Kehidupan selalu berjalan dengan banyak langkah dan selalu dimulai dari langkah pertama. Manusia belajar dari sebuah pengalaman yang mungkin terbentuk karena sebuah doktrin atau bahkan dogma. Doktrin kita terima sebagai sesuatu yang bisa kita pilih. Dogma mungkin muncul sebagai sesuatu yang menjadi sebuah keberuntungan dari warisan nenek moyang. Manusia berfikir dan selalu merasa berfikir untuk memilih hingga berujung pada sebuah rasa lelah. Sebuah warisan yang muncul semenjak demokrasi terpimpin mulai menyapa kita. Dia yang sering kita sebut dengan pemilihan umum. Memilih tokoh sebagai wakil kita. Tokoh yang kita pilih dengan "pola piker" kita atau mungkin karena keterpaksaan itu.
Pemilihan umum barang tentu sudah menjadi wadah "pesta rakyat". Rakyat berpesta untuk saling menghujat, rakyat berpesta untuk saling mempertahankan pendapatnya, rakyat berpesta untuk memperburuk kata-kata yang keluar dari mulutnya, dan rakyat berpesta untuk mengotori dirinya sendiri demi sesuatu yang dia junjung tanpa mau mengerti apakah ke depan itu sudah pasti baik. Pesta rakyat yang mereka gadang-gadang itu hanya membuat rakyat sendiri semakin linglung dengan pendapat mereka masing-masing. Menghujat dan dihujat, itulah "pesta" terjemahan saya. Silahkan orang berpendapat lain tentang "pesta rakyat" ini, tidak ada yang melarangnya.
Ada sebuah kalimat yang pernah terdengan dan memang benar menurut saya bahwa "Semua pendapat adalah benar". Kita sebagai manusia memang diberikan anugerah untuk bisa berpendapat. Namanya saja pendapat kan? Jadi siapa yang bisa menyalahkan? Seseorang mengungkapkan pendapatnya tanpa sebuah fakta dan faktor pendukung, bagi saya adalah sesuatu yang masih subjektif (kata orang desa saya hahahahahahaha). Berbeda dengan pernyataan yang dijelaskan dengan berlandaskan fakta-fakta yang ada, itu saja masih belum tentu diterima, apalagi sebuah pernyataan yang tanpa didasari fakta-fakta (mirip dengan pendapat) dan lebih berdasarkan intuisi (kata orang desaku lagi) saja masih belum tentu benar. Silahkan diartikan lebih lanjut untuk selebihnya tentang sebuah pendapat dan kebebasannya hahahahahahaha.
Pendapat tetaplah pendapat, perbedaan antar manusia dalam berpendapat adalah sesuatu yang harus kita mahfum. Saling mengenal dan berusaha untuk bisa lebih mengenal adalah hal yang lebih baik untuk meredam sebuah permusuhan yang terjadi karena perbedaan pendapat. Secara tidak langsung lebih baik pembaca bisa mengenal saya lebih dekat daripada nanti tulisan saya ini malah dicakar-cakar, dijambak-jambak, dibakar, sampai dibunuh...kan jadi repot. Saya aja belum pernah bisa bunuh tulisan Hahahahahahaha. Cerita singkat dibawah bisa membawa pembaca untuk mengenal jalan pikiran saya dalam berpendapat.
* * * * * * *
Pada suatu ketika ada sekelompok orang yang memulai pesta kecil-kecilan tersebut untuk mempertahankan pendapat masing-masing. Apapun itu yang penting hanya linggis1 dileher yang diadu bukan linggis yang sebenarnya. Masalah pun selesai setelah linggis yang dileher sudah mulai mereda, itulah yang seharusnya.
Terlihat di sebuah saung beberapa orang bermain "bridge" (bahasa orang desa untuk bermain kartu) hahahahahahaha. Empat orang sedang asik bermain bridge disana (saung), ada Kendil, Cangkir, Mangkok, dan Bocil alias botol cilik. Dalam sebuah permainan bridge lebih enak dan syahdu saat ditemani dengan secangkir kopi dan obrolan ringan samapai obrolan yang berat (walaupun ga sampai beberapa ton lho?Hahahahahahaha).Kopi sudah menemani dan obrolan ringan sampai yang berat pun akhirnya terlaksana saat keempat orang itu bermain bridge. Masalah calon yang mereka dukung masing-masing dalam pemilu juga tak mungkin luput dari pembicaraan (walau sak klebat) mereka dalam bermain bridge.
Cangkir lebih mengidolakan si gendut dan mangkok pun mengikuti cangkir mengidolakan gendut. Bocil punya pendapat sendiri, dia lebih mengidolakan si kecil yang sama seperti tubuhnya, hahahahahahaha. Kendil yang merasa malas untuk memikirkan masalah itu, tidak mau memilih siapa-siapa. Kendil beranggapan siapapun yang nantinya akan terpilih, toh dia masih bekerja sendiri untuk mencari nafkah bagi hidupnya. Kendil tidak mau ikut-ikutan adu linggis di lehernya kaya kebanyakan orang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Melangit dan Membumi
HumorHanya sebuah perbincangan kecil sekelompok manusia yang mungkin bisa menjadi sebuah gambaran komunitas yang lebih luas. Mungkin menjadi sebuah identitas atau pun hanya sebagai cermin.