01

3 1 0
                                    

Tak ada yang spesial dari tahun ketigaku di SMA. Aku berangkat, belajar, lalu pulang lagi. Rutinitas yang membosankan bagi banyak orang tapi menyenangkan bagiku. Ya aku ini introvert dan tidak suka bergaul. Hubungan antar manusia itu merepotkan, jadi sebisa mungkin aku batasi.

Namun semua itu berubah sejak aku bertemu dengannya. Dia yang pandai menutupi luka dan selalu tersenyum cerah pada semua orang. Kalau aku harus menyebutkan orang terbodoh di semesta ini kurasa dialah orangnya.

Pertemuan kami amat sangat tidak disengaja. Sore itu seperti  biasa aku pulang ke rumah dengan berjalan kaki. Semuanya tampak tenang dan damai, setidaknya sampai aku berada di persimpangan. Aku mendengar teriakan dan makian dari ujung jalan di sebelah kiriku. Rumahku berada di sebelah kanannya, jadi arahnya berlawanan. Otakku mengatakan kalau aku harus mengabaikan suara itu dan mengambil jalan kiri, tapi hatiku berkata sebaliknya. Aku terdiam cukup lama di persimpangan itu, sampai akhirnya aku malah berbelok ke arah kanan. Dasar bodoh.

Suara suara ribut itu seketika menghilang saat aku sampai. Kalau tidak salah tadi itu suara teriakan seorang wanita setengah baya. Tak terlalu terdengar tapi yang jelas ada kata "mati" nya. Mungkin aku salah dengar? Eh tunggu! Apa itu suara tangisan?

Aku mengedarkan pandangan ke sekeliling. Sampai aku sadar, sumber suara itu tepat berada di sampingku. Terhalang oleh pagar besi hitam setinggi 3 meter, gadis itu bersimpuh sambil menutup wajah dengan kedua telapak tangan. Aku tahu pasti kalau dia sedang menangis. Ya tentu saja dari suaranya.

"Maaf. Apa kamu baik baik saja?"

Aku tahu seharusnya aku tidak menanyakan pertanyaan konyol itu. Tapi yang selanjutnya terjadi gadis itu segera menyeka kasar airmatanya lalu menatapku sambil tersenyum lirih. "Ya! Aku baik baik saja kok!"

Hatiku tersayat. Waktu seakan berhenti. Mata kami saling bertemu. Aku kehabisan kata. Tentu saja gadis itu tidak baik baik saja! Lihat seluruh luka lebam di tangan dan pipinya, atau darah yang sedari tadi mengucur dari lutut dan sikunya. Itu mengerikan. Apa yang telah terjadi pada gadis ini?

Di tengah semua spekulasi dan pertanyaan tak berujung itu, tiba tiba tubuhku bergerak sendiri. Aku masuk menembus gerbang, menarik lengan gadis itu, dan membawanya menjauh dari sini. Perlu ku tekankan ini bukan penculikan, aku bahkan tidak sadar dengan apa yang ku lakukan. Ingat itu.

"Eh? Kita mau kemana?" Dia bingung, itu pasti. Tapi gadis itu tetap melangkah di genggamanku.

Aku tidak menjawabnya, dan hanya fokus pada jalanan menuju minimarket terdekat. Mungkin satu satunya hal di pikiranku saat ini adalah mengobati lukanya.

Sesampainya di minimarket, aku memintanya agar menunggu di luar sementara aku membeli beberapa obat dan plester. Uang simpananku terpaksa kugunakan. Yah, bukan masalah besar, toh aku bisa mengumpulkannya lagi.

Setelah selesai membayar, kudapati gadis itu tengah tertidur pulas di salah satu meja yang berjejer di luar minimarket. Kepalanya tersender ke punggung kursi, rambutnya yang panjang menutupi sebagian wajahnya yang penuh luka. Aku jadi merasa bersalah, pasti ini gara gara aku terlalu lama memilih juga antrinya yang panjang.

Aku duduk di kursi hadapannya. Tidak sopan juga membangunkan orang yang sedang tidur. Dengan lembut ku geser meja diantara kami, dan berjongkok mengamati luka di lututnya. Aku penasaran bagaimana bisa dia terluka sampai seperti ini?
Ku raih sebungkus kapas dari kantung keresek, membukanya, lalu membasahinya dengan air mineral. Aku mulai membersihkan lukanya dengan kapas. Dia tak terusik sedikit pun, malah terlihat semakin pulas tertidur. Ku bersihkan juga luka di lutut dan wajahnya. Setelah diberikan obat merah, ku tutup semua luka itu dengan plester. Dengan begini semuanya beres.

Ku geser kembali meja yang sebelumnya membatasi kami. Dan aku pun mulai menunggu. Menunggu dia terbangun. Ku keluarkan buku novel dari dalam tasku, ini baru dibeli tempo hari yang lalu, judulnya Escape.

Waktu terus berjalan. Kami terlena dengan kegiatan masing masing. Dia dengan tidurnya sedangkan aku dengan bukuku. Aku baru tersadar ketika menyelesaikan bab ke 3. Langit sudah kehilangan jingganya. Sebenarnya aku tak tega, tapi serius, aku harus membangunkannya.

Aku mendongkak, dan mengguncang lembut pundaknya beberapa kali, sampai akhirnya ia bangun dan mengucek ngucek matanya.

"Anu... ini sudah malam. Maaf. Apa kau bisa pulang sendiri? Rumah kita arahnya berlawanan" ujarku sesopan mungkin.

Dia meregangkan badan sambil menatap langit yang sudah gelap. "Ya, aku rasa aku bisa. eh?"

Dia terkesiap. "Kau mengobati lukaku? Terimakasih banyak!, ini tidak terasa sakit sama sekali" ia tersenyum cerah sambil menggerak gerakkan kakinya riang.

"Ya begitulah... Maaf aku kurang rapi memasang plesternya."

Dia menggeleng tegas. "Tidak tidak! Ini sangat bagus. Oh ya, kita pulang sekarang?"

"Ya"

Kami berjalan bersama dalam diam, sampai akhirnya berpisah di persimpangan karena arah rumah yang berbeda. Setelah berpamitan dan saling melambaikan tangan, aku pun pulang. 6.30 ini yang  pertama. Aku pulang se sore ini.

Entah kenapa rasa kawatir tiba tiba muncul saat aku mengingat sosok gadis itu. Sudahlah... Mungkin sekarang dia sedang menikmati makan malamnya bersama keluarga.

Aku harap.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Sep 29, 2018 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Tomorrow with YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang