1. I'm No One

3.1K 345 50
                                    

London, 2010

Seorang gadis kecil kumal, bergaun putih selutut, dengan tubuh mungil kurus dan rambut pendek sebahu yang berantakan keluar dari sebuah kardus besar yang disisi sampingnya terdapat kata Grace yang ditulis menggunakan arang. Mata bulat bocah berumur tigabelas tahun itu mengerjab, mencoba menyesuaikan dengan kondisi terang kota London yang baru disapa matahari. Dia berjalan dengan kaki telanjang, menapaki aspal yang basah sisa hujan semalam dan berdiri mengamati dari gang diantara toko roti dan sebuah apartemen. Gadis itu memperhatikan pada pejalan kaki dan kendaraan yang mulai melakukan aktifitas paginya. Kemudian, dia menoleh ke belakang, ke arah kardus besar bekas televisi yang selama ini dia pakai sebagai pengganti rumah. Kardus itu basah tentu saja, dan gadis itu menghela napas mengeluh karena harus mencari kardus penggantinya.

Kaki kecilnya berjalan mengikuti arus lautan manusia yang berjalan menghindarinya. Mata gadis itu menyapu jalanan, mencari sebuah kardus atau mungkin yang lebih bagus daripada itu walaupun tidak mungkin. Dengan mengabaikan fakta bahwa dia belum sarapan, gadis itu memasuki kawasan perumahan—tempat yang buruk untuk didatangi ketika kau kelaparan dan tidak memiliki keluarga. Gadis itu dia tak boleh meminta makanan kepada pemilik rumah-rumah berjejer itu. Bisa-bisa dia dilaporkan polisi.

Jam sudah menunjukkan pukul sepuluh ketika gadis itu sampai disebuah sekolah dasar. Perutnya mulai perih, dan gadis itu kembali mengeluh karena harus mengais makanan di tempat sampah lagi. Andai kardusnya tidak basah karena hujan, dia mungkin bisa membersihkan sol sepatu atau mencuci piring di toko roti mr. Stark untuk membeli makanan yang layak. Gadis itu menghela napas, pasrah dengan nasibnya yang tidak berharga itu.

Gadis yang belum diketahui namanya mendekati tong sampah yang ada didekat gedung sekolah, melongokkan kepala dan tersenyum senang ketika melihat hamburger yang tinggal setengah. Sepertinya tidak terlalu buruk karena plastik pembungkusnya diikat. Cepat-cepat dia mengambil hamburger itu, lalu mengais lagi tapi tak menemukan apapun selain apel setengah busuk dan seperempat air mineral yang ada didalam botol.

Bocah perempuan itu bergegas mencari tempat sembunyi ketika dia mendengar suara bel sekolah berbunyi. Gadis itu bersembunyi diantara semar-semak yang tumbuh rimbun, memakan apa yang dia temukan sambil mengamati anak-anak sebayanya keluar dari sekolah untuk bermain dan makan bersama. Gadis itu menatap hampa, lalu tersenyum kecut. Tidak, dia tidak iri. Dia tidak menyalahkan takdir karena nasibnya yang mengerikan seperti ini. Tidak. Emosi yang dipunyai setiap manusia sudah lenyap dari dirinya. Sekarang, dia hanya ingin terus menjalani hidup dan mencari tau seberapa kejam Tuhan akan memperlakukannya.

Ketika akhirnya anak-anak itu kembali masuk ke dalam kamar, bocah bergaun putih melihat seorang anak perempuan yang tertidur dibawah pohon maple. Gadis bersweater merah lengan panjang itu meletakkan kepalanya diatas meja besar yang biasa digunakan untuk makan atau mengerjakan tugas bersama. Dari tempatnya bersembunyi, bocah bergaun putih itu bisa melihat bekal makanan, sebuah buku dan peralatan menulis.

Bocah yang bisa disebut gelandangan itu, mengerjabkan mata, lalu napasnya tertahan ketika melihat sesosok perempuan cantik yang memiliki sayap berdiri dibelakang gadis bersweater merah, tersenyum ke arahnya dengan damai. Cepat-cepat bocah itu membuang muka, memegang mata kanannya yang sekarang pasti berubah warna. Bocah itu berusaha menguasai diri, menutup kedua mata dan menata deru napasnya. Banyak hal berkelebat didalam pikiran bocah itu selama proses menenangkan diri. Sebuah kilasan masa depan dan juga karakter gadis yang sedang tidur itu yang sebenarnya.

Bocah itu mengerang, memegang kepalanya yang mendadak berdenyut nyeri. Dia benci ini. dia benci kelainan yang membuatnya semakin menderita. Dia benci pusing! Begitu rasa sakitnya mereda, bocah itu kembali memandang bocah yang tidur dibawah pohon maple. Perempuan bersayap itu sudah pergi—atau setidaknya, lenyap dari pandangan matanya. Menata ulang napasnya yang terengah, bocah itu kemudian menyelinap tanpa suara mendekati bocah yang tertidur. Dia duduk disamping bocah bersweater merah itu, mengamati barang-barang yang tergeletak di atas meja.

HuchromiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang