39| Sebuah 17 tahun

596 35 3
                                    

| Ketiga puluh sembilan |

Finally, hari ini pemilihan Ketua OSIS. Kepengurusan baru yang bakal menjabat selama 1 tahun ke depan. Dan sekolah jadi sangat rame. Gue nggak tahu kalo pemilihan Ketos aja ada temanya.

Kemaren emang ada pemberitahuan dari kepengurusan OSIS yang lama, kalo temanya itu Cinta Damai. Hercules sampe mau mundur dari sekolah, karena dia cinta Erni. Emang dia oon.

“Asik, pilih siapa nih?” tanya gue di antara banyak orang saat itu di lapangan.

Nggak ada barisan formal. Kami resmi jadi anak ayam yang rapat-rapat aja. Gue bisa liat Dian dan Geon di depan dalam jarak mantan. Hahaha... mereka belum balikan permirsa!

Tapi, serius, gue bisa melihat hawa kompetisi dan nggak mau kalah dari mereka berdua. Ini persaingan IPA dan IPS sejati. Tunggu aja sampe mereka jambak-jambakan.

Sebelum acara pemilihan, kepengurusan lama pada maju ke depan, dan ada penyampaian singkat dari Ketua OSIS lama yaitu Samuel.

Tanpa diberikan aba-aba, kami semua pada diam.

Samuel mengucapkan terima kasih pada jajaran OSIS sebelumnya yang bersedia sibuk dan minta maaf jika selama kepengurusannya banyak yang salah. Saat itu, gue liat rasa haru dari kepengurusan lama. Walau cuman sebentar.

“Sebagai tugas terakhir kepengurusan kami adalah mencari pengurus baru.” ucap Samuel ngeliat ke Geon dan Dian “...tema kali ini kami pilih Cinta Damai karena beberapa hal yang terjadi diakhir masa kepengurusan. Beberapa permasalahan dan pembulian terhadap IPS 7 menjadi hal terkuat tema ini kami keluarkan.”

“Saya rasa, pembulian adalah tindak kejahatan. Baik itu verbal ataupun nonverbal. Pembulian Verbal yang terjadi pada kelas IPS 7 adalah contoh bahwa pendidikan tidak cukup untuk membuat seseorang jadi benar. Terlebih, kita semua tahu kalo pembulian Verbal ini dilakukan oleh kelas yang lebih disentuh pendidikan dari IPS 7.”

“Saat itu, saya dan teman-teman lain juga bertanya, apa yang membuat orang cukup untuk menjadi benar? Jawabannya.... tidak melakukan hal yang salah.”

Ada dua maksud yang gue tarik dari pembicaraan Samuel itu, pertama, gue ganteng. Terlebih dia ngeliat ke gue terus. Kedua, bahkan jika orang-orang benar yang melakukan kesalahan, maka itu tetaplah salah. Gue rasa itu menyinggung anak-anak kelas lain, yang notabene sekolah dengan lurus, nggak kayak kami, tapi bisa melakukan pembulian Verbal. Dan yes! Samuel nyinyir.

Nggak ada di kelas gue yang bakal berani bilang apa yang kami lakuin dulu itu benar. Hal-hal nakal yang kami nggak tahu merugikan orang lain, tetaplah jadi merugikan. Bahkan merugikan diri sendiri juga. Tapi, itu adalah bagian dari masa lalu yang salah meski dibenarkan.

Samuel turun dari mimbar pidato pembina upacara. Gue dengar sorak-sorak bersama itu. Dan suasana jadi heboh.

Whoaa! I love you, Samuel!!”

“Samueelll!!”

Rame pokoknya.

Gue liat saat anak-anak OSIS turun. Nina ngeliat ke arah gue dan ketawa karena kehebohan itu sendiri. Gue jadi nyengir sambil liatin dia. Gue bisa liat dia yang sibuk. Dia yang mungkin merasa akan kehilangan dengan kesibukannya nanti. Lalu ketawa bareng teman-temannya dan sesekali ngeliat ke gue sambil ngacungin dagunya.

Yang gue lakuin cuman ngedikin bahu trus ngarahin pandangan ke Geon dan Dian.

Saat pemilihan dimulai, ada beberapa penampilan ekstrakulikuler dulu sebagai bentuk pelepasan OSIS lama. Hampir kayak Pensi tapi tanpa konstum. Dan saat Evan menyumbangkan lagu jaran goyang, itu lebih dari puncak acara.

“Turunn! Turun!” teriak gue dari barisan belakang. Yang mungkin hanya bisa didengar sebagian orang karena benar-benar heboh.

Barisan yang acak buat gue nggak sama-sama dengan anak IPS 7. Gue emang ngambil jarak agak jauh di belakang buat liat semuanya. Siswa. Guru. Evan yang nyanyi. Bendera. Gue ngerasa punya banyak gambaran untuk hari itu yang terekam jelas.

“Haiii...”

“Hai, Nina,” sapa gue pas Nina tiba-tiba ngampirin.

“Seru Evan hahaha..”

“Iya,”

Gue ngerasa terkunci pada Nina saat itu. Jadi tidak terlalu fokus dengan acara yang sedang berlangsung. Ketawa Nina. Dan beberapa kali dia berusaha nunjuk-nunjuk gaya Evan yang terasa lucu.

“Gabung, ayo?” katanya ngajak ke arah siswa-siswa yang rame.

“Aku di sini aja,”

Nina mengerutkan keningnya melihat gue. Seolah dia menjadi marah padahal tidak, karena setelahnya dia ketawa.

“Ngapain di sini?” tanyanya antusias.

“Mau goyang duo serigala,” kata gue asal sambil nyengir.

“Ikan hahaha...”

“Iya.”

Gue ngerasa, saat itu gue cuman jawab gitu aja, nggak benar-benar berniat buat ngomong penting. Karena seperti yang gue bilang, rasanya seperti terkunci buat terus ngeliat Nina. Yang cantik. Baik.

Cantik.

Gue liat teman-teman Nina pada manggilin dia ngajak foto-foto. Mungkin buat kenangan. Nggak tau. Nina ngeliat ke arah gue setelah melihat ke teman-temannya.

“Sana gih,” kata gue mempersilahkan.

“Duluan ya, Rangga,” ucapnya sambil nyengir karena masih terpengaruh acara yang seru. Gue ngangguk. Dia melambaikan tangannya ke gue sambil berjalan mundur beberapa saat. Gue cuman menanggapinya dengan senyum.

Di antara kerumunan semua siswa saat itu, gue ngerasa jadi bagian dari sana. Memiliki rasa memiliki akan hal-hal yang terjadi lalu menjadi hak. Memiliki sebuah hal baru yang menjadi pelajaran juga. Lalu kembali membiarkan segalanya tetap berjalan sebagaimana mestinya.

Tanpa harus merepotkan gue buat memikirkan bagaimana. Lalu terjadilah semuanya. Dan itulah yang sedang gue liat sekarang. Tanpa perlu gue atur, semua berjalan lebih sempurna. Dan menikmati pemandangan masa sekarang yang bukan dulu.

Gue ingat kata-kata Dian saat menyampaikan Visi Misi saat dia mau jadi ketua OSIS.

Siswa nakal adalah bagian dari siswa pintar. Kenapa mereka jadi nakal? Siswa pintar yang tahu itu lebih dari apapun. Dan yang mengabaikan semuanya hingga terus membiarkan mereka terjebak pada kenakalan, adalah tindakan kenakalan sebenarnya.”

“Tidak ada yang tahu itu siapa. Semoga bukan siapapun. Semoga tidak ada yang melakukan hal-hal salah untuk terlihat lebih benar.”

Rasanya seperti 17 tahun. Lebih dewasa dari sebelumnya. Dan gue rasa pernyataan itu cukup untuk menjadi alasan melakukan hal lebih baik berikutnya. Dan seterusnya. Buat lebih baik dari sebelumnya.

--Tamat--

Rangga, 17 Tahun (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang