WarBah

80 5 0
                                    

"Mbak Vivi makan juga?"
"Iya buk, nasinya sedikit aja. Pake sayur sop, sama tahu ya."
"Minumnya?"
"Teh tawar, yang hangat ya buk."

Pesanan pun selesai, Vivi membawa makanan yang ia pesan ke mejanya. Meja dimana Andre sedang menyantap makanan porsi kulinya.

"Set dah, laper banget lo Dre?"
"Oyo noh, hojon soh." Jawabnya sambil mengunyah.
"Dih, emang nyambung ya lapar sama hujan?"
"Nyombong kok, ntor guo joboron."
"Ga usah makasih."

Keduanya melanjutkan acara makan malam mereka. Suara hujan masih terdengar begitu deras dari luar Warteg Bahama atau biasa disingkat WarBah. Tak lama, segelas teh tawar dan air putih pun diantarkan Ibuk. Pasangan tersebut tersenyum dan mengucapkan terimakasih, basa-basi yang biasa dilakukan oleh orang berbudipekerti.

Tak lama, Andre-pun menuntaskan makan malamnya, terlihat dari piringnya yang seperti habis dicuci dengan Vixal. Keringatnyapun bercucuran tidak karuan layaknya penyelundup amatir di Dubai Airport. Sementara Vivi, masih pada suapan keempatnya. Kunyahannya jauh lebih lama daripada Andre.

"Yaampun, kepedesan ya Dre?"
"Ga kok, ini reaksi normal manusia kalo mulutnya terbakar."
Andre kemudian menghabiskan minumannya dalam sekali teguk.
"Ya itu namanya kepedesan bege. Lagi ngapain makan pedes sih kalo ga tahan?"
"Kata siapa gua ga tahan?"
Sambil menarik kembali sedikit ingus yang keluar dari hidungnya.
"Lihat ingus lo dulu tuh! Baru bilang tahan."
"Ih ingus itu tanda makanannya nikmat ya, bukan pe-"
"Nih tisu", Vivi memotong pembicaraan omong kosongnya Andre sembari memberikan tisu dari tasnya.
"Makasih Vivi, baik deh. Heheh."

Tersisa beberapa sayuran di piringnya. Namun, Vivi memilih untuk menghentikan makan malamnya. Ia meminum seperempat  gelas teh tawarnya, sambil terus menatap Andre, lawan duduknya yang sedang asyik membersihkan area sekitar hidungnya. Tatapannya intens seperti kucing rumah yang sedang memperhatikan seekor cicak.

"Irashai!", suara lantang terdengar dari luar.

Tetiba masuk seorang pria berpostur besar ke dalam WarBah. Semua mata tertuju padanya. Mantelnya dan sepatunya basah kuyup. Setiap langkah yang ia ambil saat berjalan ke arah Si Ibu, selalu menyisakan jejak kaki layaknya di film-film thriller. 

Setelah memesan, ia kemudian memilih meja yang di seberang meja Vivi dan Andre, duduknya membelakangi Vivi. Mantelnya ia lepas, ia gantungkan pada sandaran kursi sebelahnya.

Vivi pun melanjutkan tatapan intensnya. Setelah beberapa detik yang intens juga, Vivi membuka mulutnya.

"Dre.."
"Apo?"
"Soal yang kejadian bulan lalu.. Gue mau tau res-"
"Pffftt"
Andre menahan tawanya dan juga ingusnya.

"Dre, gue mau ngomong serius nih. Dengerin dong!"
Vivi agaknya jengkel. Pipinya sedikit membengkak.
"Sorry Vi, ok gua dengerin."
"Jadi Dre, lo inget gak tentang sebulan yang lalu?"
"Kikikikikikik."
Andre kali ini tak bisa menahan tawanya. Ingusnya juga keluar kembali.

"Lo tuh selalu gini ya, setiap gue udah mau ngomong serius tentang kejadian itu, lo kayak selalu ngindar. Ralat, lo memang selalu ngindar!"
Vivi 100% jengkel. Kejengkelannya terlihat jelas di mata bulatnya.
"Ngindar gimana maksud lo?"
"Itu lo ketawa melulu setiap gua mau mulai."
"Dih gua ga ngindar Vi, gua denger kok. Gua inget tentang sebulan yang lalu, ga mungkin gua lupa, dan ga bakal bisa."

Vivi pun terdiam, dia memainkan sendok makannya. Sisa sayurannya dia dribble ke kanan dan ke kiri. Begitupula dengan Andre, dia juga terdiam. Dia memegang gelas minumnya, dan mendekatkannya ke mulutnya, kemudian meminumnya, lalu tersadar kalau air minumnya sudah habis sedari tadi. Akhirnya dia memilih untuk melihat isi gelasnya dengan menggunakan satu mata. Keduanya terlihat konyol.

"Tapi Vi," Andre menghentikan kesunyian, "lo sendiri kan yang bilang untuk ngelupain kejadian itu? Terus kita sepakat buat lupain, walaupun bagi gua mustahil, tapi ini demi pertemanan kita kan?"
Vivi pun menjawab, kali ini intonasinya sedikit lembut, "Iya Dre, awalnya juga gitu. Tapi gimana ya, itu kan peristiwa besar bagi gue. Jadi, gue butuh kejelasan dari lo. Sorry If I'm being a hypocrite."
"Kejelasan gimana nih?"
"Gue pengen tau respon lo atas pertanyaan gue yang waktu itu, lo mau tanggung jawab gak?"

Andre pun terdiam. Dia tidak tahu harus memegang apa lagi, dia bingung. Dia tengok Ibuk, kemudian dia tengok jendela, rupanya hujan sudah reda. Dia mengumpulkan sisa tenaganya, tenaganya ia gunakan untuk berpikir, lalu sisanya lagi ia gunakan untuk memberanikan diri.

"Iya Vi, gua mau tanggung jawab. Gua juga punya rasa sama lo soalnya."

Vivi hanya terdiam, bibirnya melebar dari pelosok kiri ke pelosok kanan mukanya. Pipi Vivi memerah, layaknya udang yang sudah cukup lama direbus. Merahnya bahkan sampai ke telinganya, sehingga percuma saja usaha dia menutupi kemerahannya itu dengan menggunakan kedua tangannya. Begitu juga dengan Andre. Mukanya juga ikut memerah, walaupun tidak semerah Vivi. Tapi ia selalu melihat ke langit-langit, seperti sedang menghitung cicak. Keduanya terlihat lebih konyol dari sebelumnya.

"Vi..."
"Apa?"
"Hujannya dah reda, yuk kita pulang."
"Oke.."

Keduanya mendatangi Ibuk untuk membayar pesanan mereka, tapi karena Andre lupa mengisi dompetnya, Vivi akhirnya membayari pesanan Andre juga. Balasannya, Andre harus mengantar Vivi sampai depan kosan. Keduanya berjalan keluar dari WarBah dengan senyum konyol masing-masing.




Warteg BahamaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang