisyaratkan bahwa tidak ada hal signifikan terjadi dan membuat warga kelas itu kembali melanjutkan aktivitasnya.

        "Seriusan, ley?! Nyium dimana?" tanya Miya setengah berbisik, tidak ingin pembicaraannya di dengar oleh teman lainnya.

        "Um, di... bibir."

Asa Dalam PenantiankuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang