7. Second Met

939 263 31
                                    


###

Canada, Desember 2014

Hamish menepak barang-barangnya ke ransel army besar. Hari ini, ditemani Thalib dan beberapa bodyguard lain, dia akan menjelajah Canada tak peduli kalau salju sedang ada dimana-mana.

Ini adalah penjelajahan pertamanya dari berbagai belahan dunia yang ingin dia kunjungi. Dia akan belajar banyak tentang budaya, adat, toleransi dan pelajaran lain yang bermanfaat.

Sentuhan terakhir untuk melengkapi pakaian musim dinginnya, Hamish memakai jaket tebal berwarna biru. Merasa siap, remaja berusia enam belas tahun itu keluar dari kamar tempatnya menginap.

Thalib dan keenam bodyguard sudah menunggu. Asisten pribadinya itu sedang memberi arahan agar Hamish tetap aman bagaimana pun caranya. Senyum miring nan tipis muncul dibibir lelaki itu ketika sudah dekat dengan mereka.

"Ayolah, Thalib. Kita sedang bertamasya sekarang. Tidak perlu terlalu memikirkan protokol." ucapnya, terdengar geli.

"Your Highness! Apa yang anda bicarakan!? Protokol adalah segala-galanya. Keselamatan anda adalah yang nomer satu." sahut Thalib, terlihat tidak terima.

"Terserah apa katamu." balas Hamish, memutar bolamata bosan.
"Kemana tujuan kita?" tambahnya, merasa sedikit lebih bersemangat.

"Banff National Park. Taman nasional ini merupakan salah satu taman nasional yang ada di Rocky Mountains, lokasinya terletak di sebelah barat Calgary, Alberta. Di sini Anda dapat melihat deretan pegunungan dengan ratusan gletser, hutan, lapangan es, dan pemandangan Pegunungan Alpen. Selain Anda dapat merasakan langsung keindahan taman nasional ini, Anda juga dapat melakukan aktivitas yang cukup ekstrem, yaitu menyelam di danau es yang dingin yang tentu saja didampingi oleh seorang lifeguard yang profesional." jawab Thalib, menjelaskan secara lebih detil.

"Ini musim dingin. Danaunya pasti membeku." gumam Hamish.

"Atau anda ingin ke air terjun Niagara?" tawar Thalib kemudian.

"Tidak. Aku sedang ingin mendaki. Ayo pergi!" jawab Hamish cepat.

Sayangnya, Banff National Park sedang di tutup untuk umum. Dikatakan, semalam ada longsoran salju hingga tidak aman untuk disinggahi turis. Sekarang, mereka singgah di Vancouver tepatnya di Stanly Park. Udara didaerah itu cukup hangat. Jadi, meskipun tidak bisa melakukan banyak hal, mereka tetap menikmati kegiatan mereka.

Thalib sedang menelepon seseorang di jarak lima meter dari Hamish ketika mata tajam putra mahkota itu menangkap sesosok gadis yang amat familiar. Mata lelaki itu menyipit, berusaha mengenali gadis muda berambut sebahu yang sedang berteleponan sambil tersenyum berjalan ke arahnya dari sisi kanan.

Wajah gadis itu bulat menggemaskan, mata besar dan hidung bangir dengan bibir kecil namun penuh. Rambutnya berwarna hitam dengan perawakan tubuh kecil berisi. Tiba-tiba gadis itu mendongak, balas menatapnya. Seketika itu pula Hamish mengenali iris cokelat dimata gadis itu yang muncul sekilas.

Hamish cepat-cepat berdiri, membuat bodyguard yang mengawalnya langsung waspada.
"Your Highness, apa ada sesuatu yang mengganggu anda?" tanya ketua pengawalnya. Hamish tidak menyahut, lebih fokus ke arah gadis yang baru saja melintas acuh didepannya.

"Iya. Aku janji akan ada disana ketika mereka debut. Iya, Papa. Aku mengerti." ucap gadis itu ke arah ponselnya.

Hamish berpikir cepat. Dia ingin mengobrol dengam gadis itu sekarang juga. Tapi, bagaimana caranya mengalihkan perhatian Thalib dan keenam penjaganya?

Tiba-tiba saja Hamish punya ide cemerlang. Lelaki itu mengambil ponselnya terburu-buru dan berlagak seolah mendapat telepon.

"Assalamuaikum, baba? Tolong tunggu sebentar, aku akan menjauh dari yang lain lebih dulu." Hamish menoleh ke arah ke tim penjaganya yang sekarang juga tengah menatapnya datar.
"Aku akan menerima telepon ayahku dulu. Kalian tunggu disini. Aku tidak akan lama." katanya, lalu pergi tanpa persetujuan dari siapapun.

###

Luna duduk tenang didalam sebuah kafe. Setelah lelaki itu tau dimana dia berada, yang bisa Luna lakukan cuma menunggu untuk dihampiri. Dia baru pulang sekolah dan melewati Stanly Park ketika sebuah vision muncul dikepalanya.

Luna melihat dirinya sedang berbicara empat mata dengan lelaki itu. Seorang pemuda yang nyaris tidak bisa dia kenali kalau saja mata kanannya tidak mendadak aktif.

Luna mengangkat tangan untuk mengambil perhatian sosok pemuda yang baru saja masuk ke dalam kafe. Lelaki itu berjalan cepat ke arahnya dan langsung duduk dihadapannya tanpa disuruh.

"Aku tidak bisa lama-lama atau mereka akan menemukanmu. Hanya saja, banyak sekali pertanyaan yang ingin aku tau darimu." katanya, terburu-buru. Luna hanya mengangkat sebelah alisnya sebagai tanggapan.
"Jujur saja, aku sudah membaca buku tentang dirimu dan juga kaummu. Setiap mata punya kekuatan dasar yang berbeda-beda, kan? Lalu, apa kekuatanmu? Dan apa yang sudah terjadi sampai kau bisa ada disini dengan keadaan yang lebih baik?" tanya Hamish berturut-turut.

"Bukankah seharusnya kau mengenalkan diri lebih dulu?" sahut Luna, santai.

"Aku sudah tau namamu--Moon Eunha, benar?" tukas Hamish, terlihat tidak sabar.

"Aku tidak kaget kau punya banyak informasi tentangku, Son Jungkook-ssi. Tapi, aku tidak memiliki kewajiban apapun untuk menjawab pertanyaanmu itu. Memangnya, kau ini siapaku? Tolong, urus saja urusan masing-masing." balas Luna, dingin.

"Aku khawatir padamu. Apa salah seorang tunangan mengkhawatirkan tunangannya sendiri?" sahut Hamish, mendebat. Luna mendengus geli.

"Selama enambelas tahun aku hidup, aku tidak kenapa-napa. Untuk apa kau mencemaskan orang asing? Dan, Your highness, kita bukan tunangan. Kau menolakku dipertemuan pertama kita, ingat?" ucap Luna, mencemooh.

"Kau pikir aku sengaja melakukan ini? Ini semua karena aku adalah medicine-mu! Ini seperti sebuah kutukan, kau tau?" balas Hamish, menggerutu.

Luna tidak bereaksi, tampak tidak terkejut dengan kalimat Hamish itu.
"Sebenarnya, anda sedang mengocehkan apa, Your highness? Kekuatan mata? Medicine? Kaumku? Apa anda pikir saya bukan manusia biasa?" Luna tiba-tiba mencibir, membuat Hamish mengerjabkan mata bingung.
"Jika omongan anda hanya bertujuan untuk menarik perhatian saya, mungkin seharusnya anda berdongeng tentang Cinderella dan sebagainya." tambah gadis itu, kemudian bangkit berdiri.

"Senang mengobrol dengan anda." katanya, mengambil tas ranselnya dan menepuk bahu Hamish sok akrab sebelum kemudian pergi.

"H-hei! Tunggu! Kita belum selesai bicara!" tukas Hamish, bergegas mengejar gadis itu.

Sayangnya, ketika keluar kafe, dia malah bertemu dengan Thalib dan keenam pengawalnya.
"Your highness! Apa yang anda lakukan disini? Kami mencari anda kemana-mana!" kata Thalib, tampak menahan marah.

Luna menatap asisten pribadi Hamish datar sebelum kemudian menoleh ke arah lelaki itu.

Kau diawasi.

Hamish berjengit ketika suara gadis itu muncul dikepalanya bersamaan sengan Thalib yang menegurnya.
"Your highness, tolong jawab pertanyaan saya!"

"Eh, ah, itu... Aku tersesat. Jadi, aku tanya pada mahasiswi ini yang kebetulan melintas." jawab Hamish menunjuk Luna yang masih berdiri bersisian dengannya.

"Lalu kenapa anda masuk ke kafe itu?" tanya Thalib lagi, masih curiga.

"Itu, dia ingin beli minuman lebih dulu sebelum mengantarku ke taman tadi. Iya, kan?" sahut Hamish, menoleh ke arah Luna untuk mendapat dukungan.

Thalib langsung menoleh ke arah gadis itu, tapi Luna bergeming diam. Thalib tampak menilai penampilan Luna, yang dibalas dengan tatapan dingin.

"Sepertinya aku pernah melihatmu." kata Thalib, menyatukan kening berusaha mengingat.

"Semua lelaki yang ingin mendekati saya juga berkata demikian. Saya permisi." balas Luna acuh, membungkukkan badan layaknya orang Asia Timur sebelum melenggang pergi.

"Wah, Thalib, apa kau baru saja merayu seorang gadis muda?" tanya Hamish, meledek dengan tujuan mengalihkan perhatian Thalib dan keenam pengawalnya.

Satu hal yang Hamish dapatkan hari ini. Luna bisa masuk ke dalam pikiran orang lain.

###

Makasih buat komennya di part kemarin.. TT-TT

I feel better walau masih suka males bikin buku ini wkwkwkk #digampar

Part ini gimana gaes?

HuchromiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang