Meet

21 1 2
                                    

Makassar, Indonesia

Hai, apa kabar?
Kita akan bertemu segera, benar, kan?!
Send: July, 2016

S

edari tadi, Isi pesan dalam chat sosial mediaku itu menarik fokus. Entah apa yang di maksud, tapi lelaki itu benar-benar aneh.

Sudah beberapa bulan kami ngobrol bersama by chatting. Ya, hanya melalui chatting di sosial media. Kami cukup nyambung dan cocok, bahkan memiliki kesukaan yang sama. Entah dari warna, makanan atau pun lainnya. Tetapi yang tak kumengerti saat ini adalah, hubungan yang kuanggap pertemanan biasa saja, mengapa terasa dekat seperti ini setelah dia mengirim pesan chat seperti itu?

Mehta. Ya, namanya Giotae Mehta Lavendrio. Lelaki berparas Blasteran Pakistan-Inggris-Brazil. Aku mengenalnya, saat iseng di sebuah aplikasi jodoh. Anehnya, perlahan-lahan, hubungan kami membaik dan akrab layaknya teman lama.

"Kau masih berhubungan dengannya di sosial media, ya?" suara Alto Fany menembus bungkamku yang telah sejak tadi. Dia menyodorkan espresso dingin, lalu duduk di hadapanku sembari melempar tatapan menunggu. "Ya, Mehta! Memangnya siapa lagi lelaki yang kau dekati setelah perpisahan itu?!" timpalnya ketika melihat alis mengernyitku penuh tanya.

Mata memutar, lalu menyambar espressoku dan menyesapnya. Ah, bahas itu lagi! Bisakah sekali saja?

Dia memang sangat menyukai bergosip tentang kehidupanku, terlebih kedua lelaki itu. Kata kunci 'perpisahan' itu mudah ditebak ketika ia melontarkan.

"Hei, aku di sini!" serunya menjentikkan jari yang nyaris di depan wajahku.

Lagi, respon seperti itu jika aku menunjukkan ekspresi malas.

"Oke, apa yang ingin kau gosipi lagi? Tentang apa?" tanyaku malas setelah mendesah. Fany hanya meringis.

"Ayolah, aku hanya ingin tahu lebih banyak tentang Mehta,"

Tatapan menyipit yang sengaja dilebih-lebihkan, kini mengarah padanya. "Kau ... Terdengar seperti, jatuh cinta padanya!"

Tawanya menggema. "Jangan konyol, kau tahu sifatku bagaimana!"

"Ya, kau seperti wartawan!"

Dia terkikik. "So, aku menunggu!"

Sejenak, tatapan itu mengarah kepadanya, tatapan tak suka, namun juga ada akhirnya hanya mendesah mengalah karena respon innocent gadis itu.

"Dia ingin datang kemari,"

"Apa? Hahaha!"

Alisku mengernyit dengan tatapan tajam penuh tuntut ke arahnya.

Apa yang salah, sih?

"Seingatku, Nona Jakarta, aku tak sedang membuat lelucon untukmu,"

"Memang." Acuhnya, lalu tertawa lagi dengan lepas.

"Lalu mengapa kau tertawa?" sergahku mulai kesal.

"Hahaha." Lagi, tawa yang mulai memuakkan itu terdengar lagi di indera. Dia bahkan tak menyadari, sedang berada di mana saat ini.

"Tapi, Sorry, aku tidak minat menjadi artis beberapa saat di sini dan menjadi sorotan hanya karena tawa 'aneh'-mu itu," tukasku defensive namun tangannya mencegat, menggenggam tanganku saat aku hendak bergegas pergi dari cafe itu.

Oh, yang benar saja!

Sorotan mataku masih di sana, menatap tajam matanya yang sengaja kutunjukkan dengan kesal.

"It's Impossible, Sayang!" timpalnya lagi, lalu menyesap cappucino-nya.

"Apa maksudmu?"

Lagi, dia menyesap dengan santai espressonya, lalu menumpu kaki satunya di pangkuannya--yang sejenak membuatmu memutar mata kesal.

"Ya, mustahil, Flo! Bukankah kau tahu, dia tinggal sangat jauh? Ini bukan berjauhan kota ke kota, tapi laut ke laut, negara ke negara, Man!"

"Memang! Lalu?"

"Ya, itu artinya Impossible! Bisa jadi dia hanya membohingimu, lalu kemudian menyakitimu dan–"

"Fan, please, this is now! Isn't the past! Kalau kamu hanya ingin membicarakan yang telah berlalu, lebih baik aku pulang! Kau yang memintaku berbicara tentangnya, lalu mengapa sekarang kau juga yang berargumen?"

"Karena kamu sudah terlalu jauh," sergahnya dengan cukup membentak dan suara naik satu oktaf. Bisa kurasakan, saat ini kami menjadi tontonan publik di sekitar.

Kutekan rapat-rapat rahangku, menahan agar kalimat yang lebih mengesalkan lagi keluar dari mulut ini, sembari mata terpejam dan menghela napas berat. Lalu, "Aku tahu, itu memang tak pantas kudapatkan," bisikku kelam saat sedikit mencondongkan wajahku di hadapannya, agar bisa terdengar suara yang mulai bergetar ini. "Tapi waktu yang selalu menginginkannya terjadi. Aku pulang!" bisikku lagi yang masih menatapnya lekat dengan tajam dan defensive. Kemudian, nada ketus itu terdengar seketika di akhir kata saat pamit padanya.

Terakhir yang kulihat, dia hanya bungkam dan terhenyak di sana, dalam duduknya yang menatapku pergi berlalu ketika menyambar tas di  meja.

* * *

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Sep 22, 2018 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Four DaysTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang