#9

265 33 1
                                    

Untuk merayakan keberhasilan kami dalam mendapatkan informasi, oh ralat, bukan merayakan sih. Lebih tepatnya, beristirahat sebentar karena selama beberapa hari ini kami kerap bekerja. Akhir-akhir ini, kami merasa agak lega karena tidak ada cewek yang menghilang lagi.

Tapi, tunggu dulu. Apa penculiknya tahu bahwa kami datang ke sini untuk menangani kasus cewek-cewek yang menghilang tanpa jejak itu? Apa semua yang kami lakukan terlalu detail, sampai-sampai penculik itu sadar? Tapi, kami, kan, melakukan semuanya dengan hati-hati. Identitas kami pun tidak kami umbar.

Sekarang kami tinggal menunggu​ daftar nama orang yang pernah pergi ke psikolog. Nah, untung saja tempat psikolog di tempat ini tidaklah banyak.

"Setelah kasus ini selesai, gimana kalau kita refreshing ke Bali? Gue baru sadar kalau masih ada banyak tempat yang belum gue kunjungin di sana," ucap Bion sambil merapikan lengan kemeja putihnya dan menyisir rambutnya yang setengah basah itu ke belakang karena dirinya baru saja selesai mandi.

Sudah menjadi ciri khas Bion memakai kemeja dengan lengan yang digulung sampai ke siku. Memang hari ini mereka akan berada di dalam kamar terus, tapi Bion tidak mempunyai baju lain selain kemeja ini, karena rata-rata hampir semua bajunya memang berbentuk kemeja.

Aku manggut-manggut saja. Namun, seketika aku ingat akan satu hal. "Tapi, kan, habis ini kita udah skripsi. Bisa-bisanya lo pikirin jalan-jalan, Abionel!" Entah kenapa, mendadak aku menjadi geram. Kadang kala, aku suka bingung sendiri. Kenapa setiap aku berbicara dengan anak satu ini, bawaannya jadi pengin marah terus.

Bion melirikku dari kaca, lalu nyengir. "Lo lupa apa? Nilai gue kan selalu yang paling tinggi di jurusan teknik. Jadi, nggak belajar juga nggak masalah."

Idih, sombongnyaaa.

"Orang yang otaknya encer mah beda, Dim." Ryan menyahut di ujung sana. Lantas, aku mendengus sebal. Seharusnya Ryan bilang bahwa Bion itu sombong, bukannya malah memuji otak encernya itu.

"Tahu deh yang IQ-nya tinggi," timpal Sasa.

Hah? Yang benar saja! Bahkan Sasa pun ikut-ikutan memuji Bion.

Aku beralih melirik Evan, syukurlah dia tidak ikut-ikutan memuji Bion. Namun, ternyata aku salah.

"Orang pintar mah bebas. Di saat orang lagi capek-capeknya belajar sampai malam, lo malah bisa santai, goyang-goyang kaki, tidur dengan nyenyak. Ah, jadi iri gue," ucap Evan.

Bion hanya menaikkan kedua alisnya dan sengaja merapikan kerah kemejanya sambil tersenyum senang.

Tiba-tiba satu panggilan telepon masuk, membuat Evan buru-buru mengangkat telepon yang terletak di samping ranjang itu. Seolah tahu harus bagaimana, kami semua langsung diam. Mendengarkan setiap respons, anggukan kepala, dan kata-kata singkat tapi sopan yang Evan ucapkan. Setelah bertelepon selama tiga menit, Evan menutup teleponnya.

"Kenapa?" tanyaku penasaran. Secara spontan, diriku langsung menghadap ke arahnya.

Evan meluruskan kedua kakinya yang tadi ditekuk ke atas seraya menjawab pertanyaanku. "Tadi itu telepon dari resepsionis, katanya sebentar lagi bakal ada acara dan semua pengunjung yang ada di sini diundang, termasuk kita."

"Oh? Enak banget nginap di sini, bisa ikut acara. Emangnya acara apa, sih?" tanya Sasa, raut wajahnya berubah menjadi penasaran. Namun, kedua tangannya masih tetap mengoleskan cream malam di wajahnya.

"Katanya diadain acara karena villa ini udah berdiri tiga tahun. Tapi malas nggak, sih, ikut acara beginian? Menurut kalian gimana?" tanya Evan sambil menatap kami satu-persatu. Kalau soal acara seperti ini, Evan memang kurang berminat.

Kasus RahasiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang